Jamak kita temui pemberitaan tiap tahun ajaran baru,
diberbagai media muncul kabar soal pungutan dan sumbangan. Pada pasal 1 ayat
(3) disebutkan Sumbangan
adalah penerimaan biaya pendidikan baik berupa
uang dan/atau barang/jasa
yang diberikan oleh
peserta didik, orangtua/wali, perseorangan atau lembaga
lainnya kepada satuan pendidikan dasar yang bersifat sukarela,
tidak memaksa, tidak
mengikat, dan tidak ditentukan oleh satuan
pendidikan dasar baik
jumlah maupun jangka
waktu pemberiannya.
Sedangkan
pungutan (ayat 2) disebutkan Pungutan adalah penerimaan biaya pendidikan baik
berupa uang dan/atau barang/jasa pada satuan pendidikan dasar yang berasal dari peserta didik atau
orangtua/wali secara langsung yang
bersifat wajib, mengikat, serta jumlah
dan jangka waktu
pemungutannya ditentukan oleh
satuan pendidikan dasar.
Kuncinya
jelas bila sumbangan itu sifat sukarela, tidak memaksa dan tidk mengikat. Tentu
dapat dimaknai bahwa baik bentuk, jumlah/besaran hingga waktu pengumpulan tidak
boleh ditentukan, Namun para pengelola sekolah tak kurang akal menyiasati hal
ini. Mereka namakan pungutan yang mereka tarik itu menjadi “Sumbangan”. Para
pengelola sekolah yang tentu berisi guru-guru yang mendapat sertifikasi jutaan
rupiah nampaknya telah mati hati nuraninya. Mereka terus saja melakukan pungli
pada orang tua siswa dengan beragam dalih atau modus.
Pungutan
ini biasanya muncul di sekolah favourite atau incaran banyak ortu siswa, di
perkotaan, jumlah siswanya banyak. Kondisi sebaliknya tidak bakal kita temui di
sekolah negeri pinggiran, pendaftarnya pas-pasan bahkan berkurang atau yang
bersekolah disitu makin sedikit. Meski sudah memasang sekolah ini bebas biaya,
orang tua justru tidak tertarik menyekolahkan anak disana.
Kenapa
sekolah atau pendidikan dasar negeri harus membebaskan biaya? Karena hampir
semua kebutuhan sekolahnya sudah di cover oleh Negara melalui BOS. Apabila
masih kurang, mereka dapat mengajukan penganggaran pada APBD. Dan bila masih
belum mencukupi dapat menggali dari sumbangan masyarakat. Ingat, sumbangan
masyarakat itu tidak selalu orang tua siswa. Bisa dari berbagai program CSR
perusahaan, orang kaya di lingkungan dekat sekolah, dan lainnya. Jika masih
kurangpun, sekolah harus membicarakan, merumuskan dan merumuskan bersama komite
sekolah sekaligus orang tua. Bukan memutuskan sendiri dan orang tua tiba-tiba
hanya dipungut besarannya sama rata.
Padahal
kondisi tiap orang tua siswa tidak sama rata. Pun sekolah ketika merencanakan
program harus mempublikasikan berapa anggaran yang didapat, berapa kebutuhan
program kerja sekolah dan kekurangan itu akan ditutup dari apa.
Modus Pungutan Dalih Sumbangan
Ada cukup
banyak modus yang dilakukan sekolah untuk menarik pungutan. Diantaranya yakni :
Pertama, Penerimaan Peserta Didik
Baru/PPDB atau pendaftaran sekolah. Biasanya yang muncul tarikan pada proses
ini bisa berupa biaya pendaftaran, kewajiban pakai stop map warna tertentu atau
harus berlogo sekolah, fotocopy ini dan itu hingga tariff parkir yang tidak
masuk akal. Dengan proses PPDB yang rutin, teknologi yang sudah maju harusnya
sekolah memanfaatkan teknologi. Misalnya pendaftaran melalui online, nir
berkas. Apabila sudah ketrima baru siswa melengkapi berkas. Buat apa puluhan
lembar berkas pendaftaran paska pengumuman? Toh siswa baru tetap saja harus
kembali berikan berkas.
Kedua, modus Masa Orientasi Siswa
yang diadakan oleh sekolah paska penerimaan siswa baru. Dengan dalih pengenalan
sekolah serta kegiatan siswa maka diadakanlah MOS. Biasanya diadakan 3 hari dan
mulai ada yang mengadakan menginap di sekolah bahkan pergi keluar kota.
Otomatis siswa akan ditarik konsumsi, akomodasi, ATK, atribut dan berbagai
kebutuhan lain. Signifikansi dari kegiatan ini tidak terlalu penting sebetulnya
tapi sering dipaksakan diselenggarakan.
Ketiga, dalih peningkatan
pembelajaran bagi anak didik. Bentuknya macam-macam seperti pembelian Lembar
Kerja Siswa/LKS, penambahan jam pelajaran atau bahasa lainnya les hingga
outbond. Perubahan kurikulum dari KTSP ke kurikulum 2013 memang memungkinkan kebutuhan
outbon.
Keempat, berbagai persiapan
jelang tes baik tes tengah semester, tes semester hingga persiapan Ujian Nasional.
Sekolah mewanti-wanti pada orang tua agar anak-anak punya kesiapan dalam
menghadapi tes. Ada yang ditakut-takuti materi tidak cukup waktu, anak masih
butuh dilatih hingga alasan kapasitas anak yang pas-pasan sehingga butuh drill
atau latihan intensif. Hal ini menjadikan jam pelajaran ditambah lebih panjang.
Bisa dibayangkan ada sekolah negeri yang anak kelas 1 harus les. Kebutuhan apa
yang harus diadakan untuk anak kelas 1?
Kelima,
datangnya tahun ajaran baru. Dalam satu tahun ada 1 kali tahun ajaran terutama
bagi siswa baru. Mereka harus membeli seragam, kaos kaki, ikat pinggang, sepatu
bahkan ada sekolah yang menyeragamkan tas sekolah. Memang seragam ini
kebanyakan diadakan oleh sekolah swasta namun tidak jarang sekolah negeri banyak
juga yang mewajibkan seragam ikat pinggang, kaos kaki bahkan baju seragam merah
putih atau putih biru harus beli di sekolah. Padahal hampir dipastikan harga
seragam di sekolah jauh lebih mahal yang selisihnya bisa ratusan ribu. Itu
dengan bahan yang sama, bagaimana dengan jenis yang berbeda?
Keenam,
modus Penmbahan fasilitas sekolah baik berupa gedung ataupun perangkat isinya seperti
laboratorium, perpustakaan, toilet, kantin, lahan parkir dan lain sebagainya. Padahal
pengadaan berat seperti ini masuk kategori investasi dan dapat diminatakan ke
pusat dan Pemda. Hanya bila dianggarkan oleh APBN atau APBD tentu
pengelolaannya lebih ketat.
Ketujuh,
mengisi kegiatan jeda semester bisa berupa classmeeting, outbond, karya wisata
bahkan piknik. Dengan berbagai pilihan itu, tentu pungutan yang diminta ke
orang tua siswa cukup tinggi terutama bila kegiatannya piknik. Apabila tidak
ikut, anak yang akan menjadi korbannya sementara bila ikut belum tentu mampu
secara materi.
Kedelapan,
kegiatan akhir tahun/lulusan. Meski status anak-anak sudah berakhir, justru
banyak sekolah kemudian “memaksa” siswa memberi kenang-kenangan sekolah.
Seakan-akan kalau tidak ada kenang-kenangan mereka tidak tahu terima kasih.
Kadang tidak hanya tinggalan disekolah namun juga wali kelas mereka. Bahwa
patungan itu atas inisiatif anak atau orang tua siswa tidak masalah namun bila
inisiatif karena disinggung guru, tentu salah. Kenapa? Guru sudah dapat gaji
dan kewajibannya mengajar. Penghargaan kadang tidak datang ketika pembelajaran
berakhir namun ketika anak-anak meraih kesuksesan, disitu mereka mengingat
guru-guru mereka.
Selain
delapan modus ini bisa jadi masih banyak modus pungutan sekolah dalam bentuk
lain. Kementerian Pendidikan, Dinas Pendidikan, Inspektorat, hingga DPRD banyak
yang tidak berdaya memberantas pungutan sekolah.
Betapa
susahnya membongkar praktik korup di satuan pendidikan. Jika dulu orang banyak
mafhum pungutan sebagai penambah insentif guru dikarenakan gaji tak layak namun
sekarang ketika gaji tak dipersoalkan oleh pendidik mereka sendiri enggan
mengurangi bahkan memberantas praktek-praktek semacam ini. Diakui atau tidak
praktek pungutan semacam ini meningkatkan tingginya biaya pendidikan di
Indonesia.
Akankah
kita diam saja melihat semua ini?
0 komentar:
Posting Komentar