Jumat, 10 Januari 2014

Mempertanyakan BPJS Kesehatan

Mulai Januari Tahun 2014, pengelolaan layanan kesehatan milik pemerintah semua dilakukan di 1 atap bernama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Jadi pengguna Askes dan Jamsostek kini mulai dilayani dan dilimpahkan kesana. Rencananya hingga 2019 semua masyarakat Indonesia kesehatannya akan diurusi institusi ini. Bagi PNS, TNI, Polri dan peserta Jamkesmas secara otomatis bergabung dan bagi masyarakat lainnya diminta bergabung. Tentu tidak gratis alias membayar iuran Rp 25.500 untuk layanan kelas III, Rp 49,500 untuk layanan kelas II dan Rp 59.500 untuk layanan kelas 1. Dan harga itu untuk membayar tiap jiwa (premi).

Dibandingkan dengan asuransi swasta memang harga yang ditarifkan oleh BPJS Kesehatan ini sangat murah. Coba saja di cek berbagai asuransi kesehatan yang pada tahun 2010an saja premi sudah seharga Rp 100.000/bulan. Itu premi asuransi yang biasa saja, apalagi yang kelas Pru******l atau All****e yang keluaran German. Cuma kedua layanan kelas premium dengan premi mahal memang kualitasnya dijamin. Akses dan cara klaim tidak terlalu rumit. Dengan jaman semakin canggih, premi kadang tak harus setor atau diambil melainkan automatic debet via bank.


Bagaimana dengan rencana pengelolaan BPJS ini? Di beberapa bank sudah ada fasilitas asuransi bagi penabung dengan nominal tertentu. Memang kemudian uang yang didapat diakhir periode tidak sama persis dengan yang disetor hanya saja yang perlu dicatat adalah fasilitas kesehatan itu sebagai layanan tambahan. Perhitungan kasar dari model yang pernah saya ketahui dalam jangka 10 tahun hanya berkurang sekitar Rp 2jutaan saja alias bila dirata-rata setahun hanya membayar sekitar Rp 1,2juta atau Rp 100.000/bulan. Itu uangnya kembali.

Bandingkan dengan BPJS yang preminya murni hangus. Saya pikir dengan layanan untuk seluruh Indonesia semestinya kalau model premi hangus nominalnya bisa lebih rendah lagi. Bayangkan saja bila yang terdaftar sebagai peserta BPJS itu separo atau 50 persen yaitu 125 juta. Sedangkan yang Jamkesmas alias bebas iuran 25% penduduk Indonesia itu sudah 60 juta jiwa. Berarti 70 juta jiwa sisanya membayar. Bila premi perbulan Rp 10.000 saja didapat nominal Rp 700 miliar/bulan atau Rp 8,4 trilyun pertahun. Bisa dibayangkan berapa keuntungan BPJS perbulannya?

Layanan RS harus berkualitas
Jika se Indonesia anggap saja ada 1.000 rumah sakit yang melayani peserta BPJS, setidaknya tiap RS itu mendapat cadangan Rp 700 juta. Dengan kalkulasi ini seharusnya BPJS bisa memberi layanan lebih murah dan lebih ekslusive misalnya model autodebet tabungan atau gaji bagi yang non PNS. Sudah begitu premi yang dikenakan bisa lebih murah. Atau sekalian tambahi fasilitasnya bagi yang 1 tahun sama sekali tidak menggunakan biaya berobat maka dia bebas premi 2 bulan misalnya.

Saat ini yang juga dikritisi peserta BPJS adalah pendaftaran harus sesuai alamat. BPJS sendiri belum menyediakan card reader pembaca e-KTP sehingga secara administratif menyulitkan peserta. Kenapa tidak sekalian bekerjasama dengan perbankan bahwa bagi yang memiliki rekening di bank secara otomatis menjadi peserta BPJS dengan diberi kartu cuma-cuma. Terutama yang bunga tabungannya diatas Rp 10.000/bulan. Bagi yang tidak mencapai nominal itu, maka akan ditanyakan pihak bank.

Dengan perhitungan pemasukan sebesar itu, maka tawaran kapitasi pada dokter yang melayani BPJS tentu akan berlomba-lomba memudahkan pelayanannya. Sebab makin banyak dia melayani pasien, otomatis pendapatannya akan meningkat. Tolak saja tawaran IDI yang meminta tunjangan dokter Rp 2 juta - Rp 3 juta perbulan tanpa pengawasan. Urus dulu keanggotaan masyarakat terutama bagi yang masuk program Jamkesda sebab Pemda tidak mudah menyetujuinya. Beda Jamkesda dengan BPJS adalah premi BPJS hangus sedang anggaran Jamkesda itu akan dibayarkan bila peserta Jamkesda berobat.

0 komentar:

Posting Komentar