Kamis, 29 September 2016

Reperda Pendidikan Menengah DIY Terlalu Universal, Keistimewaan Jogja Belum Muncul

|0 komentar
Rancangan Peraturan Daerah tentang Pendidikan Menengah Provinsi DIY dilihat masih sangat universal, kurang focus dan keistimewaan Jogjakarta tidak terlihat. Hal itu dinyatakan oleh dosen Universitas Jogjakarta Prof Slamet dalam sesi paparan tanggapan atas Raperda Pendidikan Menengah. “Kalau kurang focus ya tidak beda dengan UU atau PP. Mestinya ada hal yang spesifik” ujar Prof Slamet Rabu (28/9) di gedung Rapat Paripurna DPRD Yogyakarta.

Prof Supriyoko dari Taman Siswa menyatakan hal yang serupa bahwa pendidikan di Yogyakarta mampu menjadi yang terkemuka tidak hanya ditingkat Indonesia namun juga di Asia. “Sederhana saja, kalau liburan kita sulit cari kamar menginap” ujarnya. Artinya pengembangan SMK sebagai bagian dari sekolah menengah punya ruang besar memaduserasikan antara ilmu dan praktek. Dengan demikian kebutuhan praktek lapangan akan lebih banyak mudah direalisasikan.

Sedangkan Ari Kurniawan dari Subdit Pembinaan SMK, Dirjen Pendidikan Menengah menyatakan teaching factory perlu dimasukkan dalam Perda karena berdasar Inpres No 6 Tahun 2016, Presiden mendorong kesiapan tenaga kerja. “Jika SMK tidak mampu menghasilkan tenaga siap kerja, ya (Negara) kita akan diserbu tenaga kerja asing” ujarnya.

Tetapi menurut Nino, secara substantive ada hal yang belum disinggung dalam Raperda yaitu soal visi pendidikan menengah tidak dituliskan. “Padahal visi pendidikan menengah itu penting bagi arah pendidikan di DIY itu mau kemana? Bila dalam workshop sebelumnya Prof Wuryadi (Ketua Dewan Pendidikan Propinsi) mengingatkan untuk memasukkan aspek sosiologis soal Kampung, Kampus dan Kraton. Dalam Naskah Akademiknya sudah masuk namun di Raperda-nya malah tidak ada. Ini yang harus dimunculkan sehingga menjadi jelas pasal-pasal turunannya bagaimana” kata Nino yang datang mewakili YSKK Surakarta.

Selain visi, tentang pendanaan pendidikan menjadi hal krusial yang disinggung Nino. Artinya, mengacu pada tata kelola pendidikan bahwa sekolah dikelola dengan Manajement Berbasis Sekolah. Sehingga unsur transparansi dan akuntabilitas menjadi penting. “Memasukkan aturan mengenai e-RKAS dan e-RAPBS dalam pasal menjadi kebutuhan yang penting untuk direalisasikan.  Penyusun tidak perlu khawatir konsiderannya karena ada pasal 27 di PP 17 Tahun 2010 bisa digunakan. Ini juga untuk pengawasan agar sekolah menengah tidak sembarangan menarik sumbangan atau pungutan. Sebab klausul itu sudah diatur secara ketat dalam pasal 47 di PP 48 Tahun 2010, sehingga sekolah tidak boleh sembarangan menarik pungutan” jelas Nino.

Menanggapi usulan Nino, Prof Slamet menyambut baik dan mendorong bagi tim penyusun, DPRD maupun Dinas Pendidikan menerima masukan tersebut. “Soal e-RAPBS dan e-RKAS itu sudah menjadi tuntutan perkembangan perkembangan jaman sehingga harus masuk (di Raperda)” pria yang pernah menjabat di Kemdikbud hingga 8 Menteri.

Sementara beberapa peserta diskusi mendesak adanya metode perhitungan unit cost dalam Raperda sehingga pendidikan menengah tidak sembarangan menarik iuran pada orang tua siswa.

“Soal pendidikan menengah berdasar UU 23/2014 menjadi kewenangan propinsi sejak 16 Agustus 2016 eh belum lama ini bupati Bantul malah mengeluarkan edaran SMA/SMK boleh menarik sumbangan maksimal Rp 3 juta” urai Muhammad dari LO DIY. Maka dari itu, metode perhitungan unit cost harus tercantum di Raperda.

Wahid dari Aksara menyampaikan bahwa unit cost masuk bab pembahasan di Pembiayaan Pendidikan atau Pendanaan Pendidikan yang sama sekali tidak muncul di Raperda. “Padahal dalam PP 48 Tahun 2008 jelas klausul yang mengatur soal itu” tambah Dyah dari LSPPA. Dyah juga mendorong perhitungan kebutuhan pendidikan menengah agar bisa diperoleh kepastian atas program wajib belajar 12 tahun. “Jika ada kalkulasi kan kita bisa berhitung apakah DIY mampu atau tidak apalagi perlu dikaji bisakah Dana IS dimanfaatkan untuk hal ini” ungkapnya.

Menanggapi hal itu, Ir Atmaji sebagai moderator maupun Wawan Andriyanto SH mengucapkan terima kasih dan akan memasukkan berbagai tanggapan yang muncul.

Rabu, 28 September 2016

Oktober, Raperda Pendidikan Gunungkidul Dibahas

|0 komentar
Ketua Komisi IV DPRD Gunungkidul DIY menyatakan bahwa Raperda inisiatif DPRD tentang Pendidikan akan dibahas Oktober 2016 mendatang. “Maka penyelenggaraan diskusi ini tepat diadakan saat ini karena Oktober mendatang akan mulai dibahas” kata Dodi Wijaya SH ST dalam diskusi yang mengambil Tema Nasib Pendidikan Gunungkidul Tanpa Perda.

Diakuinya, Raperda Pendidikan rencananya memang dibahas terlebih dahulu namun paska pengesahan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang salah satunya mengamanatkan pengalihan pendidikan menengah ke pemerintah propinsi diputuskan ditunda.

“DPRD kemudian membahas Raperda inisiatif lainnya yakni tentang difabilitas yang saat ini sudah kelar. Semoga bulan depan kita sudah mulai pembahasan” kata pria dari Partai Amanat Nasional itu.

Hambatan lain yang ada, lanjutnya pendidikan Gunungkidul masih menggunakan mengacu pada undang-undang pendidikan, peraturan pemerintah maupun peraturan menteri tentang pendidikan. Selain itu pemahaman dalam bidang perundang-undangan di SKPD Gunungkidul masih kurang. misalnya perda tentang larangan merokok di ruang publik. Faktanya PPTSP (perijinan satu atap) tetap memberi ijin pemasangan iklan rokok didekat dinas kesehatan. Oleh sebab itu, birokrasi juga harus menata diri, menyamakan persepsi tentang kebijakan.

Padahal capacity building tentang peraturan perundang-undangan sering diadakan di birokrasi. Dalam satu tahun bisa mencapai 8 kali. Sedangkan di legislative paling hanya 2 kali.

Menanggapi paparan Dodi, Nino Histiraludin dari YSKK mengungkapkan ada beberapa persoalan krusial dalam Raperda. Pertama mengenai visi pendidikan yang tidak tertuang dalam Raperda. “Visi disusun berdasar grand design pendidikan Gunungkidul. Tapi apakah grand design ini sudah dimiliki oleh Dinas Pendidikan? Kalau belum, ini menjadi persoalan besar. Tanpa visi, maka klausul-klausul yang ada tidak memiliki arah dan pegangan jelas” kata Kepala Divisi Pemberdayaan Anak YSKK.

Disisi lain, pembahasan Raperda harus melibatkan masyarakat sebab kebijakan itu akan diterima atau berdampak pada masyarakat. Nino menuturkan YSKK sedang terlibat dalam 3 pembahasan Perda Pendidikan yakni di Gunungkidul, Surakarta dan DIY. Sehingga mencari berbagai rujukan Perda Pendidikan yang cukup komprehensif. Ada beberapa pembelajaran yang didapatkan dari proses pencarian, pendalaman materi perda maupun membangun komunikasi dengan legislative.

“Di Solo, kami yang tergabung dalam jaringan OMS malah diminta BP2D (Balegda) untuk masuk tim ahli Raperda. Nanti dalam prosesnya, kami bisa melibatkan teman-teman lain untuk pendalaman. Bila yang dibahas misalnya tentang pelibatan masyarakat ya kami ajak teman2 OMS, bila yang dibahas mengenai sekolah inklusi kami bisa ajak teman-teman difabel dan lain sebagainya” ujar Nino. Maka Nino mendorong hal yang sama bisa dilakukan di Gunungkidul.

Menanggapi hal itu, Dodi mengaku akan membicarakan di dewan. Diakuinya anggaran untuk Tim Ahli Tahun 2015 mencapai Rp 50 juta dan tidak terpakai. Tahun ini meningkat menjadi Rp 70 juta. Selain itu, ada forum public hearing yang akan dilakukan Pansus sehingga aspirasi masyarakat dapat terserap dalam Perda Pendidikan.

Eka Bani dari YSKK menekankan pentingnya kebijakan ditingkat daerah tentang pendidikan. “Salah satu urusan wajib bagi pemda itu pendidikan. Lha kalau tidak ada Perda maka pegangan satuan pendidikan menjadi tanpa kendali” kata Bonnie. Adi dari RBR menyatakan agar dalam pembahasan, semua pihak dapat dilibatkan karena kebijakan pendidikan merupakan kebijakan yang mempengaruhi masa depan Gunungkidul. “Yang kami lihat malah bupati fokusnya ke pariwisata padahal pendidikan itu menentukan masa depan hidup kita” ujar Adi.

Peserta kemudian menyepakati akan mengawal perda secara serius. Mereka akan melakukan langkah-langkah strategis agar Perda Pendidikan Gunungkidul diputuskan secara partisipatif. Mereka akan bersama-sama mengkampanyekan Raperda dan membuka ruang agar masyarakat dapat memberi masukan atas Raperda Pendidikan.

Diskusi ini terselenggara atas kerjasama Rumah Belajar Rakyat (RBR) Gunungkidul dengan Yayasan Satu Karsa Karya (YSKK) Solo. Acara digelar di Pendopo Sekretariat RBR Siraman Wonosari dan diikuti 15 peserta.


Sabtu, 24 September 2016

Dicari Kepala Daerah Yang Bisa Larang Sekolah Jual LKS

|0 komentar
Saat ini hampir sulit menemukan sekolah tidak memperjualbelikan Lembar Kerja Siswa (LKS). Fungsi LKS itu sebenarnya membantu pendidik untuk melatih anak didik mengerjakan soal-soal dari materi yang diajarkan.

Padahal setiap guru dalam menyampaikan materi memakai metode yang berbeda. LKS sebenarnya alat bantu bagi pendidik untuk mengetahui sejauh mana siswanya menyerap pembelajaran yang diajarkan. Lantas dimana problemnya? Ada 2 argumentasi besar kenapa LKS tidak layak dijadikan materi bantuan bagi siswa didik. Pertama, jual beli LKS disekolah menambah beban orang tua dan kedua, evaluasi pembelajaran dilakukan oleh guru yang bersangkutan.

Seringkali LKS diadakan oleh sekolah dengan harga yang jauh lebih mahal. Bayangkan bila biaya produksinya hanya Rp 5.000/LKS namun dijual hingga Rp 15.000 – Rp 30.000/LKS. Seringkali pengadaan LKS dilakukan oleh guru atau sekolah tanpa pernah melibatkan orang tua dalam proses pembelian LKS. Misal menentukan penerbit yang cocok, materi didalamnya yang tepat hingga harga yang ditolerir.

Dan yang terpenting, guru yang sudah digaji oleh pemerintah dengan tinggi (karena mendapat sertifikasi) harusnya yang memberi tes harian sejauhmana daya serap siswanya.

Pendidik hanya mengambil cara gampangnya saja. Toh bila dengan LKS dia bisa mendapat tambahan pendapatan. Hampir tidak memeriksa materi untuk latihan soalnya diajarkan atau tidak. Saya beberapa kali memergoki harus mengajarkan anak mengerjakan soal di LKS karena gurunya tidak menyampaikan materi yang dijadikan PR dari LKS. Guru juga hanya mencari gampangnya saja. Padahal guru-guru jaman dahulu jika tidak memberi PR atau tes dari buku paket maka dia akan membacakan soalnya.

Fenomenya LKS ini hampir merata diberbagai wilayah. Pemerintah sudah meminta agar sekolah cq guru tidak berjualan LKS namun sepertinya diabaikan saja. Kepala daerah mestinya mendorong dan memberi rambu-rambu yang tegas soal jual beli LKS ini di sekolah. Belum lagi kasus banyak buku pendamping atau LKS yang ternyata memuat pornografi, radikalisme hingga tidak sesuai dengan usia anak didik.

Kementerian Pendidikan tidak mungkin mengontrol tiap LKS. Dinas Pendidikan saja tidak punya wewenang memeriksa setiap LKS yang dijual ke sekolah karena keputusan menggunakan tidaknya LKS tergantung kebutuhan sekolahnya sendiri alias gurunya. Baru-baru ini, Dedi Mulyadi Kepala Daerah Purwakarta Jawa Barat menerbitkan Surat Edaran Dinas yang melarang sekolah jual beli LKS ini.

Argumentasi yang diajukan oleh Kang Dedi ini tidak sekedar soal beban biaya orang tua. Kang Dedi dalam akun social medianya menjelaskan bahwa pengembangan kemampuan bukan hanya aspek kognitif tetapi juga kreatif dan produktif. Ada aspek motorik dan aspek afektif yang tak kalah pentingnya. Apa kita mau mendidik anak-anak hanya memiliki kapasitas pengetahuan padahal punya kapasitas lain yang mumpuni? Kang Dedi juga mengeluarkan ancaman yang tegas agar kepala sekolah maupun guru harus mematuhinya.

Kenapa Kepala Sekolah turut dilibatkan dalam pengenaan sanksi? Kadang ada kepala sekolah pura-pura tidak tahu guru melakukan jual beli LKS meski menerima sesuatu dari guru yang melakukan. Ancaman sanksi kepala sekolah memaksa dia menjalankan tugasnya memastikan anak buahnya tidak ada yang memperjualbelikan LKS. Lantas kabupaten/kota mana lagi yang berani melakukan terobosan seperti Kang Dedi?

Kamis, 22 September 2016

Raperda Pendidikan Surakarta, Sudahkah Gambarkan Arah Pendidikan?

|0 komentar
Kota Surakarta selama ini memang dikenal memiliki banyak inovasi pemerintah daerahnya terutama sewaktu Joko Widodo masih menjabat sebagai Walikota. Namun paska ditinggalkan beliau, nampaknya tidak ada perkembangan signifikan. Salah satunya terkait usul inisiatif revisi Perda Pendidikan yang diajukan oleh DPRD untuk mengganti Perda No 4 Tahun 2010 tentang Pendidikan yang sudah tidak sesuai dengan kondisi. Gagasan itu muncul pertama tahun 2013 ketika MK membatalkan pasal 50 ayat 3 UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Di Perda Kota Surakarta, pencabutan pasal diatas berimplikasi pada pasal 35-37 yang mengatur tentang Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Setahun kemudian kembali isu itu terlontar dengan tambahan argumentasi yakni belum adanya 20 Perwali yang seharusnya mendampingi Perda tersebut.

Tahun 2015 akhir, wacana revisi menguat ketika UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah disahkan. Salah satu klausulnya mengatur jenjang Pendidikan Menengah menjadi tanggungjawab Pemerintah Provinsi. Maka dari itu, Badan Pembentukan Peraturan Daerah (BP2D) memasukkan rencana tersebut dalam Prolegda 2016. Proses selanjutnya yakni penyusunan Naskah Akademik oleh konsultan yang sudah melalui berbagai tahapan. Awal 2016, diselenggarakan publik hearing tentang Naskah Akademik namun peserta yang hadir justru mendapatkan draft Raperda. Padahal dokumen Naskah Akademik penting diperoleh sebagai gambaran peta/roadmap Perda Pendidikan yang bakal disusun akan seperti apa.

Namun rupanya timbul masalah pelik, konsultan yang presentasi dalam public hearing tersebut tidak mencatat masukan dari peserta. Hal inilah yang menimbulkan kemarahan besar Ketua BP2D Surakarta, Putut Gunawan. “Terus terang saya prihatin, mereka itu konsultan yang kita sewa tapi kinerjanya tidak optimal” ungkapnya sewaktu diskusi dengan Masyarakat Peduli Pendidikan Surakarta (MPPS) awal September di Sekretariat YAPHI Solo.

Hingga jelang akhir September ternyata Naskah Akademik tidak kunjung diperoleh. Padahal idealnya NA bisa didapatkan sehingga masyarakat akan lebih mudah mengkritisi. Namun karena tidak kunjung diperoleh, akhirnya Nino Histiraludin selaku Kepala Divisi Pemberdayaan Anak yang salah satu programnya soal pendidikan mencoba mengkaji draft Raperda yang ada. Kajian ini belum masuk ke dalam pasal namun masih berupa potret besar atas Raperda. Ada 3 catatan besar yang penting untuk dibenahi. Ketiga catatan tersebut yaitu :

Pertama, dalam klausul “menimbang”, argumentasi yang diajukan untuk revisi Perda pendidikan  mencakup 2 hal yaitu a) kewenangan Pemkot Solo dalam penyelenggaraan pendidikan; b) Perda lama sudah tidak sesuai. Bukankah landasan filosofis dan sosiologis semestinya menjadi landasan utama kenapa kemudian Perda ini perlu dibuat (direvisi).

Kedua, Struktur Perda mau dibuat seperti apa? Harus ada konsistensi dalam penyusunan Bab. Dari draft yang ada misalnya pengaturan pendidikan semestinya terbagi atas pendidikan formal, informal dan non formal. Tetapi dalam draft tersebut yang diatur hanya pendidikan Non Formal dan Pendidikan Informal. Sementara Pendidikan Formal tidak ada, malah mencantumkan Pendidikan Dasar dan PAUD. Padahal PAUD itu terbagi di Pendidikan Formal (TK/RA/BA), Non Formal (KB/TPA) dan Pendidikan Informal (Pos PAUD, BKB/TPQ).

Ketiga, Tidak ada pasal menjelaskan visi pendidikan Kota Surakarta. Menurut hemat pertimbangan kami visi ini menjadi penting karena arah pendidikan kota menjadi jelas akan dibawa kemana. Perda bukan hanya me”lokal”kan aturan-aturan nasional tetapi juga menjadi rambu-rambu/batasan keluaran, arah pendidikan Kota Surakarta bakal seperti apa. Selain itu Bab/Pasal tentang “Visi” ini mempengaruhi pasal-pasal selanjutnya. Idealnya pasal tentang Visi ini mengacu pada grand design pendidikan Kota Surakarta yang sampai sekarang belum ada.

Maka dari itu, sebelum dimulai pembahasan sebaiknya Pansus DPRD atau bahkan BP2D DPRD Kota Surakarta meminta tenaga ahli membenahi 3 hal tersebut diatas.

Rabu, 21 September 2016

Kerja Keras Mendorong Transparansi Sekolah

|0 komentar
Meskipun berbagai aturan sudah mengamanatkan transparansi anggaran disekolah, namun secara factual ternyata tidak mudah. Hal ini tercermin dalam pertemuan antara pengurus paguyuban kelas, komite sekolah dan kepala sekolah di SDN Kleco 1 Selasa (20/9). Meski kepala sekolah membacakan penerimaan dan penggunaan dana, namun RKAS yang sudah menjadi kewajiban sekolah menyusun dan dapat diakses oleh siapapun tidak dibagikan sebelum acara.

Akibatnya peserta yang merupakan paguyuban orang tua siswa tidak dapat tahu dan membaca secara detil penyampaian kepala sekolah. Padahal dalam berbagai kesempatan bertemu, pelatihan atau pendampingan, SDN Kleco I yang merupakan sekolah dampingan Manajemen Transparan Akuntabel dan Partisipatif (MANTAP) harusnya dapat merealisasikan hal tersebut.

Drs Joko Sudibyo dalam paparannya menyampaikan bahwa kebutuhan bulanan sekolah mencapai Rp 5 juta. Sementara apabila dilihat dari pendapatan iuran bulanan siswa @Rp 10.000 dengan jumlah total siswa 393 hanya memperoleh Rp 3.980.000. Tingginya kebutuhan dana bulanan salah satunya untuk memberi insentif/tambahan penghasilan guru tidak tetap yang berjumlah 8 orang masing-masing @ Rp 250.000/bulan. “Karena aturan juklak juknis BOS membatasi pemberian tamsil kalau dulu 20 persen sekarang hanya 15 persen. Otomatis kami harus mencarikan dari sumber lain” ujarnya.

Merespon penjelasan itu, salah satu perwakilan paguyuban menanyakan niat awal pengumpulan iuran itu diharapkan untuk membayar tenaga kebersihan. Namun malah dialihfungsikan untuk yang lain sehingga orang tua siswa masih harus mengeluarkan biaya untuk membersihkan kelas.

Atas pertanyaan itu, Joko mengaku tidak bisa apa-apa sebab sekolah tidak bisa bebas melakukan perekrutan tenaga bahkan untuk mengontrak outsourcing. Tenaga kebersihan yang ada hanya 1 dan dibantu 1 orang pekerja lepas yang kadang dipanggil. Urusan mereka juga berbeda, 1 orang sudah memiliki SK dari dinas mengurus halaman, ruang guru, toilet, ruang perpustakaan dan lainnya. Sedangkan tenaga mengurus kelas yang kadang tidak tuntas dikerjakan dikarenakan waktu. Tidak hanya tenaga kebersihan, saat ini SDN Kleco juga kekurangan guru agama Islam sehingga pembelajaran tidak efektif.

Sayangnya kepala sekolah tidak membagikan Rencana Kerja Anggaran Sekolah seperti yang diatur dalam Juklak Juknis BOS sehingga dapat dikritisi bersama dan dicarikan jalan keluar. Pembicaraan juga didominasi oleh kepala sekolah yang secara keseluruhan menghabiskan waktu 80 persen sendiri.

Pembicaraan kemudian dialihkan pada kegiatan jeda semester yakni rencana studi wisata. Kepala sekolah berpesan tiap ortu siswa harus menandatangani surat pernyataan kesadaran diri dan bukan karena terpaksa ikut studi wisata. Segala proses persiapan, tujuan maupun iuran murni dibahas antara paguyuban dan orang tua siswa serta berjanji tidak akan menimbulkan konsekuensi ke kepala sekolah maupun sekolah apabila muncul masalah dikemudian hari. Paguyuban juga diminta membuat proposal karena Dikpora meminta sekolah yang memanfaatkan jeda semester untuk kunjungan mengumpulkan proposal serta pernyataan tidak ada paksaan dari sekolah.

Dari proses diatas, komite sekolah yang hadir diberi kesempatan pada jelang akhir untuk menanggapi. Trijono mengemukakan rencananya untuk segera melakukan regenerasi karena periodisasi akan segera berakhir. Sayangnya moment ini tidak dijadikan ajang untuk memberi masukan pada sekolah.

Sementara itu Nino Histiraludin dari YSKK menekankan pentingnya transparansi anggaran. “Jika memang sekolah mendapat Rp 3.930.000 sedangkan kebutuhan mencapai Rp 5 juta harus dicari formula dan dibicarakan bersama. Disini peran komite maupun paguyuban menjadi penting. Sekolah sudah menyampaikan kebutuhan dan kekurangannya, silahkan bagaimana paguyuban menyikapi hal itu” tandasnya.

Pertemuan tersebut diinisiasi sendiri oleh sekolah dan bertajuk Koordinasi sekolah dengan paguyuban. YSKK diundang pada hari H sehingga tidak mengetahui koordinasi tentang apa, siapa saja yang diundang bahkan tidak mendapat bahan apapun. Tetapi setidaknya dalam pertemuan tersebut dapat disimpulkan bahwa kesadaran pihak sekolah melakukan transparansi, akuntabilitas hingga pelibatan paguyuban serta komite sekolah dalam manajemen sekolah masih jauh panggang dari api. Membumikan TAP di tingkat sekolah memang tidak mudah. Bahkan menurut salah satu kolega YSKK menyatakan perubahan di sekolah dapat dicapai apabila kepala sekolah mempunyai komitmen, tanpa itu tidak akan terealisasi.

Paska pertemuan, komite, sekolah dan YSKK kemudian mendiskusikan kapan diadakan acara capacity building paguyuban kelas tentang BOS serta pembentukan panitia pergantian komite sekolah. Disepakatilah hari Sabtu (1/10) diadakan pertemuan tentang hal itu.

Etic Track Pejabat, Pintu Pencegahan Korupsi?

|0 komentar
Kasus korupsi nampaknya masih akan terus terjadi dikalangan pejabat kita meski ancaman hukuman sudah mengerikan. Upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan sepertinya jauh panggang dari api. Hampir rata-rata 2 minggu sekali ada saja kasus korupsi yang diungkap oleh KPK. Vonis hukuman yang berat yang dikenakan pada koruptor dan di blow up media sepertinya tidak menimbulkan efek apapun. Pejabat kita baik eksekutif, yudikatif dan legislative masih saja ada yang terkena kasus.

Terakhir bahkan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman terkena kasus. Padahal banyak orang mengenal beliau cukup bersih. Inikah yang dinamakan perilaku kita akan terbawa oleh lingkungan? Bila sekelas Irman Gusman saja bisa terlena, bagaimana dengan yang lain?

Irman terkena kasus juga bekan merupakan rentetan dari kasus lain namun karena operasi tangkap tangan. Sungguh luar biasa memprihatinkan. Tidakkah kasus-kasus sebelumnya membuat pejabat merasa ngeri dan menjauhi hubungan yang memiliki resiko beginian? Padahal sebelumnya ada kasus percobaan penyuapan terkait penetapan Perda Reklamasi teluk Jakarta. Berbagai pihak telah ditangkap dan menjalani proses penyidikan.

Rupanya pemberantasan korupsi dengan cara pengungkapan di media sudah tidak lagi efektif untuk pencegahan korupsi. Saya cukup kaget membaca status di media social seorang teman yang berlatar belakang jurnalis senior di harian Kompas. Beliau kenal dengan Irman Gusman dan salah satu yang menjadi perbincangan pada intinya

Lantas apakah hal ini akan dibiarkan atau akan diantisipasi? Bila dibiarkan maka pemberantasan korupsi akan tetap seperti sekarang, tetap saja terjadi. Lantas apa yang bisa dilakukan supaya efektif? Salah satu hal menetapkan etic track. Apa itu etic track? Etik track adalah upaya melacak catatan kode etik yang dimiliki seorang pejabat sesuai dengan kode etik yang melekat pada jabatan-jabatan tertentu. Analogi sederhananya bila tentang laporan keuangan tiap tahun diaudit BPK dan BPKP maka etik track akan dilakukan lembaga yang dibentuk Negara untuk hal itu. Entah mau berdiri sendiri atau berada dibawah KPK.

Apa tugas mereka? Memberikan catatan, evaluasi dan feedback atas kode etik yang harusnya melekat dijabatan tersebut. Gagasan ini pasti bakal ditolak mentah-mentah karena merasa pergerakannya tidak bebas. Tapi apakah itu menjadi kekhawatiran bagi pejabat yang bersih? Saya kira tentu tidak. Sebut saja orang seperti Mahfudz MD, Anies Baswedan, Ahok, Risma, Ridwan Kamil tidak akan merasa keberatan. Kenapa? Karena mereka bersih dan memang tidak melakukan hal-hal yang melanggar kode etik sebagai pejabat.

Etic Track tidak perlu masuk sampai penyadapan telepon namun agenda harian, ketemu siapa, pergi kemana, rombongannya siapa, keperluan apa harus tercatat rapi. Sehingga badan yang dibentuk untuk itu mudah melakukan verifikasi dan penilaian.

Apakah tidak melanggar HAM? Jelas tidak karena pejabat dibayar mahal, menikmati berbagai fasilitas yang diberikan Negara untuk bekerja penuh mendedikasikan hidupnya untuk urusan Negara. Sehingga persoalan-persoalan etik tentu menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Kasus seperti Irman menerima tamu dirumah dengan orang yang punya kepentingan, Akil Muchtar bertemu orang berperkara atau bahkan tidak hadir tanpa pemberitahuan, Lutfi Hasan menemui Fatonah akan jauh berkurang.

Lembaga ini pun tidak perlu memberi persetujuan pada agenda-agenda yang dirancang pejabat namun memberikan evaluasi setelah 1 tahun berjalan, persis seperti BPK. Sehingga pejabat dalam melakukan aktivitasnya tidak merasa diikuti, dipantau, diawasi secara ketat. Evaluasi yang dilakukan lembaga ini juga diberikan langsung pada pejabat yang bersangkutan sehingga kerahasiaan akan tetap terjaga. Dengan demikian potensi atau kesempatan melakukan tindakan korupsi atau aktivitas yang melanggar lainnya akan dapat diminimalisir.

Minggu, 18 September 2016

Peta Alokasi Pendidikan Beberapa Kabupaten/Kota

|0 komentar
Anggaran pendidikan sudah dimandatkan oleh amandemen UUD 1945 dialokasikan sebesar 20 persen baik oleh APBN maupun APBD. Ditingkat nasional, lebih dari 3 tahun alokasi APBN sudah mematuhi mandat UUD namun ditingkat daerah masih banyak yang belum merealisasikannya. Data pemenuhan anggaran pendidikan bisa kita cek di Neraca Pendidikan Daerah (npd.data.kemdikbud.go.id). Semua kabupaten kota tersedia datanya untuk tahun anggaran 2015.

Dalam NPD tersebut jelas tergambar berbagai data pendidikan mulai infrastruktur, tenaga pengajar, siswa, APK, APM, kompetensi pendidik, tingkat pendidikan guru, anggaran dan lain sebagainya.
Data yang disediakan oleh pemerintah ini sangat penting sebab selama ini kita kesulitan mengakses data. Sehingga ketika akan melakukan advokasi kebijakan di daerah hampir dipastikan akan “membentur tembok”. 

Dengan ketersediaan data ini, kita semua jadi tahu banyak hal tidak hanya alokasi anggaran difokuskan kemana, apa yang harus dibenahi hingga komitmen kepala daerah terkait sector pendidikan bisa kita bandingkan dengan daerah sekitarnya.

Ada beberapa daerah yang saya coba perbandingkan data dari NPD yakni mewakili DIY (Gunungkidul dan Kota Yogyakarta), Jawa Tengah (Surakarta dan Sukoharjo), Kalimantan Timur (Kutai Kartanegara), Jawa Barat (Bandung) dan Lampung (Bandarlampung).
Secara umum dari 7 kabupaten/kota itu terlihat Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) tertinggi ada di Kutai Kartanegara yang mencapai Rp 6,8 triliun. 

Adapun APBD terendah yakni Kota Surakarta yang hanya Rp 1,58 triliun. Untuk alokasi APBN yang digelontorkan untuk pendidikan terbesar diterima Kota Bandung kemudian Kota Bandarlampung. Dan yang alokasi APBN untuk pendidikan rendah yakni Yogyakarta.

Hal ini dikarenakan jumlah guru dan jumlah siswa paling sedikit diantara 6 kabupaten kota lainnya. Alokasi APBN itu memang dihitung dari gaji guru, tunjangan sertifikasi, Bantuan Operasional 

Sekolah, Tunjangan Guru/Pegawai Tidak Tetap Daerah dan DAK Pendidikan. Dari data diatas jelas terlihat jumlah guru dan siswa di Kota Yogyakarta memang paling sedikit dibandingkan daerah lain.
Komitmen kepala daerah terhadap pendidikan akan terlihat di alokasi APBD untuk sector pendidikan. Karena anggaran yang dialokasikan murni dari anggaran daerah tidak bergantung pada anggaran pusat. 

Kebanyakan untuk perbaikan infrastruktur tetapi ada beberapa daerah yang mengalokasikan BOSDA sebut saja Kota Surakarta. Dari data diatas terlihat nominal APBD terbesar dialokasikan oleh Kabupaten Kutai Kartanegara yang mencapai Rp 649 M, disusul Kota Bandung (Rp 298 M) dan Kota Yogyakarta (Rp 210 M). Sementara yang minim yakni Kota Bandarlampung yang hanya Rp 51 M dan Kota Surakarta (Rp 77,5 M).

Bila dilihat dari prosentase APBD, alokasi terbesar ada di Yogyakarta (12,1 %) dan Kabupaten Kutai Kartanegara 9,29 persen. Yang prosentasenya minim yakni Kota Bandarlampung (2,38%) dan Kota Bandung (4,66%).

Alokasi tahunan tiap siswa juga masih minim bahkan dibawah anggaran Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk jenjang SD yang besarnya Rp 800.000/tahun. Hanya Kota Yogyakarta dan Kabupaten Kutai Kartanegara saja yang alokasinya besar hingga tiap siswa dialokasikan Rp 4187.400. Memang makna alokasi ini bukan berarti dana segar semua diserahkan ke siswa melainkan APBD yang diperuntukkan bagi sektor pendidikan. Memang ada daerah yang mengalokasikan BOSDA seperti Kota Surakarta yang bentuknya BPMKS. Setidaknya dari sample 7 kabupaten kota di 5 propinsi menunjukkan belum ada daerah yang memenuhi mandat UUD 1945 amandemen ke 4 pasal 31 (4). 

Anehnya meski belum memenuhi kuota 20 persen, hampir tidak ada pemberitaan adanya tuntutan, protes atau  wakil rakyat mengajukan keberatan terkait pemenuhan anggaran. Masyarakat juga adem ayem bahkan ketika di berbagai satuan pendidikan terdapat pungutan dan sumbangan. Butuh dorongan dan penyadaran masyarakat untuk bisa mengadvokasi diri mereka sendiri guna memperjuangkan hak-hak dan apa yang menjadi tanggungjawab pemerintah.

Jumat, 16 September 2016

Batasi Penggunaan Gadget Pada Anak

|0 komentar
Perkembangan teknologi satu dasawarsa ini sangat pesat baik secara teknologi maupun beragam konten informasi/konten yang disediakan terus tumbuh. Disisi lain, tuntutan perkembangan informasi memaksa masyarakat mengikuti dan memiliki perangkat tersebut. Persaingan produsen pun makin keras sehingga konsumen diuntungkan dengan harga yang dibandrol kian murah.

Ketika masyarakat (khususnya kaum dewasa) mengkonsumsi teknologi tersebut tentu berdampak pada keluarga terutama anak-anak. Yang paling menggiurkan dan menimbulkan ketertarikan yakni akses internet dan kemampuan gadget untuk mengunduh aplikasi permainan (game) secara gratis. Diberbagai ruang public masyarakat diberi layanan tanpa bayar sehingga aktivitas dalam memanfaatkan internet makin tinggi.

Berbagai permainan yang tersedia dalam seperangkat gadget membuat anak-anak tertarik dan betah bermain. Beberapa orang tua merasa bangga anaknya bisa mengoperasikan smartphone. Berbagai permainan akan disediakan untuk dimainkan. Disisi lain, orang tua merasa terbantu ketika dirumah butuh beristirahat, menyelesaikan pekerjaan rumah, menuntaskan pekerjaan kantor atau aktivitas lain.

Tanpa disadari, disitulah pintu masuk candu yang bernama game. Namanya anak-anak, memainkan permainan tentu sebuah hal yang mengasyikkan. Awalnya cuma ketika mau tidur, makan sore, menemani orang tua bekerja dirumah dan berbagai permulaan yang simple.

Tidak butuh waktu lama, dalam 3 bulan anak-anak yang awalnya main cuma 1 game akan mencoba permainan yang lain, yang tadinya 30 menit sudah cukup kini 1 jam terasa kurang, yang tadinya sekedar menemani orang tuanya bekerja dirumah sudah beralih bermain sejak pulang sekolah dan berbagai perubahan lainnya. Orang tua yang tadinya dengan mudah meminta kembali HP harus berusaha membujuk keras. Dari yang “sini nak, mau dipakai”, “papa mau nelpon teman kerja papa” hingga mulai menawarkan keasyikan lain. Sebut saja “udah dulu yah, mandi air dingin sana”, “Ayo kita beli es krim”, “Ayo jalan-jalan” hingga beralih mengancam “kalau tidak berhenti sekarang, papa tidak temani main lagi”, “Kalau tidak berhenti sekarang, mama tidak mau nyuapi” dan ancaman lain.

Tanda-tanda tersebut bisa dibilang perlu kewaspadaan orang tua. Silahkan cek di google, sudah banyak kejadian akibat anak-anak yang mengalami kecanduan gadget. Ada banyak tanda dan gejala yang timbul akibat anak-anak bermain hp. Dampak negatifnya juga bisa terlihat seperti gelisah, selalu melirik hp, melakukan perintah asal boleh main hp, egois, individualis dan lain sebagainya.

Bahkan ada anak yang drop out bahkan dikirim ke rumah sakit jiwa gara-gara game addict. Kejadian tersebut di Kelurahan Banyuanyar Surakarta. Anak itu sudah duduk di SMA dan kecanduan berat. Tiap hari hanya main game, sekolah keluar, tidak mau gerak dan ketika membutuhkan sesuatu berteriak dan harus diladeni. Bila tidak dituruti akan mengamuk. Kini anak itu dikirim ke Rumah Sakit Jiwa untuk menjalani perawatan.

Kita semua tidak ingin menghendaki hal itu terjadi dan menimpa kita. Maka dari itu, para orang tua harus pintar membimbing anak untuk menggunakan gadget dengan arif. Tentu menerapkan syarat penggunaan gadget pada anak disesuaikan umurnya.

Hal ini juga bukan berarti melarang anak tidak boleh menggunakan. Yang terpenting yakni tidak boleh membiarkan anak usia dibawah 10 tahun memegang hp tanpa didampingi. Orang tua juga harus membangun kesepakatan bersama anak, aturan apa yang perlu diterapkan termasuk ke orang tua. 

Artinya bila anak dibatasi menggunakan hp saat jam belajar, orang tua harus menemani mereka. Bukan malah keasyikan bermain hp hingga sampai mengabaikan tanggungjawabnya menemani membaca Al Quran atau menemani belajar.

Mendidik anak dijaman modern seperti sekarang ini memang tidak mudah. Terlalu membatasi tidak baik namun membebaskan juga bisa menyulitkan orang tua sendiri. Jadi bijaklah dalam mendidik anak.

Kamis, 15 September 2016

Komitmen Gerakan Itu yang Utama

|0 komentar
Sebagai gerakan bersama yang menamakan Masyarakat Peduli Pendidikan Surakarta, setiap unsur didalamnya harus memiliki komitmen. “Lha buat apa kita sering ketemu, mendiskusikan sesuatu kalau tidak punya komitmen ya tidak usah ada ngumpul begini. Sebagai masyarakat yang peduli pendidikan itu harus kita tunjukkan” ujar bu Wid, anggota MPPS.

Pernyataan tersebut muncul saat kemarin Selasa (13/9) jaringan MPPS mendiskusikan syarat-syarat pendamping tim penyusun Raperda Pendidikan Kota Surakarta. Tanpa ada komitmen, maka pihak lain tidak akan “menganggap” keberadaan kita.

“Komitmen itu tidak hanya harus dimiliki oleh tenaga pendamping yang akan diajukan tetapi juga kita sebagai anggota harus support penuh. Tidak bisa kita menuntut dia komitmen tapi ketika dia kesulitan kita tidak support ya sama saja. Ini yang harus difahami” ungkapnya berapi-api.
Pardoyo yang termasuk anggota MPPS sejak awal menambahkan dukungan anggota jaringan diperlukan. “Pada pembahasan Raperda lama yang mewakili bu Win dari Unisri. Nah waktu itu dia mewakili independen. Dulu galak banget dia makanya di akhir-akhir malah ditilapke” kata Pardoyo pada rapat yang digelar di Yayasan Kakak tersebut. Saat pembahasan dulu bahkan MPPS sampai memiliki Raperda Pendidikan tandingan akibat ketidakpercayaan atas draft yang disusun DPRD.

Hingga kini, Naskah Akademik Raperda Pendidikan Kota Surakarta belum diperoleh. Nino Histiraludin sebagai perwakilan YSKK yang hadir dan memfasilitasi pertemuan menegaskan perlunya kesiapan bersama seluruh anggota jaringan. “Komitmen memang penting namun juga itu harus ditunjukkan oleh semua anggota jaringan. Malam ini kita perlu menghasilkan satu nama yang firm untuk diajukan sebagai pendamping sebab sudah ada peluang yang dibuka oleh DPRD” terang Nino.

YSKK mendorong MPPS segera menentukan nama yang bisa disodorkan ke DPRD dan nama tersebut merupakan anggota yang memenuhi kualifikasi baik standart pengetahuan, waktu hingga komitmen.

Pardoyo mengajukan 3 nama yakni Shoim Saryanti (Kakak), Andwi Joko Mulyanto (Pattiro) dan Nino Histiraludin (YSKK). Dua nama yang disebut akhir dicoret dikarenakan bisa jadi sandungan administrative terkait alamat tinggal dan alamat lembaga. Anwar salah satu peserta juga menegaskan jika hal administrative tidak diantisipasi kadang bisa jadi hambatan. “Kelihatannya sepele tapi bisa menjadi kendala” kata Anwar.

Selain membicarakan kriteria dan nama, malam itu Nino menyampaikan beberapa hal terkait struktur outline Raperda Pendidikan Kota Surakarta yang sudah disusun DPRD. Andwi Joko menyarankan setiap institusi membedah pasal sesuai bidangnya sehingga bisa focus. Selain itu divisi advokasi kebijakan diminta membagi beberapa Perda Pendidikan daerah lain sebagai referensi.
Diskusi lanjutan akan diselenggarakan Senin depan tempat dan waktunya belum ditentukan.

Senin, 12 September 2016

Media Sosial dan Penghakiman Sosial

|0 komentar
Sebenarnya bukan dalam kasus Mario Teguh saja yang ramai dikomentari netizen yang muncul dengan pengakuan kasus anaknya. Ada puluhan atau bahkan ratusan kasus selebritas, legislative, tokoh, politisi, kyai, ustadz dan berbagai pesohor lainnya yang turut di komentari. Salah? Dalam sudut pandang saya mereka tidak salah berkomentar.

Hanya kemudian yang bisa kita saksikan bersama, komentar itu mengandung pesan bahwa si komentator seakan-akan lebih baik, lebih bersih, lebih suci bahkan tidak bakal melakukan tindakan yang sama dengan pihak yang dikomentari.

Jika para pesohor itu berdalih, berlaku, merasa orang yang paling bersih menurut saya silahkan saja. Seperti contohnya para politisi yang dalam kampanye sering mengucap berantas korupsi, perangi nepotisme, bekerja untuk rakyat bukan demi partai namun faktanya sudah ada berapa orang DPR periode 2014 – 2019 yang terkena kasus korupsi. Hal itu membuktikan bahwa antara tindakan dengan omongan tidak berjalan seiring.

Nah munculnya kasus terakhir tentang pengakuan dari Ario Kiswinar sebagai anak Mario Teguh dan sudah ditanggapi sanga motivator, bagi saya biarkan saja. Kalau toh pun dikomentari yang wajar saja. Kita tak perlu berada pada posisi yang paling membela atau menghujat. Kenapa? Ya memang tugas motivator itu untuk membangkitkan semangat atau motivasi kita. Lihat profesi lainnya, yakinkah mereka sudah paling bersih?

Apakah polisi semua pasti bersih? Tidak ada yang korup atau terlibat narkoba? Banyak. Apakah hakim PA tidak ada yang selingkuh dan kena kasus perceraian? Tidak sedikit. Apakah kyai atau ustadz yang menganjurkan tambahan ibadah sunnah tidak pernah sekalipun meninggalkan hal itu? Ya pernah. Dan masih banyak yang lainnya.

Tugas Mario Teguh memotivasi kita, kita percaya dan bangkit karena kata-katanya tentu baik. Lho kita bebas mau dengar dia atau tidak dan tidak ada yang memaksa.

Kalau misalnya kemudian dia kena kasus, itu sangat personal dan tidak ada kaitannya dengan motivasi. Salah satu kata-kata yang diungkapkan MT ketika diwawancarai atas kasus yang membelitnya, Mario berkata “Lho saya dapat kata-kata itu dari mana? Ya karena pengalaman saya” ujarnya dengan tegas dan seakan-akan mengklarifikasi dia bukan orang yang bebas dari berbagai masalah juga.

Para Pesohor
 
Secara pribadi, saya sering mendengarkan berita, nasehat, ceramah, motivasi, konsultasi atau membaca beragam tulisan jarang saya hubungkan dengan pribadi penulis. Saya lebih banyak mengambil pembelajaran dari apa yang saya dengar, saya lihat dan saya baca. Sehingga saya tidak banyak mengagungkan orang yang mengatakannya. Saya sebatas menghormati orang-orang yang menyampaikan hal itu.

Beberapa orang yang saya kagumi dari apa yang dituliskan atau dikatakan yakni Habib Maulana Lutfi bin Ali Yahya, Emha Ainun Najib, KH Mustofa Bisri dan KH Anwar Zahid. Saya mengagumi kehidupan pribadi dan kata-kata yang disampaikan. Dan coba cermati, jarang mereka merasa paling suci dan tidak punya dosa. Mereka memberi banyak petuah dan nasehat serta beberapa kemungkinan gagalnya.

Sekali lagi saya lebih banyak mencerna yang disampaikan dan mengendapkan dalam batin. Lantas diangkat ke otak untuk diproses bagaimana mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Nama-nama yang saya sebut hampir tidak pernah merasa bersih atau tak pernah salah. Bahkan sering Emha dalam tausiahnya mempersilahkan audien tidak mempercayai kata-katanya. Pun jika percaya dikarenakan Allah SWT bukan karena Emha sebab dirinya bukan siapa-siapa dan mahkluk biasa seperti audiens.

Kembali ke soal Mario Teguh, ya kenapa kita harus kecewa? Apa yang dirugikan di diri kita atas masalah yang diterima Mario? Tidak ada. “Bicaranya kayak orang paling bahagia saja”, itu kan karena persepsimu. Hallloooooo pernahkah Mario meminta kita harus percaya? Namanya motivator itu mensugesti pikiran dan pikiran yang disugesti itu pikiran positif sebab akan mendorong tindakan positif. Bila yang disugesti pikiran negative maka tindakan kita cenderung negative.

Makanya kalau ada orang berbicara, focus ke isi yang disampaikan saja. Tidak perlu mengagumi individu yang menyampaikan secara berlebihan. Biasa saja. Apa saya tidak pernah kecewa ketika mengagumi seseorang? Pernah. Saya mengagumi Ahmad Dhani ketika sebelum meninggalkan Maia. Ingin rasanya menolak kenyataan itu, tapi fakta memang begitu. Ya sudah no problem toh ga ngaruh ke hidup saya. Dan saya masih mengagumi Ahmad Dhani sebelum dia berpisah dengan istri pertamanya.

Jadi, tidak usah terlalu mengangumi seseorang

Dan tidak perlu mencaci maki di media sosial

Jumat, 09 September 2016

Media Sosial untuk Pembelajaran Anak Tiap Saat

|0 komentar
Perkembangan media social sangat cepat baik jenis, content maupun alat yang digunakan. Hanya saja hingga saat ini secara pribadi saya masih kurang mendengar bagaimana pendidik memanfaatkan sebagai pembelajaran sepanjang waktu bagi anak didiknya. Setidaknya ini bisa dilihat dari perbincangan sehari-hari saya dengan anak-anak, tetangga, kolega hingga aktivis pendidikan.

Padahal ada banyak ragam jenis media social mulai dari yang popular seperti facebook, whatsapp, instagram hingga yang mulai meredup seperti Line atau bahkan BBM. Padahal disisi lain, teknologi yang digunakan untuk menjalankan aplikasi medsos makin massif, murah dan mudah. Hampir diberbagai kota bisa kita temukan anak sejak kelas 4 SD setidaknya familiar menggunakan fitur HP Android yang diproduksi oleh berbagai merk baik keluaran Eropa, Asia hingga konon ada yang dari dalam negeri.

Coba kita perhatikan diberbagai public space seperti Terminal, Bandara, Pelabuhan, Stasiun hingga rumah makan mudah kita temui rombongan keluarga namun asyik dengan gadget masing-masing.

Semestinya media social ini dapat dimanfaatkan bagi pendidik untuk memantau kegiatan anak, konsultasi maupun meningkatkan pembelajaran di kelas. Sehingga keberadaan media social yang digunakan anak-anak setidaknya sebagian bermanfaat bagi mereka secara langsung. Lantas bagaimana pendidik bisa memanfaatkannya?

Pertama, Buatlah group khusus siswa kelasnya atau mata pelajaran yang diampu oleh pendidik. Bagi yang tidak punya, biarkan saja dan pendidik tidak perlu memaksa siswa punya. Sebab yang berat justru nanti langganan paket data.

Kedua, dalam seminggu bisa 2-3 kali diselang-seling dengan pertanyaan pemantauan atau yang terkait pembelajaran. Pertanyaan pemantauan bisa dengan “Jam 16.00, apa yang kalian lakukan?”, “Besok pelajaran IPA, hayo siapa yang tahu kemaren materi IPA tentang apa ya” dan sebagainya. Sedang untuk konsultasi tentu dengan membuka diri misalnya “Adakah yang belum faham tentang penjumlahan yang tadi bapak ajarkan? Silahkan bertanya”.

Sementara meningkatkan pembelajaran misalnya sesekali pendidik memberi kuis dengan pertanyaan. Bagi anak yang menjawab paling benar duluan maka dapat poin. Nah poin itu dapat untuk menambah nilai di raport. Pertanyaan juga bisa bersifat pengetahuan misalnya nama menteri, tentang Pilkada di wilayah mereka tinggal, dan yang lebih bagus lagi pertanyaan yang mengasah kecerdasan emosional anak seperti “Bila ada musibah longsong, apa yang akan segera kalian lakukan?”

Lantas bagaimana dengan anak-anak yang tidak memiliki gadget? Sederhana saja, jelang akhir pelajaran di kelas buat tebak-tebakan soal. Minta anak-anak yang tidak punya media social untuk menjawab. Sehingga mereka memiliki hak yang sama.

Model pembelajaran begitu tidak sekedar kita dapat memantau pembelajaram yang kita berikan apakah difahami tidak, apakah mereka masih mengingat pembelajaran yang sudah lewat, atau bahkan mendorong anak-anak membaca dan menonton televisi tentang pengetahuan. Jangan menanyakan tentang sinetron, kuis tidak mutu atau film-film yang tidak mendidik.

Bagaimana para pendidik? Berani?


Kamis, 08 September 2016

DPRD Surakarta Persilahkan OMS Terlibat Dalam Pembahasan Raperda Pendidikan

|0 komentar
DPRD Kota Surakarta membuka diri secara luas kepada masyarakat untuk terlibat dalam pembahasan Raperda, termasuk Raperda Pendidikan. Kan kebijakan itu penerima manfaatnya masyarakat sehingga wajar mereka terlibat dalam pembahasan. Selain mereka bisa memberi masukan, juga sebagai pemenuhan syarat seperti yang diatur dalam undang-undang. Demikian diungkapkan Putut Gunawan, Ketua Badan Pembentuk Peraturan Daerah (BP2D) DPRD Kota Surakarta saat menjadi pemantik diskusi di acara diskusi rutin MPPS Senin (5/9).

Legislatif sendiri menginisiasi Revisi Perda yang sudah berjalan 6 tahun dan sudah banyak hal yang perlu direvisi. Meski demikian, proses yang ditempuh tidak mudah sebab pendidikan merupakan sektor yang mengatur banyak hal dan berhubungan dengan banyak pihak. Disatu sisi, birokrasi pendidikan di Surakarta hingga kini belum ada kejelasan pendidikan di Kota Surakarta mau diarahkan kemana.

“Katanya mereka sudah merancang sebuah grand design pendidikan, tapi sampai sekarang kami tidak tahu mana hasilnya. Grand design itu penting bagi perumusan Perda” lanjut pria yang sangat familiar dengan kalangan wartawan maupun NGO.

Nino Histiraludin dari YSKK menyatakan, kalangan organisasi masyarakat sipil juga perlu mendorong Dinas Pendidikan untuk menentukan arah pendidikan Solo mau dibawa kemana. “Betul yang dikatakan pak Putut, jika kita tidak tahu pendidikan mau diarahkan kemana maka konten Perda tidak akan fokus. Jadi saya kira Dikpora harus jelas dulu keluaran pendidikan kita mau diarahkan seperti apa sehingga untuk mencapai itu maka diperlukan Perda sebagai pemandu kea rah sana” jelasnya.

Haryanto yang mantan guru SMA 4 mengaku pernah terlibat dalam proses penyusunan grand design bersama Pardoyo di Dikpora. Sementara Pardoyo menegaskan Dikpora sudah punya grand design pendidikan itu. Namun ketika dikejar oleh Putut Gunawan, Grand Design itu ditetapkan dengan apa, Pardoyo tidak bisa menjawab.

Lebih lanjut Putut meminta jaringan MPPS harus mempersiapkan sumberdaya agar dapat berkontribusi secara optimal. Menurut Andwi Joko, dibutuhkan keseriusan bagi aktivis MPPS merespon tawaran tersebut. “Ada energy dan konsekuensi yang memang harus kita sediakan dan ini tantangan. Tinggal bagaimana kita menyiapkan hal ini” kata pria satu anak ini.

YSKK sendiri berkepentingan untuk memastikan nasib Raperda Pendidikan yang sudah masuk dalam Prolegda tahun 2016 dibahas di DPRD. Putut menambahkan, MPPS harus punya strategi ketika akan mengkritisi Raperda. “Kasus itu harus diagregasikan dengan aturan dipusat seperti UU atau PP namun pembahasaan dalam usulan Raperda dikontekskan lokal. Selama ini yang sering terjadi banyak langsung copas (copy paste) dari undang-undang atau PP. Kalau begitu, buat apa ada Perda?” kritik Putut.

Andwi Joko menambahkan ada berbagai problem yang sebelumnya sudah diidentifikasi dan perlu dipertajam. Dalam daftarnya ada soal Kurikulum lokal, pembiayaan pendidikan, infrastruktur, tata kelola sekolah. “dan tentu saja partisipasi masyarakar dalam pendidikan yang menjadi concern YSKK” ungkapnya sambil tersenyum.

Peserta pertemuan menyepakati akan segera mengkonsolidasikan diri untuk membahas berbagai topic dalam Raperda. Pertemuan mendatang diagendakan membahas DIM yang bisa dan mungkin disikapi dengan serius agar dapat menjadi agenda bersama.

Rabu, 07 September 2016

Re Komitmen Sebagai Bagian Penguatan MPPS

|0 komentar
Sebagai sebuah jaringan masyarakat sipil yang memiliki kepedulian pendidikan, sesungguhnya MPPS memiliki peran yang strategis. Apalagi selama ini juga konsisten menyuarakan layanan pendidikan yang lebih baik. Seperti tertuang dalam hasil konsolidasi bulan Februari lalu ada 3 misi yang menjadi pedoman yakni advokasi pendidikan, penguatan masyarakat dan wadah pembelajaran.

Ketiga misi tersebut melandaskan pada wajar diknas 12 tahun, kurikulum, akuntabilitas, sekolah ramah anak, desentralisasi pendidikan dan peran masyarakat.

Substansi tersebut terungkap dalam rapat pengurus MPPS yang diadakan di Yayasan Kakak 1 September. Pengurus MPPS melihat perlu menata kembali komitmen kelembagaan maupun individu yang berada didalamnya. Sebab terlihat ada beberapa anggota baik lembaga maupun individu yang pasif.

“Padahal dijaringan lain seperti ada sebuah jaringan untuk advokasi anak, kalau ada anggota tidak hadir dalam 3 pertemuan berturut-turut tanpa konfirmasi langsung di kick” terang Shoim dari 
 Yayasan Kakak. Sebuah jaringan akan bertambah baik dan kuat bila arah dan dinamisasi jaringan dirawat bersama. Meski demikian, yang jadi ujung tombak tentu ditingkat pengurus itu sendiri. Sehingga perlu ada penataan yang bukan mengikat namun memberi rambu-rambu yang jelas arah gerakan dan kontribusi yang bisa diberikan.

Dalam koordinasi tersebut selain masalah re komitmen, pengurus juga mendiskusikan tentang konsekuensi. Sebagai bagian sebuah gerakan tentu ada hal yang harus dikontribusikan berupa ide, waktu, tenaga, pikiran bahkan bisa jadi material.

Artinya pernyataan komitmen harus disertai dengan sumbangsih yang bisa diberikan. Pengurus MPPS juga sudah menyiapkan kerjasama dengan Radio Republik Indonesia untuk siaran rutin setidaknya sebulan sekali. Hanya tema dan spesifikasi seperti apa, masih akan ditindaklanjuti. Di era media social muncul juga lontaran untuk memunculkan fanspage sebagai upaya memobilisasi sumberdaya, menyebar informasi, maupun menjaring berbagai isu yang muncul di masyarakat.

Media social akan dikelola oleh bagian penguatan masyarakat, dibantu dari komunitas Jerami. Bagi YSKK, memunculkan sebuah Fanspage akan meningkatkan dinamisasi isu-isu pendidikan ditingkat daerah. Isu pendidikan sendiri merupakan salah satu isu yang ranahnya sangat luas. Anggota MPPS juga dapat menjangkau semua isu sehingga media social dapat dimanfaatkan untuk itu.

Selasa, 06 September 2016

Gunungkidul Butuh Gerakan Peduli Pendidikan

|0 komentar
Paska dicabutnya pembahasan draft Raperda Pendidikan, belum diketahui bagaimana kelanjutan nasib Raperda Pendidikan tersebut. Sepertinya tidak ada yang merasa keberatan dengan diturunkannya rencana pembahasan Raperda Pendidikan. Legislatif sendiri seperti dikutip media lokal menyebutkan munculnya UU 23/2014 yang salah satunya mengamanatkan pengelolaan pendidikan menengah kepada propinsi menjadi pertimbangan untuk menunda pembahasan.

Mendasarkan pada hal tersebut, YSKK berniat menangkap respon aktivis organisasi masyarakat sipil. Oleh karena itu, sesuai dengan waktu yang disepakati YSKK bertemu dengan 4 aktivis Rumah Belajar Rakyat yakni Adi, Nofri, Retno dan seorang aktivis lagi.

“Kami jujur kaget waktu diberitahu mas Boni bahwa Gunungkidul sudah punya draft Raperda Pendidikan Gunungkidul tapi kemudian dibatalkan. Maka dari itu kami memang minta ketemu hari ini untuk mendiskusikan bersama apa yang bisa kita lakukan bersama. Yang jelas Gunungkidul butuh sebuah gerakan bersama untuk pendidikan” kata Adi di aula pertemuan RBR Jumat (2/9) Siraman Wonosari Gunungkidul. Sharing itu juga diikuti 2 orang staf program YSKK yakni Angga dan Boni.

Selama ini, lanjutnya meski Pendidikan menjadi layanan dasar tetapi tidak menjadi perhatian bagi masyarakat. Menanggapi hal itu, saya menyampaikan terlebih dahulu bagaimana sebuah Perda disusun, dibahas dan dimana peluang masyarakat dapat memberi masukan. Namun masyarakat sendiri harus siap dan menguasai klausul-klausul yang memang perlu mendapatkan masukan. Tidak semua harus dikuasai tapi setidaknya isu-isu yang menyangkut kepentingan publik harus mendapat masukan dari masyarakat.

Merespon hal itu Nofri mengajukan ide, konsolidasi civil society di Gunungkidul perlu segera diadakan untuk menyikapi hal itu. Dia mengusulkan mengundang beberapa aktivis dan meminta YSKK memfasilitasi pertemuan maupun mengkaji secara mendalam substansi Raperda.

“Teman-teman YSKK kan sudah punya hasil pembahasan dokumen Perda dan perlu di share ke kami. Bukan hanya dokumennya tapi juga penjelasannya. Karena kami disini kan minim informasi dan kurang menguasai” harap Nofri. Boni menerangkan secara substansi nanti bisa dipaparkan oleh YSKK namun teman-teman RBR juga turut berkontibusi dalam persiapan diskusi. Mereka kemudian mengajukan agenda tanggal 16 September mendatang untuk diskusi dan akan mengkonsolidasi peserta baik dari Gunungkidul maupun dari Yogyakarta.

“Sebagai Kota Pendidikan mereka juga harus turut berkontribusi pada wilayah disekitarnya yang dianggap belum progressif” tambah Adi menjawab mengapa ada beberapa orang yang berasal dari Yogyakarta akan turut dilibatkan.

Ada alternative narasumber lain yang diajukan yakni dari Dewan Pendidikan maupun Ketua Komisi IV DPRD Gunungkidul. Legislatif yang dihadirkan akan memberi informasi bagaimana dinamika penyusunan Raperda maupun argument rasional kenapa kemudian Raperda tersebut dihilangkan dari daftar Prolegda 2016.

Paska diskusi, lanjut Adi bisa merancang kesepakatan kapan bersama-sama mendatangi Komisi IV DPRD Gunungkidul untuk mendesak Pembahasan Raperda Pendidikan tersebut.

Sabtu, 03 September 2016

Inilah 8 Modus Pungutan Sekolah

|0 komentar
Sejak tahun 2012 pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah mengeluarkan Permendikbud No 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan pada Satuan Pendidikan Dasar. Tentu ruang lingkup Permendikbud ini pendidikan dasar yakni SD dan SMP serta statusnya sekolah negeri. Hal kedua yang jelas-jelas disebut berbeda di regulasi ini yakni Sumbangan dan Pungutan. Namun hingga 4 tahun berjalan, Permendikbud ini hanya dianggap angin lalu bagi pengelola sekolah.

Jamak kita temui pemberitaan tiap tahun ajaran baru, diberbagai media muncul kabar soal pungutan dan sumbangan. Pada pasal 1 ayat (3) disebutkan Sumbangan  adalah  penerimaan  biaya pendidikan  baik  berupa  uang dan/atau barang/jasa  yang  diberikan  oleh  peserta  didik,  orangtua/wali, perseorangan atau lembaga lainnya kepada satuan pendidikan dasar yang bersifat  sukarela,  tidak memaksa,  tidak mengikat,  dan tidak ditentukan oleh  satuan  pendidikan  dasar  baik  jumlah  maupun  jangka  waktu pemberiannya.

Sedangkan pungutan (ayat 2) disebutkan Pungutan adalah penerimaan biaya pendidikan baik berupa uang dan/atau barang/jasa pada satuan pendidikan dasar yang berasal dari peserta didik atau orangtua/wali  secara langsung yang bersifat wajib,  mengikat,  serta jumlah  dan  jangka  waktu  pemungutannya  ditentukan  oleh  satuan pendidikan dasar.

Kuncinya jelas bila sumbangan itu sifat sukarela, tidak memaksa dan tidk mengikat. Tentu dapat dimaknai bahwa baik bentuk, jumlah/besaran hingga waktu pengumpulan tidak boleh ditentukan, Namun para pengelola sekolah tak kurang akal menyiasati hal ini. Mereka namakan pungutan yang mereka tarik itu menjadi “Sumbangan”. Para pengelola sekolah yang tentu berisi guru-guru yang mendapat sertifikasi jutaan rupiah nampaknya telah mati hati nuraninya. Mereka terus saja melakukan pungli pada orang tua siswa dengan beragam dalih atau modus.

Pungutan ini biasanya muncul di sekolah favourite atau incaran banyak ortu siswa, di perkotaan, jumlah siswanya banyak. Kondisi sebaliknya tidak bakal kita temui di sekolah negeri pinggiran, pendaftarnya pas-pasan bahkan berkurang atau yang bersekolah disitu makin sedikit. Meski sudah memasang sekolah ini bebas biaya, orang tua justru tidak tertarik menyekolahkan anak disana.

Kenapa sekolah atau pendidikan dasar negeri harus membebaskan biaya? Karena hampir semua kebutuhan sekolahnya sudah di cover oleh Negara melalui BOS. Apabila masih kurang, mereka dapat mengajukan penganggaran pada APBD. Dan bila masih belum mencukupi dapat menggali dari sumbangan masyarakat. Ingat, sumbangan masyarakat itu tidak selalu orang tua siswa. Bisa dari berbagai program CSR perusahaan, orang kaya di lingkungan dekat sekolah, dan lainnya. Jika masih kurangpun, sekolah harus membicarakan, merumuskan dan merumuskan bersama komite sekolah sekaligus orang tua. Bukan memutuskan sendiri dan orang tua tiba-tiba hanya dipungut besarannya sama rata.

Padahal kondisi tiap orang tua siswa tidak sama rata. Pun sekolah ketika merencanakan program harus mempublikasikan berapa anggaran yang didapat, berapa kebutuhan program kerja sekolah dan kekurangan itu akan ditutup dari apa. 

Modus Pungutan Dalih Sumbangan
Ada cukup banyak modus yang dilakukan sekolah untuk menarik pungutan. Diantaranya yakni :

Pertama, Penerimaan Peserta Didik Baru/PPDB atau pendaftaran sekolah. Biasanya yang muncul tarikan pada proses ini bisa berupa biaya pendaftaran, kewajiban pakai stop map warna tertentu atau harus berlogo sekolah, fotocopy ini dan itu hingga tariff parkir yang tidak masuk akal. Dengan proses PPDB yang rutin, teknologi yang sudah maju harusnya sekolah memanfaatkan teknologi. Misalnya pendaftaran melalui online, nir berkas. Apabila sudah ketrima baru siswa melengkapi berkas. Buat apa puluhan lembar berkas pendaftaran paska pengumuman? Toh siswa baru tetap saja harus kembali berikan berkas.

Kedua, modus Masa Orientasi Siswa yang diadakan oleh sekolah paska penerimaan siswa baru. Dengan dalih pengenalan sekolah serta kegiatan siswa maka diadakanlah MOS. Biasanya diadakan 3 hari dan mulai ada yang mengadakan menginap di sekolah bahkan pergi keluar kota. Otomatis siswa akan ditarik konsumsi, akomodasi, ATK, atribut dan berbagai kebutuhan lain. Signifikansi dari kegiatan ini tidak terlalu penting sebetulnya tapi sering dipaksakan diselenggarakan.

Ketiga, dalih peningkatan pembelajaran bagi anak didik. Bentuknya macam-macam seperti pembelian Lembar Kerja Siswa/LKS, penambahan jam pelajaran atau bahasa lainnya les hingga outbond. Perubahan kurikulum dari KTSP ke kurikulum 2013 memang memungkinkan kebutuhan outbon.

Keempat, berbagai persiapan jelang tes baik tes tengah semester, tes semester hingga persiapan Ujian Nasional. Sekolah mewanti-wanti pada orang tua agar anak-anak punya kesiapan dalam menghadapi tes. Ada yang ditakut-takuti materi tidak cukup waktu, anak masih butuh dilatih hingga alasan kapasitas anak yang pas-pasan sehingga butuh drill atau latihan intensif. Hal ini menjadikan jam pelajaran ditambah lebih panjang. Bisa dibayangkan ada sekolah negeri yang anak kelas 1 harus les. Kebutuhan apa yang harus diadakan untuk anak kelas 1?

Kelima, datangnya tahun ajaran baru. Dalam satu tahun ada 1 kali tahun ajaran terutama bagi siswa baru. Mereka harus membeli seragam, kaos kaki, ikat pinggang, sepatu bahkan ada sekolah yang menyeragamkan tas sekolah. Memang seragam ini kebanyakan diadakan oleh sekolah swasta namun tidak jarang sekolah negeri banyak juga yang mewajibkan seragam ikat pinggang, kaos kaki bahkan baju seragam merah putih atau putih biru harus beli di sekolah. Padahal hampir dipastikan harga seragam di sekolah jauh lebih mahal yang selisihnya bisa ratusan ribu. Itu dengan bahan yang sama, bagaimana dengan jenis yang berbeda?

Keenam, modus Penmbahan fasilitas sekolah baik berupa gedung ataupun perangkat isinya seperti laboratorium, perpustakaan, toilet, kantin, lahan parkir dan lain sebagainya. Padahal pengadaan berat seperti ini masuk kategori investasi dan dapat diminatakan ke pusat dan Pemda. Hanya bila dianggarkan oleh APBN atau APBD tentu pengelolaannya lebih ketat.

Ketujuh, mengisi kegiatan jeda semester bisa berupa classmeeting, outbond, karya wisata bahkan piknik. Dengan berbagai pilihan itu, tentu pungutan yang diminta ke orang tua siswa cukup tinggi terutama bila kegiatannya piknik. Apabila tidak ikut, anak yang akan menjadi korbannya sementara bila ikut belum tentu mampu secara materi.
Kedelapan, kegiatan akhir tahun/lulusan. Meski status anak-anak sudah berakhir, justru banyak sekolah kemudian “memaksa” siswa memberi kenang-kenangan sekolah. Seakan-akan kalau tidak ada kenang-kenangan mereka tidak tahu terima kasih. Kadang tidak hanya tinggalan disekolah namun juga wali kelas mereka. Bahwa patungan itu atas inisiatif anak atau orang tua siswa tidak masalah namun bila inisiatif karena disinggung guru, tentu salah. Kenapa? Guru sudah dapat gaji dan kewajibannya mengajar. Penghargaan kadang tidak datang ketika pembelajaran berakhir namun ketika anak-anak meraih kesuksesan, disitu mereka mengingat guru-guru mereka.

Selain delapan modus ini bisa jadi masih banyak modus pungutan sekolah dalam bentuk lain. Kementerian Pendidikan, Dinas Pendidikan, Inspektorat, hingga DPRD banyak yang tidak berdaya memberantas pungutan sekolah.

Betapa susahnya membongkar praktik korup di satuan pendidikan. Jika dulu orang banyak mafhum pungutan sebagai penambah insentif guru dikarenakan gaji tak layak namun sekarang ketika gaji tak dipersoalkan oleh pendidik mereka sendiri enggan mengurangi bahkan memberantas praktek-praktek semacam ini. Diakui atau tidak praktek pungutan semacam ini meningkatkan tingginya biaya pendidikan di Indonesia.

Akankah kita diam saja melihat semua ini?