Sabtu, 04 Oktober 2014

Subsidi BBM Jebol, Ubah Pola Konsumsi Masyarakat

JANGAN NAIKKAN HARGA BBM (1)

Bahan Bakar Minyak yang dikonsumsi masyarakat Indonesia memang luar biasa besar. Terutama BBM yang memang dibutuhkan masyarakat kebanyakan yakni premium, minyak tanah dan solar. Setidaknya untuk  subsidi paling besar yakni lebih dari Rp 200 miliar pertahun sejak 2011. Diikuti subsidi listrik menembus Rp 100 miliar 2 tahun terakhir. Konsumsi premium sudah mencapai 29,4 juta kilo liter pertahun. Hal ini menjadikan APBN yang semestinya bisa digunakan untuk layanan dasar masyarakat seperti pendidikan, kesehatan serta jaminan sosial bagi masyarakat tidak mampu tidak berjalan optimal.

Bila dikaji lebih mendalam cukup banyak faktor yang menyebabkan konsumsi BBM tinggi. Sebetulnya bila konsumsi itu dikarenakan kebutuhan riil tidak masalah. Nyatanya dilapangan banyak kita temui kebijakan serta perilaku yang tidak tepat bahkan ada yang sampai melanggar kebijakan. Hingga ketika ada rencana kenaikan BBM, masyarakat selalu menolak. Kenapa? Karena BBM sudah seperti kebutuhan pokok layaknya pangan, kesehatan maupun pendidikan. Hampir semua regim pernah menaikkan harga BBM dengan alasan tidak sesuai harga pasar dunia.


Setidaknya ada 10 latar belakang kenapa konsumsi BBM kita cukup tinggi. Pertama soal macet. Entah ada berapa puluh atau berapa ratus kota besar atau pusat kota tiap pagi dan sore mengalami kemacetan. Jangankan bicara Jakarta sebagai ibu kota negara, kota diluar Jawa seperti Samarinda, Riau, Manado, Tarakan dan lainnya apalagi kota di Jawa. Hal ini menyebabkan trilyunan rupiah bahkan diprediksikan Jakarta akan mengalami kerugian Rp 12 T hingga Rp 65 T pada tahun 2020. Itu baru Jakarta belum ditambah kota besar lain.

Penyebab kedua yaitu mengenai budaya hidup masyarakat Indonesia 10 tahun terakhir. Diakui secara ekonomi membaik tetapi tidak diiringi kesadaran diri mengelola ekonomi lebih bijak. Hampir setiap rumah di Indonesia di Jawa atau pusat kota dimanapun punya sepeda motor. Bahkan yang luas ruang tamu rumahnya tak bisa untuk memarkir kendaraan bisa memiliki kendaraan lebih dari satu. Hampir semua aktivitas diluar rumah dilakukan dengan memakai kendaraan walaupun bukan untuk aktivitas produksi seperti membeli sayur, bekerja, mengantar anak ke sekolah, malam mingguan dan ratusan aktivitas lain.

Sangat mudah kita temui anak usia SMA bahkan SMP berkendara bergerombol, tak memakai helm bahkan berkendara di jam sekolah. Atau sekedar menikmati sore, fotokopi, membeli sayur yang jaraknya tak sampai 100 meter, pagi hari, punya sepeda tetap naik motor. Memang tidak banyak menghabiskan BBM tetapi dalam 1 hari ada berapa aktivitas begini. Ketiga, gap harga BBM internasional dengan dalam negeri menjadikan beberapa orang melakukan penjualan BBM ilegal keluar negeri. Kasus ini mudah ditemui di wilayah perbatasan. Tak jarang melibatkan aparatur negara.

Demikian juga petugas yang berkaitan dengan distribusi BBM, tidak jarang "kencing" ditengah jalan. Atau permainan petugas pengiriman dengan petugas di SPBU dan beragam lainnya. Faktor keempat yang menjadikan konsumsi BBM berlebihan yaitu kredit dan pajak kendaraan terlalu murah. Pemerintah sendiri malah mengeluarkan kebijakan bebas pajak bagi kendaraan murah (LGCC). Kebijakan yang bertentangan dengan niatan membatasi subsidi BBM. Pun demikian kampanye mobil murah buatan dalam negeri. Seharusnya pembelian kendaraan, pajak, KIR hingga parkir dikenakan tarif lebih mahal dari saat ini.

Sebab faktor konsumsi BBM tidak langsung berkaitan dengan itu. Diluar negeri yang namanya parkir apalagi di jalur utama memang mahal. Pun demikian dengan pajak maupun KIR. Meskipun beberapa wilayah sudah menerapkan pajak progresif diatas 2 mobil atas nama seseorang, tetap bisa disiasati masyarakat. Bisa diatasnamakan istri, anak atau saudaranya. Artinya kebijakan pajak progresif kurang tepat. Pemerintah harus berani menaikkan pajak bahkan untuk kendaraan bermotor. Tidak apa-apa di awal berjalannya kebijakan akan ada protes tapi manfaat jangka panjangnya akan lebih terasa.

Bersambung

0 komentar:

Posting Komentar