Kamis, 18 September 2014

Layakkah Solo Disebut Kota Layak Anak?

Sejak Juli 2011, Kota Solo telah mendeklarasikan diri sebagai Kota Layak Anak. Meski tidak mudah mewujudkannya namun Walikota saat itu Joko Widodo optimis bisa mewujudkannya. Nah dari waktu pencanangan harapannya Tahun 2015 ini akan terealisasi. Idealnya dimana ada negara, ada pemerintah dan ada anggaran disitulah tiap wilayah harus layak anak. Unsur-unsur untuk merealisasikan tidak mudah dan butuh proses panjang. Terutama bagi masyarakat sebab perwujudan layak ini harus menjadi mindset seluruh warga tidak hanya pemerintah daerah.

Solopos cetak 14 Agustus 2014
Sesuai Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No 12 Tahun 2011 pasal 7 menyebutkan ada 5 klaster hak anak. Klaster tersebut meliputi (1) hak sipil dan kebebasan; (2) hak lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif; (3) hak kesehatan dasar dan kesejahteraan; (4) hak pendidikan, pemanfaatan waktu luang, dan kegiatan budaya serta (5) hak perlindungan khusus. Tiap klaster tersebut memiliki indikator terpisah yang bila dihitung dari 5 klaster akan sampai 31 item indikator. Tiap wilayah akan cukup berat memenuhi hal ini.

Misalnya untuk klaster lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif (pasal 9) ayat b tersedia lembaga konsultasi bagi orang tua/keluarga tentang pengasuhan dan perawatan anak. Yang tersedia ya layanan PPA di Polsek atau Dinas Pemberdayaan Perempuan tingkat kota/kabupaten. Mereka belum menjangkau layanan hingga ke kelurahan atau kampung. Kemudian klaster kesehatan dasar dan kesejahteraan (pasal 10) ayat i menyebutkan tersedia kawasan merokok. Dalam penjelasannya tidak hanya kawasan merokok terpisah tetapi iklan layanan rokok juga sudah tidak ada.

Adapun aspek yang berkaitan dengan layak anak ada yang berupa layanan, fasilitas maupun lingkungan yang baik disetiap sudut kota. Untuk layanan administratif berupa akte lahir, Solo patut diapresiasi sebab pengurusannya mudah, cepat serta gratis. Nah berkaitan layanan pendidikan sepertinya Pemkot harus bekerja lebih keras lagi. Meski sudah banyak sekolah gratis namun pengaruh lingkungan yang menyebabkan anak-anak terpengaruh hingga mogok sekolah. Selain itu ada juga kasus-kasus anak tidak bersekolah karena hamil.

Sedangkan setelah lulus SMU, layanan berupa pelatihan ketrampilan telah tersedia meski kadang peminatnya tidak banyak. Sementara itu berdasar informasi dari Pemkot, setidaknya Tahun 2014 baru menganggarkan Rp 9,5 juta/kelurahan/tahun dengan alokasi jelas. Masing-masing Rp 2 juta untuk operasional forum anak, operasional posyandu dan operasional pembina KB. Sedangkan sisanya operasional pokja layanan anak (Rp 2,5 juta) dan penyusunan buku profil anak (Rp 1 juta). Sekali lagi besaran ini ditetapkan sama untuk kelurahan besar maupun kecil.
Iklan rokok terpampang dalam big screen di kawasan perempatan Purwosari

Tugas berat yang pertama adalah me-mainstreaming-kan kota layak anak pada masyarakat. Anggaran bisa disusulkan sehingga warga kota faham dan mampu menginternalisasi nilai-nilai layak anak ditiap keluarga. Misalnya saja kampanye bersekolah adalah hak anak dan bila usia sekolah tidak bersekolah orang tua/wali bisa dipidana. Larangan merokok dirumah yang masih terdapat anak dan pelanggar bisa kena sanksi meski ringan. Tidak ada lagi kekerasan dalam rumah tangga terutama anak.

Yang harus diperjelas adalah mengenai eksploitasi anak atau mempekerjakan anak. Bagi kalangan usaha terutama usaha kecil, pasti anak akan diajari atau bahkan belajar sendiri. Nah rumuskan secara jelas kriteria tentang eksploitasi serta mempekerjakan anak. Jangan sampai anak membantu orang tua membersihkan rumah, tetangganya yang tidak suka malah melaporkan si orang tua dengan pasal ekploitasi. Jadi menurut saya tidak mudah mewujudkan kota layak anak.

0 komentar:

Posting Komentar