Sebagai pegangan dalam pelaksanaan pembangunan, APBD memiliki peran strategis dalam memajukan wilayah. Semakin meningkat APBD biasanya akan berkorelasi dengan makin meningkatnya anggaran pembangunan meski secara prosentase kadang tidak selalu seiring. Sudah banyak difahami bahwa anggaran daerah banyak dihabiskan oleh belanja pegawai sedangkan belanja pembangunannya tidak atau jarang beranjak naik secara signifikan.
Prediksi stagnannya anggaran pembangunan itu disaat tak ada aktivitas politik secara nasional maupun lokal. Tetapi bila daerah atau nasional mempunyai gawe, maka kita bisa lihat pada pos tertentu memang mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Setidaknya ada 2 hal yang bisa mengakibatkan APBD terlihat "tidak seperti biasanya". Dua hal tersebut yaitu pos alokasi anggaran dan waktu tertentu yang bisa mengakibatkan pos tidak terlihat seperti biasanya.
Untuk waktu-waktu yang biasanya mengubah alokasi adalah kegiatan seperti pemilu, pilpres, pilgub maupun pilkada. Hal ini pasti akan banyak mengalihkan anggaran baik untuk KPU, Panwas, Penyelenggara pemilu ditingkat bawah, pengamanan dan lainnya. Puluhan miliar akan terserap bagi kegiatan-kegiatan tersebut dan mengakibatkan alokasi pembangunan menjadi berkurang. Entah pelaksanaan berbarengan atau tidak yang jelas kondisi tersebut sangat berpengaruh pada kestabilan APBD.
Sementara pos-pos yang biasanya digunakan untuk biaya politik berada pada pos bantuan sosial dan hibah kepada lembaga-lembaga lain termasuk instansi vertikal. Disinilah pos-pos itu berubah drastis bila ada Pilkada dan model seperti ini dengan mudah kita baca. Sayangnya seperti satu paket, jarang wakil rakyat yang kemudian secara jeli melihat perubahan alokasi di belanja pembangunan. Harusnya legislatif mampu menekan Pemda agar terus dan konsisten dengan RPJMD yang sudah disusunnya.
Pembengkakan anggaran ini pula yang menjadikan salah satu isu penting dari revisi UU Pemerintah Daerah maupun RUU Pilkada. Bila dipilih langsung biayanya besar namun bila melalui DPRD maka pemimpin yang dihasilkan legitimasinya bisa dipertanyakan. Maka muncul alternatif untuk Pilgub dipilih oleh DPRD sementara Pilbup/Pilwali tetap menggunakan pemilihan secara langsung. Sebenarnya model ini juga tidak benar dan mengandung makna cari mudahnya saja.
Biaya berdemokrasi memang mahal dan oleh karenanya tidak boleh rakyat kemudian salah pilih yang akan mengakibatkan kerugian lebih besar di masyarakat. Upaya yang dilakukan legislatif mengalihkan pemilihan gubernur pada DPRD telah menciderai hati nurani masyarakat. Dulu saat pilkada dilakukan oleh DPRD banyak yang terpilih justru yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Maka dari itu, sebelum kematangan berpolitik mencapai kedewasaan sebaiknya Pilkada tetap berada di masyarakat.
Prediksi stagnannya anggaran pembangunan itu disaat tak ada aktivitas politik secara nasional maupun lokal. Tetapi bila daerah atau nasional mempunyai gawe, maka kita bisa lihat pada pos tertentu memang mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Setidaknya ada 2 hal yang bisa mengakibatkan APBD terlihat "tidak seperti biasanya". Dua hal tersebut yaitu pos alokasi anggaran dan waktu tertentu yang bisa mengakibatkan pos tidak terlihat seperti biasanya.
Untuk waktu-waktu yang biasanya mengubah alokasi adalah kegiatan seperti pemilu, pilpres, pilgub maupun pilkada. Hal ini pasti akan banyak mengalihkan anggaran baik untuk KPU, Panwas, Penyelenggara pemilu ditingkat bawah, pengamanan dan lainnya. Puluhan miliar akan terserap bagi kegiatan-kegiatan tersebut dan mengakibatkan alokasi pembangunan menjadi berkurang. Entah pelaksanaan berbarengan atau tidak yang jelas kondisi tersebut sangat berpengaruh pada kestabilan APBD.
Aktivitas warga miskin Ketelan Solo (photo by Ardian YKKS Solo) |
Pembengkakan anggaran ini pula yang menjadikan salah satu isu penting dari revisi UU Pemerintah Daerah maupun RUU Pilkada. Bila dipilih langsung biayanya besar namun bila melalui DPRD maka pemimpin yang dihasilkan legitimasinya bisa dipertanyakan. Maka muncul alternatif untuk Pilgub dipilih oleh DPRD sementara Pilbup/Pilwali tetap menggunakan pemilihan secara langsung. Sebenarnya model ini juga tidak benar dan mengandung makna cari mudahnya saja.
Biaya berdemokrasi memang mahal dan oleh karenanya tidak boleh rakyat kemudian salah pilih yang akan mengakibatkan kerugian lebih besar di masyarakat. Upaya yang dilakukan legislatif mengalihkan pemilihan gubernur pada DPRD telah menciderai hati nurani masyarakat. Dulu saat pilkada dilakukan oleh DPRD banyak yang terpilih justru yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Maka dari itu, sebelum kematangan berpolitik mencapai kedewasaan sebaiknya Pilkada tetap berada di masyarakat.