Sabtu, 22 Desember 2012

Kesiapan Parpol Jelang Pemilu 2014

Jelang Pemilu 2014, KPU melakukan verifikasi faktual atas keberadaan partai politik di daerah dan hasilnya sungguh sangat mengecewakan. Dibeberapa daerah ternyata mereka tidak bisa menunjukkan bahwa mereka memiliki basis pengurus yang legitimate untuk mengikuti Pemilu. Berdasarkan pantauan media di eks karesidenan Surakarta saja, beberapa parpol besar yang memiliki wakil di DPR dinyatakan tidak lolos. Sebut saja PKB di Kota Surakarta gagal lolos verifikasi.

Bagaimana sebenarnya partai politik menghadapi pemilu 2014 bila di kawasan yang semestinya mereka bisa lolos ternyata tidak memenuhi syarat? Sulit diterima akal bahwa mereka berargumentasi pihak KPU memiliki kelemahan. Sebab wilayah Solo raya relatif mudah diakses, teknologi juga aksessible, kondisi geografis tidak sulit dan pengecekan dilakukan untuk kepengurusan kabupaten kota. Artinya, seharusnya mereka bisa menunjukkan data-data valid atas kepengurusan.

Di Solo ada 3 parpol yang tak lolos dikarenakan banyak nama atau alamat fiktif. Sedangkan di Wonogiri ada 6 Parpol yang gagal yakni Hanura, PBB, PDP, PPN, PPRN dan PKBIB. Di Sukoharjo ada PKPI dan PDP yang tidak berhasil melewati verifikasi. Di Kabupaten Klaten ada 5 partai yakni PBB, PDP, PKPI, PPRN serta PPN. Di Boyolali PDP dan PKBIB yang tidak memenuhi persyaratan yang ada. Di Karanganyar ada PDP, PBB dan PPN yang gagal. Sementara Sragen ada PPN, PKBIB, PKPI dan PDP menemui jalan buntu.

Foto Kampanye salah satu bupati di Kaltim (berkacamata). Photo by facebook.com
Seperti kita tahu rata-rata partai tersebut sebenarnya sudah lama eksis atau tokohnya banyak berkiprah dilevel nasional. PBB misalnya pernah menempatkan Yusril Ihza Mahendra sebagai menteri, PDP banyak berkiprah politikus dari PDIP, PKPI dipenuhi mantan TNI yang pangkatnya jenderal sehingga sulit diterima akal kalau mereka gagal mengkonsolidasikan diri menyiapkan partai. Berdasarkan hal tersebut patut dipertanyakan bagaimana keseriusan mereka menghadapi pemilu.

Memang akan banyak argumen yang bisa mereka lontarkan namun riskan rasanya bila KPU dalam melakukan verifikasi seadanya saja. Toh pengecekan administrasi dibuat acak dan ditentukan oleh KPU Pusat siapa-siapa saja nama pengurus maupun anggota yang akan didatangi. Pemberitaan di Solopos edisi 20 Desember itu memuat beberapa fakta salah satunya mengenai kantor parpol yang bersangkutan. Di edisi lain bahkan ada satu keluarga masuk daftar beberapa pengurus partai.

Rupanya banyak politikus yang ingin mengambil jalan instan saja dan tidak menghidupi parpol sebagaimana layaknya sebuah institusi. Inilah salah satu konsekuensi dari era kebebasan dan adanya pembatasan dalam berpolitik terutama parpol dilarang memiliki perusahaan. Demikian pula dengan netralitas TNI/Polri, Pelarangan PNS menjadi pengurus parpol dan masih banyak lainnya. Ada banyak dilema bila aturan-aturan tersebut dibiarkan karena Indonesia terhitung baru saja menerapkan demokrasi yang sesungguhnya.

Pada era pemerintahan Soeharto sebenarnya tidak ada demokrasi. Ada pengebirian parpol, pembatasan media, penguasaan media oleh negara, tidak ada kebebasan berserikat dan berkumpul, adanya perwakilan TNI di parlemen serta berbagai kondisi lainnya. Otomatis  demokratisasi yang dibangun baru sejak Tahun 1999 dimana era multi partai benar-benar diberlakukan. Maka dari itu, kita lihat di masa mendatang apakah masih ada partai yang tidak serius mempersiapkan dirinya menghadapi pemilu.

0 komentar:

Posting Komentar