Tentu perubahan ini setidaknya mencerminkan apa yang dilakukan Jokowi sejak memimpin benar-benar merubah kinerja bawahannya dalam pengelolaan keuangan daerah. Tingkat pendapatan daerah melonjak tinggi dan mempengaruhi tingkat ketergantungan pendapatan dari Dana Perimbangan. Bandingkan dengan kondisi 6 tahun lalu yakni 2007, prosentase proporsi pendapatan 14,63 : 75,34 : 10,03 (PAD : Dana Perimbangan : Lain2 PAD Yg Sah). Sekarang prosentase perbandingan menjadi 16,63 : 67,96 : 15,41.
Beberapa penghargaan juga turut diraih pada kurun waktu itu. Secara publikasi, Solo nampaknya benar-benar berhasil “menjual” dirinya keluar sehingga berbagai ajang level lokal mampu menghadirkan pengunjung dari luar daerah maupun mancanegara. Sayangnya jelang pertengahan tahun ini, muncul berita 21 SKPD hingga Juni (triwulan II) serapan anggaran belum 1 persen dan belum ada laporan triwulan II. Pukulan telak atas berbagai keberhasilan yang ditorehkan Joko Widodo dan FX Hadi Rudyatmo.
Salah satu sudut Balaikota Solo |
Dari berbagai sumber disebutkan kinerja 21 SKPD dari 88 SKPD capaian keuangan belum sampai 1 persen. Dari alokasi APBD Triwulan II Rp 478 M, yang dilaporkan ke Bagian Administrasi Pembangunan hanya Rp 50 M. Beberapa argumen yang melandasi yakni pertama, anggaran yang dialokasikan hanya anggaran pendamping program pusat. Sehingga bila anggaran pusat belum cair tentu tidak bisa dicairkan. Kedua, Anggaran itu harus yang mencairkan Walikota karena merupakan anggaran dari propinsi. Ketiga, Juklak juknis belum turun sehingga tidak bisa dilakukan kegiatannya. Dari beberapa kendala itu, Pemkot berencana menggelar pelatihan pembuatan laporan.
Bagaimana bisa terjadi bila selama 2 tahun mendapat WTP dari Badan Pemeriksa Keuangan dan kini sudah tengah semester kinerja 21 SKPD bisa sangat jeblok? Berbagai argumen yang melandasi juga mudah sekali dibantah. Kalau berkaitan dengan pemerintah pusat, kenapa SKPD lain sama sekali tidak terganggu? Bila Walikota yang harus mencairkan, bukankah bisa ada pelimpahan kewenangan? Atau terkait juklak juknis, kenapa problem itu tidak dicarikan solusi jauh-jauh bulan sebelumnya. Anehnya kegiatan yang akan dilakukan untuk mendorong akselerasi implementasi program justru malah pelatihan pembuatan laporan.
Sebuah kontradiksi dan argumen yang terlihat lemah sekali antara problem yang muncul dan solusi yang akan diambil. Belum lagi di perencanaan anggaran 2013 muncul anggaran pembelian mobil dinas senilai Rp 3 M. Apa maknanya? Birokrasi dapat dinilai kurang mampu melakukan perencanaan yang baik dan substansial. Lihat saja tingkat kemiskinan warga yang makin tahun makin melonjak namun ketika berbicara program justru banyak alasan yang kesannya dibuat-buat.
Meski Jokowi sedang dalam perjuangan kampanye memenangkan putaran kedua Gubernur DKI, tidak menjadi alasan Solo kemudian ditinggalkan begitu saja. Bila sejak awal tahun proses menejemen (pengendalian) keuangan telah berjalan dan hasilnya seperti ini, Jokowi – Rudi harus memberi punishment pada kepala 21 SKPD tersebut. Kenapa 67 kepala SKPD lainnya bisa menjalankan program dan sisanya tidak? Bila dibiarkan akan menimbulkan efek negatif bagi kepala SKPD dan mempengaruhi pelayanan pada masyarakat. Mereka juga bukan birokrat baru yang masih dalam taraf belajar membuat laporan sehingga tidak masuk akal bila ada alasan yang melandasinya.
Bacaan :
1. Wawali Minta Laporan Kegiatan Diserahkan
2. Bumerang Bagi Jokowi
3. 21 SKPD Dapat Les Khusus
4. Penyerahan Laporan Ada Batas Waktu
0 komentar:
Posting Komentar