FAKTA MUSRENBANG 2009 – 2011 KOTA SOLO
Perjalanan pembangunan partisipatif yang sudah dimulai Tahun
2000 di Kota Solo tentu bukan proses yang singkat. Banyak dinamika yang terjadi
di masyarakat, baik menyangkut partisipasi, anggaran, hingga realisasi program.
Meski demikian, kini dirasakan Musrenbang Kota Solo mulai kehilangan roh
sebagai perencanaan yang bottom up menjadi ajang seremonial atau rutinitas
belaka. Musrenbang tak lagi menjadi daya tarik bagi warga untuk mengajukan
solusi bagi penyelesaian masalah dilingkungannya.
Musrenbang bukan lagi dirasakan sebagai upaya pemerintah
membuka ruang partisipasi. Maka diberbagai kelurahan kita sudah tak dapati lagi
antusiasme warga, program yang inovatif atau ajang berdialektika memecahkan
persoalan. Kini Musrenbang menjadi ruang bagi Pemkot sebatas bagi sedikit
“dana” untuk masyarakat. Tidak ada lagi motivasi bagi warga untuk ikut terlibat
didalamnya. Apalagi RPJMD sebagai panduan perencanaan menengah daerah tak turut
disertakan sehingga perencanaan yang harusnya bottom up menjadi ruang gelap.
Suasana Musrenbangkot 2008 |
Akibatnya banyak usulan warga terbentur dan gugur ditengah
jalan dengan alasan tak sesuai RPJMD, Renstra atau Renja SKPD. Upaya pemaduan
gerak yang harusnya dibuka oleh pemerintah hanya sebatas lips service semata.
Ada rantai yang terputus antara Musrenbangkel dengan RPJMD atau Renstra SKPD.
Akibatnya masyarakat hanya berebut secuil anggaran di Dana Pembangunan
Kelurahan yang jumlahnya tak pernah naik. Jumlah alokasi DPK untuk seluruh
kelurahan di Solo sangat minim bahkan sejak tahun 2010 menjadi Rp 9 M dari Rp
10 M ditahun 2009.
Bila Tahun 2002, alokasi DPK masih sebesar 2,43 persen APBD
(Rp 6,3 M) namun Tahun 2006 hanya 2,08 persen meski jumlah nominal DPK naik (Rp
10 M). Dan pada Tahun 2012 tinggal 0,75 persen saja dari APBD. Hal ini
diakibatkan terus naiknya APBD berkat kenaikan gaji pegawai maupun pendapatan
daerah tetapi alokasi DPK tak pernah berubah walaupun harga barang juga naik.
Dilapangan otomatis masyarakat harus menyesuaikan dengan anggaran yang ada.
Jumlah program dan kegiatan yang dilaksanakan tentu berkurang drastis.
Dampak turunannya yakni dengan anggaran yang harus dipecah menjadi
banyak, usulan warga kemudian menjadi tidak optimal. Lihat saja yang diajukan
masyarakat seperti pengadaan bolo pecah, tikar, renovasi pos ronda, pengadaan
sound system atau program yang tidak substansial. Bayangkan bila satu kelurahan
dengan jumlah RW antara 3 hingga 9 atau jumlah Rt antara 18 hingga 35 mendapat
alokasi anggaran DPK Rp 115 juta. Panitia pembangunan tak bisa berbuat banyak
dan membagi dana itu seproporsional mungkin.
Kita tak bisa berharap ada program yang fokus pada ekonomi,
pendidikan, lingkungan atau tema spesifik lainnya. Disisi lain banyak program
tingkat kota yang tidak melalui perencanaan matang seperti Galabo, Ngarsopuro,
Gerbang Kota Makutho dan banyak program bombastis lainnya yang menyerap
anggaran cukup besar. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan Pemkot terkait
pengembangan wilayah tak tersosialisasi dengan baik sehingga terjadi
unkonektivitas antara kegiatan yang dilaksanakan masyarakat kelurahan dengan
SKPD.
Bila ingin ada keterpaduan sebaiknya perencanaan ditingkat
kota harus ditata kembali. Fokuskan segala perencanaan pada Perda RTRW.
Kemudian diturunkan pada RPJMD dan regulasi yang berkaitan dengan berbagai
bidang. Salah satu isu penting yang perlu ikut disosialisasikan adalah tema
pengentasan kemiskinan. Dalam Musrenbangkel, masyarakat didorong untuk
menyesuaikan dengan kebijakan tersebut sehingga ada korelasi apa yang dilakukan
pemerintah dengan apa yang dikerjakan masyarakat.
0 komentar:
Posting Komentar