Minggu, 22 Juli 2012

Musrenbangkel Solo Harus Dibenahi!


Proses Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kota Solo yang sudah berjalan 12 tahun ternyata bisa dinyatakan tak banyak berubah. Beberapa aspek yang meliputi proses musyawarah tertinggi di tingkat kelurahan hingga kota bisa dikatakan jalan ditempat. Baik dari partisipasi, dana, swadaya, hasil maupun dampak yang ditimbulkan. Bappeda Kota Solo sebagai leading sektor sepertinya mengomandoi Musrenbangkel laksana business as usual, seperti biasanya. Akibatnya beberapa aspek tak mengalami perkembangan bahkan ada yang menurun.

Tingkat rasa memiliki warga pada hasil pembangunan juga mulai berkurang. Bagaimana tingkat memiliki bisa tinggi bila diajang rutin tahunan yang biasanya diselenggarakan awal tahun makin minim pesertanya. Antusiasme warga sudah tak seperti 6-7 tahun lalu. Sidang pleno maupun komisi sudah tidak diwarnai perdebatan mempertahankan program, adu argumentasi maupun saling mengemukakan pendapat. Sekarang yang terlihat diberbagai forum Musrenbangkel  laksana forum kumpul-kumpul.
Suasana Musrenbangkel (Photo by Ardian Pratomo)

Ada banyak proses yang sudah tidak dianggap penting lalu ditinggalkan meski secara substansi itu penting. Dimana tahapan pembahasan tata tertib, pemilihan pimpinan sidang, tawar menawar program disidang komisi hingga perhitungan skor untuk menentukan prioritas? Semuanya seperti tinggal kenangan. Yang terjadi saat ini ya proses mengetahui apa yang diusulkan saja, itu saja. Parahnya hal ini terjadi sejak musyawarah Rt, Rw, Musrenbangkel, Musrenbangcam, Forum SKPD hingga Musrenbangkot. Program yang diusulkan pun relatif seragam antar kelurahan, berulang tiap tahun dan tak inovatif.

Bappeda juga gagap untuk mendorong tidak hanya partisipasi namun kreatifitas pembuatan program. Di level kota, tidak ada verifikasi program yang responsif gender, bervisi lingkungan, adil, tidak diskriminatif apalagi sustainable. Maka jangan heran bila dilevel kelurahan apalagi Rt yang banyak ditemui program pengadaan tikar, bolo pecah, renovasi pos ronda dan sejenisnya. Program yang diajukan sungguh miskin visi. Entah apa maksudnya mereka membuat program itu, yang jelas ini menjadi tanggung jawab Bappeda maupun lurah.

Kenapa Bappeda dan Lurah? Karena kedua belah pihak inilah yang berkaitan dengan Musrenbangkel. Bappeda jelas posisinya yang mendesign perencanaan tingkat kota otomatis harus memberi pembelajaran bagaimana membuat perencanaan yang baik. Sedangkan lurah sebagai pimpinan wilayah memfasilitasi dan mengajarkan apa saja yang penting bagi masyarakat untuk menjadi program, bagaimana memprioritaskan, bagaimana menggarap potensi dan lain sebagainya. Ternyata Bappeda dan pemerintah kelurahan kehilangan roh untuk menangkap apa yang sesungguhnya terjadi.

Tentu hal ini tidak bisa dibiarkan sebab akan mengacaukan arah pembangunan kota yang sesuai dengan Perda RPJMD. Jika perencanaan jangka menengah sudah ditetapkan, idealnya masyarakat tahu, faham dan mengerti apa target tahunan yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Fakta dilapangan, dari sebuah studi yang dilakukan Yayasan Kota Kita Surakarta menunjukkan bahwa program yang direalisasi oleh DPK hanya sebesar 50 persen saja dibahas di Musrenbangkel. Sisanya merupakan program yang tidak dibahas di Musrenbangkel.

0 komentar:

Posting Komentar