Minggu, 30 Januari 2011

Pengelolaan Pendapatan Daerah Partisipatif

Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan unsur penting dalam dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sebab PAD merupakan potret kemampuan pemerintah daerah dalam menggali dan optimalisasi pemasukan daerah yang langsung dikelolanya. Masih banyak kabupaten/kota di Indonesia yang kapasitas pengelolaan PAD jauh dari harapan. Hal ini dapat tercermin dari rendahnya prosentase PAD terhadap pendapatan daerah. Ini juga dapat dimaknai Pemda tidak mampu maupun kreatif (bila tidak mau dikatakan korup) atas penarikan dana dari masyarakat.

Banyak Pemda juga berargumentasi bahwa banyak pungutan yang ditarik langsung ke pusat seperti pajak penghasilan, pajak bumi dan bangunan, pajak sumber daya alam dan lain sebagainya. Padahal masih banyak sektor lain yang dapat dimanfaatkan secara optimal bagi daerah untuk meraup pemasukan yang menggiurkan. Sebut saja parkir yang tidak banyak disorot orang. Dari tarif resmi Rp 300, namun faktanya banyak yang meminta Rp 500 atau bahkan Rp 1.000. Tentu hal ini merugikan bagi daerah yang sedang berupaya memandirikan anggarannya.

Selama ini, belum ada metode pendapatan partisipatif yang dijalankan pemda bekerja sama dengan masyarakat. Idealnya, banyak aktivitas yang memungut pajak maupun retribusi yang bisa diselenggarakan secara partisipatif dan melibatkan stakeholders yang bersangkutan. Sudah banyak contoh lembaga sosial melakukan hal ini. Sebut saja infaq masjid, shodaqoh pengajian, maupun iuran ronda dan lain sebagainya. Tidak ada hal yang sulit untuk membangun hal ini bila pemerintah daerah memang mau serius.

Mereka selalu rajin mengumumkan pemasukan mingguan dalam papan pengumuman. Tidak perlu tiap hari karena pasti merepotkan. Pemberian karcis tidak menjamin transparansi. Bila ada pengumuman, maka pihak penyetor retribusi maupun yang menarik retribusi akan merasa nyaman. Jika dalam satu minggu pemasukannya kecil, akan ada saling koreksi. Penarik retribusi juga bisa menunjukkan bundelan karcis yang telah disobek sewaktu ada penyetor (misalnya pedagang pasar) menanyakannya.


Bila dikelola dengan baik, PKL juga memberi kontribusi PAD yang optimal
Kasih contoh misalnya metode pengelolaan pendapatan parkir di sebuah mall. Dalam satu minggu pasti ada hari ramai dan hari sepi misalnya hari libur nasional sabtu-minggu atau hari besar. Lakukan survey secara mendetil pada saat libur tanpa ada acara tambahan di mall tersebut. Lakukan selama 4 minggu, tentu akan didapat hasil reratanya. Kemudian, para tenant bisa diberi karcis khusus secara berlangganan. Mereka boleh saja tidak membayar, tetapi pemilik mall harus tetap memberi pemasukan pada pemda. Bila ada acara khusus, bisa dilihat berapa persen penambahan prosentase pengguna parkir.

Sedangkan untuk toko atau pasar bisa dibuat rata perhari berapa motor atau mobil. Dari sini kita akan dapat mengkalkulasi berapa rupiah retribusi parkir. Tinggal dikalikan berapa kawasan yang masuk golongan subur, menengah dan kecil untuk pemasukan parkir. Kawasan-kawasan khusus seperti wisata atau gedung pertemuan mungkin bisa memakai metode insidental. Artinya pemasukan pada Pemda hanya diminta saat ada acara atau ketika hari libur. Bagi tempat wisata, hari biasa dibiarkan tidak setor (tentu utk kawasan wisata yang belum menghasilkan/sepi). Hal ini mendorong pihak pemilik tempat wisata mengadakan kegiatan pada hari biasa.

Secara tidak langsung, promosi tempat wisata akan terdongkrak dan masyarakat akan datang pada saat holiday. Sedangkan bagi kawasan hotel bisa digunakan metode pemasukan bulanan. Mereka tak perlu mendata berapa tamu yang menggunakan kawasan parkirnya. Demikian pula untuk retribusi pasar, akan jauh lebih mudah karena pedagang sudah terdata jumlahnya. Kawasan pasar sebenarnya merupakan daerah potensial bagi PAD yang meliputi retribusi parkir, retribusi pasar, retribusi sampah, retribusi keamanan dan retribusi listrik.


Sedangkan untuk pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan atau Lain-lain Pendapatan daerah yang sah dapat disiapkan metode yang pas secara tersendiri sesuai dengan pola dari pemasukan yang ada. Semua metode ini akan berjalan optimal bila Pemda membentuk semacam Satgas yang menjalankan fungsi pemantauan secara tertutup. Artinya objek pengamatan tak boleh tahu Satgas atau task force ini. Pembinaan moral tentu penting supaya langkah pengamatan pendapatan juga terdorong dari diri si penyetor retribusi.

0 komentar:

Posting Komentar