Senin, 21 Maret 2011

Jabatan Kepala Daerah Bukan Warisan

Sejak berlakunya otonomi daerah disusul dengan regulasi pemilihan kepala daerah/Pilkada secara langsung, di Indonesia marak pencalonan individu yang dekat dengan penguasa sebelumnya. Jarang ada calon kepala daerah orang "biasa" saja baik dalam segi keturunan, ekonomi, status sosial, "berpengalaman" maupun segi lainnya. Artinya lingkup calon seakan-akan benar-benar tidak terbuka secara total. Meski ada peluang calon independen tetap saja diluar segi diatas tadi pasti sulit terpilih.

Lihat saja diberbagai kabupaten/kota di Indonesia para pengusaha, keturunan darah biru, birokrat, militer cukup banyak mewarnai pencalonan kepala daerah. Partai politik sendiri jarang mengajukan calon yang segar atau punya visi jelas dan bisa independen terhadap parpol yang mengusungnya. Setelah berjalan 10 tahun, kini saatnya era pergantian tampuk kepemimpinan ditingkat daerah. Karena memang banyak yang mampu menjadi kepala daerah selama 2 periode.

Setidaknya hal ini bisa dilihat di eks karesidenan Surakarta yang mencakup 6 kabupaten dan 1 kota. Ternyata masih banyak calon kepala daerah baik terpilih maupun tidak bukan calon biasa saja. Ada 5 kabupaten dan 1 kota yang kepala daerahnya mampu menjalankan 2 periode kepemimpinan yakni Sragen (Untung Wiyono), Wonogiri (Begug Poernomosidi), Karanganyar (Rina Iriani), Klaten (Sunarna), Sukoharjo (Bambang Riyanto) dan Kota Surakarta (Joko Widodo).

Meski diantara 6 daerah tersebut ada yang berganti pasangan seperti Rina Iriani dan Sunarna. Yang menarik adalah diantara keenam daerah tersebut, 3 daerah (Sragen, Wonogiri dan Sukoharjo) telah melakukan Pilkada pasca 2 periode kepemerintahan. Rupanya jabatan kepala daerah bukan dimaknai sebagai amanah tetapi kekuasaan mutlak yang dapat dikatakan menafikkan demokrasi. Padahal secara jelas mereka tahu bahwa mereka dipilih oleh rakyat yang benar-benar sudah meningkat daya kritisnya.

Buktinya kepala daerah Sragen, Wonogiri maupun Sukoharjo tidak melepas pencalonan kepala daerah pasca masa jabatan berakhir. Bila tampuk kepemimpinan dilimpahkan ke partai politik asal mereka diusung tentu masih masuk akal. Tragisnya mereka justru mencalonkan orang-orang terdekatnya untuk bertarung memperebutkan jabatan kepala daerah. Hasilnya nyata, mereka benar-benar dibuat malu oleh warganya sendiri.

Masyarakat menggunakan hak pilihnya
 Begug Poernomosidi pasca berakhrinya masa jabatan sebagai Bupati Wonogiri masih maju kembali meski sebagai calon wakil bupati berpasangan dengan Soemaryoto (Pengusaha Otobus dan anggota DPR RI). Di Sukoharjo, bupati Bambang Riyanto mengajukan istrinya Titik untuk maju sebagai calon bupati. Meski partai politik pengusung dirinya pada saat pencalonan dulu (PDIP) mengajukan calon sendiri, Bambang nekat saja mendukung istrinya melalui parpol lain.

Sementara di Sragen, Untung Wiyono mengajukan Yuni Sukowati (anaknya) untuk bertarung sebagai calon kepala daerah. Apa hasil 3 pilkada tersebut? ketiganya keok oleh calon lain yang lebih didukung oleh masyarakat. Di Sukoharjo, wakil bupati incumbent yang turut maju sebagai calon bupati juga kalah dengan perolehan suara yang bisa dibilang memprihatinkan. Kondisi serupa dialami oleh Titik Bambang Riyanto meski perolehan suaranya berada di posisi kedua.

Yuni Sukowati mengalami hal serupa, takluk pada Agus Fatkhurrahman yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Bupati. Padahal hitung-hitungan diatas kertas, Yuni unggul jauh dibanding 4 kandidat lainnya. Dia disupport 5 parpol dengan perolehan suara pemilu 2009 sebesar 285.439 dengan 33 kursi di legislatif. Agus Fatkhurrahman cuma diajukan 3 parpol yang perolehan suara pemilu 2009 "hanya" 97.113 dan memiliki 10 kursi di legislatif.

Dari 3 kasus ini menandakan bahwa demokrasi telah tumbuh pada arah yang sebenarnya. Dia mampu meletakkan diri pada ranah politik praktis yang elegan dan semestinya. Meski didukung oleh berbagai kalangan termasuk birokrasi, nyatanya Yunu, Titik serta Soemaryoto dibuat tidak berdaya. Tidak ada pemberitaan pelanggaran pilkada yang cukup signifikan sehingga tidak muncul sengketa Pilkada pasca pemungutan suara.

Inilah pembelajaran bagi kepala daerah lainnya supaya benar-benar melihat dan mendengar suara hati rakyatnya bila ingin mengajukan calon dari keluarganya. Kalkulasi matang harus dilakukan oleh tim independen agar keputusan pencalonan kepala daerah dari lingkaran orang dalam serasa nyanyian merdu burung. Tanpa kajian matang serta profesional, keputusan maju atau tidaknya seseorang akan berakhir konyol. Kepala Daerah itu pengabdian, bukan warisan!

0 komentar:

Posting Komentar