Salah satu angkot melaju di jalanan Surakarta |
Sekitar 15 tahun yang lalu, menyenangkan rasanya melihat penumpang angkot yang berjubel. Jumlah angkotpun cukup banyak dan terlihat berlalu lalang disudut kota. Jalur-jalur barupun tumbuh seiring perkembangan kota. Jalur baru kebanyakan merupakan jalur pinggiran kota menuju tengah kota. Sebut saja kadipiro, gentan, palur dan masih banyak lagi.
Namun, kurun 5 tahun terakhir adalah waktu yang cukup berat bagi keberadaan mereka. Satu persatu jalur makin sepi dan jumlah armada yang melayani turun drastis. Mereka nampaknya kini mengalami kesulitan bertahan dan bersaing dengan beragamnya transportasi individu. Dalam sebuah penelitian yang diadakan untuk mengeksplorasi keberadaan transformasi informal terungkap beberapa hal.
Pertama, berbagai angkutan kota di Surakarta kini kondisi “kesehatan”nya sangat memprihatinkan. Mereka bertahan dikarenakan tak ada pilihan lain terutama yang berkaitan dengan skill/kemampuan. Pemilik armadapun rupanya faham akan kondisi ini sehingga sewa armada tak hanya berlaku setengah hari, bahkan 24jam penuh.
Angkot menunggu penumpang di kawasan Kerten |
Ketiga, pihak yang berwenang sepertinya tidak responsive atas fenomena yang ada sekarang. Bila Solo mencanangkan sebagai kota tujuan wisata, seharusnya hal-hal seperti ini (ketersediaan transportasi public) benar-benar diperhatikan. Supaya wisatawan yang berkunjung, ketika menggunakan public transportation tidak terkejut.
0 komentar:
Posting Komentar