Entah sudah berapa UU, PP, Permendikbud, juklak juknis, pelatihan
bendahara sekolah, pelatihan manajemen sekolah hingga ceramah keagamaan yang
diikuti pengelola atau pimpinan sekolah namun mereka tetap tidak mau
menerapkan.
Padahal anggaran yang mereka kelola jelas uang public yang
dilewatkan kementrian pendidikan untuk dikelola. Anggarannya mau,
transparansinya ogah. Jika tak punya anggaran teriak-teriak tidak cukup,
giliran mengelola anggaran diam seribu bahasa. Bayangkan, pengelola anggaran
itu para guru, para suri tauladan bahkan kini sekolah negeri berbasis agama
juga mendapat alokasi Bantuan Operasional Sekolah (BOS) namun transparansinya
nihil. Kapan pendidikan kita akan baik kalau para pengelola anggaran yang
notabene mendidik anak-anak kita mereka tidak mau terbuka? Toh uang itu bukan milik mereka.
Kalau toh pun anggaran itu dibuka, tidak ada orang tua siswa
yang meminta BOS dari pemerintah. Bagaimana orang tua siswa mau membantu
sekolah jika sekolah hanya memaparkan kebutuhannya namun tidak menjelaskan
dengan detil anggaran yang didapat dari Negara dipakai untuk apa. Bagaimana
kami tahu sekolah betul-betul butuh uang? Dan kami para orang tua harus
berpartisipasi? Para pendidik dan pengelola anggaran itu pasti tahu UU, PP atau
Permendikbud pasal berapa, ayat berapa yang mewajibkan sekolah mempublikasikan
Rencana Kerja dan Anggaran Sekolah (RKAS).
Tak perlu kami sampaikan rujukannya sebab itu bagaikan kita
mengajari ikan berenang. Seperti yang saya alami, siang itu kami para orang tua
sekolah dikumpulkan oleh sekolah negeri berbasis agama. Rencananya sekolah menarik
pungutan untuk membeli computer sebab mereka akan mengikuti UN berbasis computer
(Computer Base Test). Tidak ada lembaran RKAS yang dibagikan melainkan surat
pernyataan kesediaan membayar iuran pembelian computer dengan nominal Rp
500.000/siswa tanpa disertai RKAS atau RAB. Acara diisi parade sambutan dan
rencana kegiatan mulai dari sambutan ketua panitia, kepala sekolah, wakil
kepala bidang kurikulum, wakil kepala bidang kesiswaan, dan wakil kepala
sekolah bidang sarana prasarana.
Dan tidak ada ruang atau kesempatan klarifikasi, pertanyaan
atau dialog. Entah apa yang mereka pikirkan. Apakah kami para orang tua
dianggap seperti anak SD kelas 1 atau 2 yang tidak tahu apa-apa. Padahal
sebagai orang tua siswa kami berhak tahu apa yang hendak dilakukan sekolah.
Masak transparansi di sekolah masih kalah dengan di masjid?
Lihat saja berbagai masjid yang ada. Mereka menerima infaq dari jamaah dalam
sebuah kotak, tidak ada yang tahu siapa berinfaq berapa tapi jumlah dana terkumpul
selalu dihitung terbuka, dicatat dalam papan dan penggunaannya ditulis juga.
Kalau rencana membangun masjid kurang anggarannya ya menunggu hingga anggaran
cukup atau membangun setahap demi setahap. Itu jelas dan lihat saja, jarang
jamaah meributkan soal infaq yang masuk dan berapa atau dibelanjakan untuk apa.
Jargon para pengelola sekolah minta keikhlasan agar dapat
pahala namun mereka tidak melakukan transparansi, kewajiban yang diamanarkan
oleh aturan. Ah sampai kapan mereka menyadari atas kewajiban itu? Bukankah
rakyat melalui Negara telah memenuhi kewajiban meningkatkan kesejahteraan para
guru. Lantas kapan para pengelola sekolah berubah?
0 komentar:
Posting Komentar