Minggu, 16 Oktober 2016

Transparansi Anggaran di Sekolah Negeri? Mimpi

Transparansi pada jaman modern sebenarnya sudah menjadi syarat wajar bagi sebuah institusi. Tanpa menjalankan transparansi, sebuah institusi dapat dikatakan sebagai sebuah institusi tradisional. Bagaimana dengan transparansi anggaran di sekolah negeri? Bagai sebuah idiom jauh panggang dari api, mimpi. Kejadian ini dapat kita saksikan diberbagai sekolah negeri baik negeri umum maupun agama.

Entah sudah berapa UU, PP, Permendikbud, juklak juknis, pelatihan bendahara sekolah, pelatihan manajemen sekolah hingga ceramah keagamaan yang diikuti pengelola atau pimpinan sekolah namun mereka tetap tidak mau menerapkan.

Padahal anggaran yang mereka kelola jelas uang public yang dilewatkan kementrian pendidikan untuk dikelola. Anggarannya mau, transparansinya ogah. Jika tak punya anggaran teriak-teriak tidak cukup, giliran mengelola anggaran diam seribu bahasa. Bayangkan, pengelola anggaran itu para guru, para suri tauladan bahkan kini sekolah negeri berbasis agama juga mendapat alokasi Bantuan Operasional Sekolah (BOS) namun transparansinya nihil. Kapan pendidikan kita akan baik kalau para pengelola anggaran yang notabene mendidik anak-anak kita mereka tidak mau terbuka?  Toh uang itu bukan milik mereka.

Kalau toh pun anggaran itu dibuka, tidak ada orang tua siswa yang meminta BOS dari pemerintah. Bagaimana orang tua siswa mau membantu sekolah jika sekolah hanya memaparkan kebutuhannya namun tidak menjelaskan dengan detil anggaran yang didapat dari Negara dipakai untuk apa. Bagaimana kami tahu sekolah betul-betul butuh uang? Dan kami para orang tua harus berpartisipasi? Para pendidik dan pengelola anggaran itu pasti tahu UU, PP atau Permendikbud pasal berapa, ayat berapa yang mewajibkan sekolah mempublikasikan Rencana Kerja dan Anggaran Sekolah (RKAS).

Tak perlu kami sampaikan rujukannya sebab itu bagaikan kita mengajari ikan berenang. Seperti yang saya alami, siang itu kami para orang tua sekolah dikumpulkan oleh sekolah negeri berbasis agama. Rencananya sekolah menarik pungutan untuk membeli computer sebab mereka akan mengikuti UN berbasis computer (Computer Base Test). Tidak ada lembaran RKAS yang dibagikan melainkan surat pernyataan kesediaan membayar iuran pembelian computer dengan nominal Rp 500.000/siswa tanpa disertai RKAS atau RAB. Acara diisi parade sambutan dan rencana kegiatan mulai dari sambutan ketua panitia, kepala sekolah, wakil kepala bidang kurikulum, wakil kepala bidang kesiswaan, dan wakil kepala sekolah bidang sarana prasarana.

Dan tidak ada ruang atau kesempatan klarifikasi, pertanyaan atau dialog. Entah apa yang mereka pikirkan. Apakah kami para orang tua dianggap seperti anak SD kelas 1 atau 2 yang tidak tahu apa-apa. Padahal sebagai orang tua siswa kami berhak tahu apa yang hendak dilakukan sekolah.

Masak transparansi di sekolah masih kalah dengan di masjid? Lihat saja berbagai masjid yang ada. Mereka menerima infaq dari jamaah dalam sebuah kotak, tidak ada yang tahu siapa berinfaq berapa tapi jumlah dana terkumpul selalu dihitung terbuka, dicatat dalam papan dan penggunaannya ditulis juga. Kalau rencana membangun masjid kurang anggarannya ya menunggu hingga anggaran cukup atau membangun setahap demi setahap. Itu jelas dan lihat saja, jarang jamaah meributkan soal infaq yang masuk dan berapa atau dibelanjakan untuk apa.

Jargon para pengelola sekolah minta keikhlasan agar dapat pahala namun mereka tidak melakukan transparansi, kewajiban yang diamanarkan oleh aturan. Ah sampai kapan mereka menyadari atas kewajiban itu? Bukankah rakyat melalui Negara telah memenuhi kewajiban meningkatkan kesejahteraan para guru. Lantas kapan para pengelola sekolah berubah?

0 komentar:

Posting Komentar