Era desentralisasi mestinya mampu mendorong daerah menjadi berkembang dan tempat masyarakatnya menjadi mandiri. Bukan terus saja bergantung pada pemerintah pusat terutama dalam hal anggaran meski mereka (baca : pemerintah pusat) masih setengah hati mendesentralisasikan anggaran ke daerah. Terlalu banyak alasan yang dikemukakan dan nampak seperti berat hati. Meski ada beberapa daerah yang belum baik pengelolaannya mestinya daerah tetap diberi kepercayaan.
Sebab otonomi sesungguhnya yang diterapkan di Indonesia adalah ditingkat kabupaten/kota dan bukan pada propinsi. Pemerintah daerah memang perlu banyak belajar bagaimana mengelola keuangan daerah secara baik karena hasil audit keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan menunjukkan masih minimnya Pemda mendapat predikat Wajar Tanpa Pengecualian. Beberapa kepala daerah juga terseret kasus korupsi yang nilainya beragam dari puluhan miliar hingga ratusan miliar.
Salah satu indikator masih bergantungnya daerah pada pusat dapat dilihat dari mayoritas anggaran Dana Alokasi Umum yang digunakan untuk belanja pegawai. Itupun masih harus menambah banyak. Entah bagaimana ceritanya sehingga kini Pemda menanggung beban belanja pegawai yang cukup besar. yang data yang didapat penulis (melalui kemenkeu.go.id) dapat dianalisis di eks karesidenan Surakarta tingkat ketergantungan semakin besar.
Bila tahun 2009 DAU masih cukup untuk membiayai belanja pegawai (pada pos Belanja Tidak Langsung), maka Tahun 2010 dan 2011 sudah 6 kabupaten/kota yang harus tombok untuk membayar gaji pegawai. Hanya Kabupaten Sukoharjo yang DAU nya masih mampu membiayai gaji pegawai meski tahun 2011 dana DAU tersisa Rp 10 M (tahun 2010 tersisa Rp 31 M). Tentu hal ini memprihatinkan sebab belanja pegawai sudah menyebabkan alokasi belanja pada masyarakat menjadi berkurang/dikorbankan.
Sudah seharusnya pendapatan daerah digunakan untuk membangun serta mensejahterakan masyarakat karena pendapatan itu bersumber dari pajak maupun retribusi secara langsung. Faktanya saat ini pendapatan daerah melalui PAD tersedot menambah belanja pegawai. Dalam tabel dapat kita lihat perbandingan prosentase kenaikan DAU tidak sebanding dengan kenaikan belanja pegawai. Pada tahun 2009 ke 2010 tercatat kenaikan DAU terkecil ada di Solo yakni berkurang 1,66 persen (dari Rp 435 M menjadi Rp 428 M). Sementara yang mendapat kenaikan tertinggi periode tersebut adalah Sragen meski nominalnya hanya Rp 10 M saja.
Pada tahun 2010 ke 2011 kenaikan paling kecil berada di Klaten sebesar 9,18 persen dan terbesar diterima Solo yaitu 27,33 persen. Sementara alokasi belanja pegawai yang paling banyak memakan anggaran daerah ada di Kabupaten Klaten pada Tahun 2009 yang mencapai Rp 711 M dan paling minim tentu saja Kota Solo yang secara kewilayahan tidak luas. Meski demikian, yang patut dicermati adalah tingginya serapan anggaran non DAU untuk belanja pegawai. Ini menandakan bahwa pemerintah pusat maupun daerah tidak mampu memandirikan anggaran.
Tahun 2010 Kabupaten Sukoharjo masih menyisakan Rp 31 M dana DAU yang dipakai untuk belanja pegawai. Sedangkan Kabupaten Boyolali malah mengambil pos lain (non DAU) mencapai Rp 91 M untuk tambahan gaji pegawai. Tahun 2011 Sukoharjo memang masih menyisakan dana DAU untuk pembangunan meski nominalnya tinggal Rp 10 M. Sedangkan Boyolali mengambil pos lain mencapai Rp 86 M alias berkurang Rp 5 M dari tahun sebelumnya.
Pemerintah harus segera mencarikan solusi agar anggaran non DAU diserap untuk belanja pegawai tidak bertambah besar. Pemerintah tidak sekedar menaikkan gaji PNS, moratorium PNS, pensiun dini, menaikkan pajak dan lain sebagainya. Harus ada tindakan nyata yang tidak parsial, jangka pendek atau sesaat namun juga juga mengandung nilai strategis bagi masa depan desentralisasi. Ini penting supaya masyarakat tidak menganggap otonomi daerah bahkan demokratisasi gagal.
0 komentar:
Posting Komentar