Kamis, 21 Juli 2011

Kondisi Pendidikan Di Indonesia Memprihatinkan

Entah sampai kapan pendidikan di Indonesia menjadi program yang futuristik. Program yang benar-benar diperuntukkan bagi masyarakat dan gratis terutama pendidikan dasar 9 tahun. Pemerintah mengklaim sudah menyediakan biaya bagi masyarakat untuk menempuh pendidikan secara cuma-cuma baik di sekolah dasar negeri maupun sekolah menengah pertama negeri. Faktanya tidak demikian, seperti kita tahu masih banyak pungutan disana sini dan menjadi keluhan banyak pihak.

Meski sudah mendapat alokasi anggaran pendidikan 20 persen dalam APBN, kenyataannya pungutan di SDN dan SMPN masih saja marak. Tahun ini lebih dari Rp 200 Trilyun dialokasikan untuk pendidikan termasuk juga gaji dan sertifikasi guru. Namun kenyataannya selain output pendidikan tak kunjung membaik, pengelolaan anggaran 20 persen juga tidak optimal. Hal ini tidak hanya dihadapi oleh Pemda bahkan hingga kemendiknas. Pertengahan tahun 2011 ini saja, serapan anggaran pendidikan dasar masih minim.

Dari anggaran yang dialokasikan sebesar Rp 12,8 trilyun untuk pendidikan dasar, sampai bulan Juli 2011 hanya terserap 7,7 persen. Anehnya lagi, mereka masih meminta tambahan Rp 3,2 trilyun untuk semakin melancarkan program. Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi di pendidikan kita karena berbagai macam program pemerintah pusat juga sudah diluncurkan untuk meringankan biaya sekolah. Lihat saja betapa besarnya anggaran BOS. Faktanya pungutan disana sini diberbagai daerah masih mewarnai pemberitaan media massa.

Meski terletak ditempat paling utara Kaltim tetapi SDN ini termasuk bagus
Dalam Permendiknas No 37 Tahun 2010 Tentang Petunjuk Penggunaan Dana BOS 2011 setidaknya ada 13 item penjelasan penggunaan anggaran. Pertama, untuk pembelian buku. Kedua, pembiayaan kegiatan penerimaan siswa baru. Ketiga, pembiayaan kegiatan pembelajaran remedial, pengayaan materi, persiapan ujian dan lainnya. Keempat, pembiayaan ulangan harian, ulangan umum, ujian sekolah serta lainnya. Kelima pembelian bahan habis pakai seperti buku tulis, kapur, spidol dan sejenisnya. Keenam, pembelian langganan daya dan jasa seperti listrik, air, telp, internet, Ketujuh, pembiayaan perawatan sekolah seperti cat, perbaikan atap dan sebagainya.

Kedelapan, pembayaran honorarium bulanan guru honorer dan tenaga kependidikan. Kesembilan, pengembangan profesi guru. Kesepuluh, pemberian bantuan biaya transportasi bagi siswa miskin. Kesebelas, pembiayaan pengelolaan BOS seperti alat tulis kantor, flash disk. Kedua belas, pembelian komputer untuk pembelajaran siswa maksimum 1 unit dalam 1 tahun anggaran. Dan terakhir ketigabelas dana BOS dapat digunakan untuk membeli alat peraga, media pembelajaran, mesin ketik, peralatan UKS, mebelair sekolah apabila point 1-12 masih ada dana tersisa.

Betapa besarnya anggaran yang dikelola sebuah sekolah bila menerima dana BOS. Meski sudah ada kewajiban transparansi Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS), kenyataannya hampir tidak ada sekolah negeri yang melakukan sosialisasi Rancangan APBS untuk mendapat masukan dan kemudian dibahas oleh sekolah bersama komite sekolah untuk ditetapkan menjadi APBS. Selama ini komite sekolah lebih pasif merespon berbagai kebijakan yang berkait dengan sekolah.

Lantas bagaimana dengan orang tua? kita tidak bisa berharap banyak para orang tua siswa bersikap kritis terhadap sekolah. Sudah banyak kasus orang tua yang kritis dan mempertanyakan berbagai kebijakan sekolah mendapat perlakuan diskriminatif. Kalau perlakuan tersebut diterima orang tua saja mungkin tidak masalah. Yang menjadi persoalan adalah perlakuan diskriminatif justru menimpa siswa si orang tua yang kritis bahkan sudah muncul beberapa kasus yang anaknya kemudian diminta pindah. Contoh terakhir dialami si kembar Yoga dan Yogi di SD Sitirejo IV Kecamatan Wagir Malang.

Pendidikan non formal tetap penting
Walaupun ditiap kabupaten kota sudah ada Dewan Pendidikan, kenyataannya peran mereka sama-sama memprihatinkan dengan komite sekolah. Selain keterbatasan biaya, jumlah orang di dewan pendidikan, mobilitas minim, mereka kebanyakan berlatar belakang pensiunan yang sudah tak memiliki energi lebih. Kalau masih ada yang berusia dibawah 55 tahun atau 60 tahun, biasanya memiliki pekerjaan tetap yang juga menyita waktu. Belum lagi posisi di dewan pendidikan nyaris tak mendapat apa-apa dari pemerintah daerah sehingga sulit mengharapkan mereka kritis.

Maka dari itu butuh elemen lain selain LSM untuk dapat "masuk" mengkritisi berbagai kebijakan pendidikan. Adanya forum peduli, persatuan guru independen dan beragam elemen peduli pendidikan lainnya sebenarnya menjadi potensi agar kedepan pendidikan bukan malah menjadi momok bagi orang tua siswa apalagi menyangkut biaya. Di pendidikanlah harusnya orang tua dapat menyandarkan sebagian harapannya (sebagian lagi dari doa) agar anak-anaknya kelak dapat mengabdi pada nusa dan bangsa. Bukan malah ragu bahkan pesimis anaknya akan bertambah pintar.

0 komentar:

Posting Komentar