Defisit dan SILPA dengan Nominal Besar Wujud Tak Profesionalnya Birokrasi
Anggaran daerah semestinya digunakan untuk kemakmuran rakyat tidak sekedar membelanjakan kegiatan rutin seperti gaji dan kebutuhan kantor. Tetapi faktanya berdasar postur APBD yang ada, hampir mayoritas daerah secara prosentase lebih besar pada belanja tidak langsung. Belanja langsung tidak sampai 50 persen bahkan mungin hanya 30-40 persen. Pada nota keuangan daerah juga postur anggarannya lebih cenderung defisit dibanding surplus.
Bila kita jeli melihat nota keuangan yang disampaikan oleh para kepala daerah, defisit memang besar tetapi dalam Pembiayaan Daerah maka akan kita temukan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) juga sama besarnya. Tentu bagi yang jeli melihat ini akan mempertanyakan pola penyusunan anggaran yang tidak berimbang namun SILPA tetap besar. Hal ini dialami juga oleh 7 kabupaten/kota se eks Karesidenan Surakarta. Tidak ada daerah yang menerapkan pola surplus atau berimbang.
Argumentasi yang terus menerus diajukan oleh birokrat atas SILPA memang selalu standar yaitu 2 alasan. Pertama, peningkatan pendapatan yang signifikan dan kedua mengenai efisiensi kegiatan. Meskipun alasan ini bisa kita perdebatkan bila kita dan mereka (birokrat) memegang data. Bisa di cek selisih pendapatan seringkali tidak sampai Rp 20 M atau 5 persen dari target dan pelaksanaan kegiatan bukan efisien namun banyak yang dibatalkan.
Apakah masuk akal setiap proyek kegiatan yang nilainya Rp 1 M misalnya bisa efisien Rp 200 juta? tentu perencanaan atas kegiatan diragukan validitasnya. Bisa di cek juga untuk belanja pegawai pada belanja tidak langsung juga mengalami efisiensi. Bagaimana bisa? Bukankah jumlah PNS, golongan, kepangkatan, tunjangan dan sebagainya sudah bisa diprediksi? Bahkan yang akan pensiun berapa pegawai. Kalau toh pun ada yang meninggal tentu jumlahnya tidak banyak.
Memang tidak ada salahnya bahwa anggaran daerah itu defisit sepanjang tingkat defisitnya sesuai dengan peraturan yang ada. Dalam PP No 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah pasal 104 ayat (2) disebutkan "Defisit APBD sebagaimana dimaksud ayat (1) ditutup dengan pembiayaan netto". Dalam klausuf penjelasan disebutkan defisit adalah "Defisit terjadi apabila jumlah pendapatan tidak cukup untuk menutup jumlah belanja dalam satu tahun anggaran".
Kondisi Jalan Kabupaten Klaten antara Cawas - Semin Gunung Kidul |
Misalnya Kabupaten Klaten pada tahun 2009 dalam nota APBD tercatat defisit mencapai Rp 67 M dan pada tahun berikutnya terdapat SILPA Rp 27 M maka defisit perencanaan anggaran tidak match/pas menjadi sebesar Rp 94 M. Anggaran sebesar ini tidak bisa disebut efisiensi. Semakin tahun ternyata lebih banyak yang bertambah sementara SILPA beragam.Dalam kurun waktu tersebut defisit terkecil ada di Kabupaten Klaten tahun 2010 sebesar Rp 3,4 M sedangkan SILPA paling "masuk akal" ada di Kota Surakarta Tahun 2010 dengan nominal Rp 18 M.
Padahal dibandingkan kondisi/data kemiskinan daerah, alokasi pendidikan, jaminan kesehatan maupun infrastruktur masih membutuhkan anggaran yang lebih besar dibanding SILPA. Bagaimana bisa disebut efisiensi bila SILPA mencapai Rp 108 M (tahun 2010) dan Rp 161 M (tahun 2009) pada Kabupaten Wonogiri. Benarkan masalah kemiskinan, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur telah tuntas dientaskan oleh Begug Purnomosidi (bupati kala itu). Butuh kepedulian semua pihak agar defisit dan SILPA menjadi terkendali.
Data diatas tidak sekedar sederet angka namun memiliki makna yang dalam. Terlebih para kepala daerah dipilih oleh rakyat secara langsung. Mereka tak bisa seenaknya mengajukan anggaran defisit namun sisa anggaran tahun berikutnya puluhan bahkan ratusan miliar. Sayangnya yang bisa mengakses data ini hanya orang tertentu dan dengan tingkat pemahaman yang sudah tuntas. Butuh penyebaran dan penyadaran berbagai pihak agar kedepan proporsi anggaran bisa lebih masuk akal.
0 komentar:
Posting Komentar