Pengelolaan anggaran daerah memang banyak yang tidak profesional. Hal ini setidaknya dilihat berdasarkan penilaian BPK, Neraca APBD, Defisit Anggaran Daerah, Pengembalian Pinjaman dan lain sebagainya. Badan Pemeriksa Keuangan yang secara rutin memeriksa laporan keuangan pemerintah daerah menyatakan lebih banyak daerah yang mendapat penilaian diluar Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yakni Wajar Dengan Pengecualian (WDP) maupun Disclaimer.
Kota Solo yang banyak disorot dalam hal keunggulan partisipasi dan penataan kota oleh Joko Widodo (Walikota) serta membawa jargon Berseri Tanpa Korupsi baru mendapat predikat WTP untuk laporan keuangan Tahun 2010. Hal ini mengindikasikan apa yang dikemukakan Fitra (Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran) dalam releasenya Selasa (11/7) ada 124 daerah terancam bangkrut jadi benar adanya. Diantaranya, DPRD Klaten hari ini hanya mendapat air minum segelas air putih bukan teh.
Meski telah dibantah oleh Sekretaris DPRD Klaten namun kejadian ini mengindikasikan tidak profesionalnya birokrat mengatur rumah tangganya sendiri.
Neraca APBD bisa dilihat lebih sering berada pada posisi yang tak seimbang atau bahkan surplus. Namun bila sudah masuk dalam perhitungan pelaksanaan APBD, SILPA (Sisa anggaran tahun lalu) justru jumlahnya lumayan besar. Artinya manajemen pengelolaan keuangan pemerintah daerah belum profesional. SILPA besar jarang ditimbulkan oleh prediksi PAD yang didapat lebih besar dari prediksi tetapi banyak program tidak bisa terealisasi sesuai rencana.
Merubah mindset birokrasi tak mudah, harus dilakukan secara perlahan |
Kemandirian anggaran daerah sangat kecil dan sering lebih banyak bergantung pada pusat hingga pinjaman. Dalam Neraca APBD kita dapat membaca, anggaran daerah yang dialokasikan untuk pengembalian pinjaman kadang mencapai 10 persen dari belanja modal. Masih minim inovasi yang dilakukan pemerintah daerah untuk menggali dari mana saja pendapatan yang potensial bisa diraih agar mampu memberi proporsi yang cukup berimbang atau secara perlahan melepas ketergantungan pada anggaran pusat.
Beberapa Kabupaten/Kota di eks Karesidenan Surakarta untuk APBD Tahun 2011 mengalami defisit. Kota Solo defisit anggaran mencapai Rp 71 M dan di Sragen hanya selisih Rp 1 M alias mencapai Rp 70 M. Kabupaten Bantul memahami betul kondisi keuangan daerahnya sehingga untuk tahun 2011 berniat tidak mengadakan perekrutan CPNS. Setidaknya 300-400 CPNS tiap tahun terus direkrut untuk memenuhi kebutuhan pelayanan. Sektor yang paling terkena dampak adalah pendidikan. Pemkab Bantul berniat melakukan terobosan dengan menggandakan tugas mengajar guru. Sebab saat ini saja alokasi belanja pegawai sudah mencapai 71 persen.
Apa yang dilakukan Kabupaten Sleman sebenarnya bukan hal baru. Kebijakan tersebut sudah jauh-jauh hari dijalankan oleh Pemerintah Kabupaten Jembrana Bali. Kebijakan zero growth CPNS adalah terobosan konkrit dalam pengalokasian anggaran supaya tak habis untuk kebutuhan birokrasi. Masih ada bermacam terobosan yang bisa dilakukan oleh pemerintah daerah selain optimalisasi PAD. Sebut saja perpanjangan usia pensiun, mengurangi proyek fisik yang tidak berkaitan langsung dengan kebutuhan masyarakat, beriklan di media, pengadaan pakaian dinas pegawai, pengurangan anggaran makan minum tamu di DPRD, lelang elektronik dan lainnya.
Optimalisasi PAD sebenarnya langkah pertama yang nyata untuk meningkatkan PAD. Dengan catatan optimalisasi itu bukan dengan menaikkan tarif retribusi atau pajak tetapi dengan membuat sistem setoran retribusi dan pajak lebih transparan dan akuntabel sehingga meminimalkan penyelewengan. Maka dari itu, saat ini banyak pemerintah daerah membutuhkan pribadi yang inovatif yang mampu berkreasi serta membuat terobosan dalam rangka memandirikan keuangan daerahnya. Dengan demikian anggaran daerah tidak melulu habis untuk belanja birokrasi.
0 komentar:
Posting Komentar