Kemajuan sebuah negara sering diukur dari maju tidaknya pendidikan. Hal itu karena asumsi pendidikan sebagai ujung tombak perubahan. Sayangnya asumsi tersebut dipatahkan oleh kajian Prof Dr Baedhlowi, MSi dalam pengukuhan guru besar Manajemen Sumber Daya Manusia FKIP UNS 12 November 2009. Dan hingga kini terlihat perkembangan pendidikan seakan tidak beranjak membaik. Tiap tahun yang diributkan hanya soal tunjangan sertifikasi dan biaya pendidikan. Sinyal yang diberikan Prof Baedhowi seakan-akan makin menunjukkan kebenarannya.
Sudah bertahun-tahun tunjangan sertifikasi diberikat dan makin banyak yang menerima. Sayangnya problem pendidikan dari yang teknis hingga non teknis masih terus saja muncul. Baik berdasarkan periodisasi, elemen sekolah, jenis sekolah, manajemen dan masih banyak lagi lainnya. Berdasar periodisasi atau waktu, pungutan seragam saat pendaftaran siswa baru, pungutan daftar ulang, pungutan uang ujian dan lainnya masih terjadi dalam waktu tertentu. Berdasar elemen sekolah misalnya masih ruwetnya data base guru yang tidak update. Lihat saja beberapa daerah bahkan muncul gugatan keaslian data Guru Tidak tetap.
Sementara untuk jenis sekolah, adanya sekolah negeri dan swasta selalu menjadi pertentangan. Ada sekolah negri iri terhadap sekolah swasta berbayar mahal dan gaji gurunya besar namun ada sekolah swasta hampir menerima murid tiap kelasnya tidak lebih dari 15 orang. Tentu ini PR yang tidak gampang sebab nasib guru pengajarnya akan seperti apa. Maka dari itu, masih sangat jauh kita membedah atau berharap kualitas pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik. Tentu yang dimaksudkan kualitas pendidikan adalah output atau keluaran lembaga pendidikan.
Perubahan kurikulum 2013 yang digembar-gemborkan hingga kini banyak menemui kendala. Tak jelas bagaimana hasil ujicoba bagi sekolah percontohan yang sudah berjalan 1 tahun ini. Perubahan kurikulum sebenarnya memang baik namun terkesan tergesa-gesa karena guru atau yang bakal memfasilitasi diruang-ruang kelas masih banyak yang mindsetnya terbelakang. Susah berharap perubahan dari mereka. Harusnya ditiap sekolah ada percontohan terlebih dahulu. Dorong bagi guru-guru yang sudah mendapat sertifikasi untuk melaksanakannya.
Pemantauan bisa dilakukan oleh dinas secara berjenjang. Seperti kita tahu, jumlah guru luar biasa banyaknya. Tetapi jarang sekali mereka tergerak secara bersama untuk mereformasi sistem pendidikan yang menghargai potensi anak. Sudah jelas ada pembatasan-pembatasan misalnya jumlah siswa dalam 1 kelas hanya 20, ya tetap saja di sekolah terdapat lebih dari 28 orang dengan alasan yang bisa saja dibuat. Apalagi soal lainnya.
Lantas kapankah kualitas pendidikan di Indonesia akan bisa di"panen"? Sebagai sebuah proses tentu akan membutuhkan waktu lama apalagi dalam kondisi persepsi tentang pendidikan di Indonesia masih beragam. Tujuan masih berbeda dan sistem pendidikannya masih output oriented. Kalau sistem sudah dirubah menjadi proccess oriented, menghargai kelebihan Individu anak didik dan para guru sudah tidak lagi meributkan apa yang didapatkan tetapi apa yang bisa didedikasikan, itulah titik awal kualitas pendidikan kita akan lebih baik. Kapan? Ah semoga tak lama lagi.
0 komentar:
Posting Komentar