Jumat, 29 November 2013

DPK Habis Untuk Anggaran Rutin Kelembagaan Di Kelurahan

Disaat pembahasan berbagai anggaran yang hampir kesemuanya naik, rupanya ada salah satu alokasi anggaran di Pemerintah Kota Surakarta yang tetap. Anggaran tersebut adalah Dana Pembangunan Kelurahan (51 Kelurahan) yang bersifat hibah diperuntukkan bagi masyarakat. Jumlah keseluruhan alokasi DPK di 51 Kelurahan tersebut sejak 3 tahun lalu sebesar Rp 9 M dan nampaknya Tahun 2014 akan tetap sama saja. Masyarakat kurang terorganisir dalam menyampaikan aspirasi terkait hal ini. Padahal sebelumnya sudah pernah muncul wacana pemberian seragam Ketua Rt dan Rw yang nominalnya cukup besar.

Memang kebutuhan pembiayaan jauh lebih penting misalnya meningkatkan alokasi PKMS Silver dari Rp 2,5 juta menjadi Rp 5 juta dan kategori Gold menjadi Rp 7 juta (dari Rp 5 juta). Belum lagi wacana cek darah 1 tahun sekali disertai general cek up. Belum ditambah adanya alokasi PKMS bagi kalangan Posyandu. Wacana ini memang penting dan amat dibutuhkan. Namun sudah sejak Walikota dijabat Ir Joko Widodo, banyak program yang bersifat fisik serta dipermukaan. Nampaknya hal ini tidak menjadi isu penting bagi masyarakat terutama para Faskel, LPMK maupun aktivis kelurahan lainnya.

Sedangkan bila dilihat dari skema atau postur APBD, peningkatannya cukup signifikan. Prosentase kenaikan PAD tahun 2013 ini mencapai 27 persen (dari Rp 189 M menjadi Rp 262 M). Sedangkan SILPA kurun 2 tahun tersedia cukup besar bahkan melebihi DPK rutin yaitu Rp 46 M (2012) dan Rp 54 M (2013). Bisa jadi Hadi Rudyatmo selaku Walikota tidak mau menggunakan DPK menjadi alat politik. Tetapi sebenarnya hal ini sah-sah saja karena dia memiliki wewenang serta yang memanfaatkan DPK semua orang (alias semua partai politik). Ini bisa dijadikan bantahan argumen bila Rudy sebagai policy maker dituduh mempolitisasi APBD.

Koridor Ngarsopuro ditata dengan APBD
Disisi lain, Tahun 2012 lurah-lurah juga sudah mendapatkan kendaraan dinas baru. Padahal makin lama alokasi DPK selain value berkurang, alokasi yang lain kian terbebani. Ada berbagai kelembagaan bentukan Pemkot yang alokasi kegiatannya dimintakan ke DPK. Sebut saja dengan KLA, Posyandu, Honor Rt dan Rw, GWJB, Pokdarwis serta lainnya. Di Tahun 2014 mendatang, masih menjadi perdebatan tentang penghentian PNPM, bisa jadi mekanisme penganggarannya akan masuk di DPK. Tentu lebih memberatkan beban DPK.

Maka dari itu, sudah saatnya Walikota meningkatkan alokasi anggaran DPK terlebih kemampuan APBD Surakarta cukup mumpuni. Pencatatan SILPA di APBD setidaknya 2 tahun belakangan sebesar puluhan miliar itu sangat disayangkan. Wakil rakyat juga kurang keras mendorong SILPA yang lebih rasional misalnya dikisaran angka Rp 20an miliar saja. Kalau lebih dari jumlah itu, patut dipertanyakan kinerja TAPD. Birokrasi telah melakukan anggaran sejak negara ini berdiri dan pengalaman mengalokasikan anggaran semestinya menjadi pembelajaran penting.

Elemen masyarakat seperti Rt, Rw, PKK, Karang Taruna, Faskel, LPMK, Pokdarwis dan lainnya bisa menyuarakan secara bersama. Penguatan analisa anggaran pada elemen-elemen masyarakat ditingkat kelurahan harus diupayakan kembali sehingga alokasi anggaran daerah bisa dimanfaatkan dengan baik. Salah satu sisi positif ditingkatkan DPK yaitu mengurangi alokasi bagi dana aspirasi yang memang regulasinya tidak jelas. Jadi, berani tidak pak Rudy menaikkan anggaran?

0 komentar:

Posting Komentar