Hampir setiap tahun menjelang pengesahan anggaran diberbagai wilayah muncul usulan dana aspirasi. Padahal yang namanya dana aspirasi ini tidak pernah termaktub dalam regulasi apapun. Ini pemaknaan sesat wakil rakyat. Seperti diketahui fungsi legislatif ada 3 yakni legislasi, pengawasan dan anggaran. Sayangnya kata "anggaran" ini dimaknai sebagai hak mendapatkan anggaran bukan fungsi. Inilah sesat pikir yang terus dipelihara hingga saat ini.
Dijelaskan fungsi anggaran yaitu untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap RUU APBN/D yang diajukan Presiden atau kepala daerah. Pemahaman yang sepotong ini kemudian dipolitisir bahwa mereka berhak mendapat anggaran untuk dialokasikan ke dapil mereka memenuhi usulan warga meskipun yang melaksanakan SKPD. Titik beratnya adalah penentu program dan kegiatan ada pada wakil rakyat. Hal ini tentu melanggar UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
Dalam UU No 25/2004 disebutkan segala program perencanaan pembangunan disusun berdasar Musrenbang dan diajukan secara bertahap sesuai dengan tingkatan. Yang masuk dalam prioritas itu akan dianggarkan oleh SKPD. Jadi tidak ada klausul usulan yang tidak masuk prioritas bisa diajukan langsung ke SKPD melalui DPRD. Sesat pikir ini turut melanda DPR RI ditahun 2010 yang menginginkan ada dana aspirasi sebesar Rp 15 miliar/tahun/anggota. (sumber 1, 2, dan 3)
Bahkan apabila ditotal dana aspirasi itu dialokasikan tersendiri untuk 560 anggota DPR jumlahnya menjadi Rp 8,4 triliun. Lantas bagaimana mekanisme pengawasannya. Sesat pikir ini tidak sekedar melanggar UU No 25/2004 namun juga rawan penyelewengan. Siapa yang bisa mengontrol pemenang tender proyek tidak memberi fee pada yang mengajukan anggaran? Tugas anggota legislatif pasca pengesahan anggaran itu mengontrol pembangunan, crosscek, dan meminta keterangan bila ditemukan kejanggalan. Bila disibukkan dengan mengusulkan program, waktu akan tersita banyak memverifikasi proposal.
Belum lagi bila rencana program juga diusulkan di tingkat II, I atau pusat. Sebut saja kegiatan disetujui oleh Bupati, apakah pemerintah propinsi atau pusat sempat memverifikasi tiap program yang diajukan? Bagaimana bila kementrian ketika akan mengimplementasikan program ternyata sudah dikerjakan oleh daerah? Anehnya di Sukoharjo soal dana aspirasi ini menjadi perdebatan sengit antara wakil rakyat dengan bupati. Anggota dewan meminta Rp 500juta namun Wardoyo bersedia memberi hanya Rp 300 juta.
Disisi lain, masyarakat yang tidak faham juga kurang mendapat pencerahan baik dari kalangan dewan maupun jajaran birokrasi. Harusnya mereka bisa menjelaskan bahwa prosedur pengajuan program tetap harus melalui Musrenbang karena itu jalan satu-satunya yang konstitusional terkecuali memang force majeur alias kegentingan. Untuk alokasi kegentingan sudah ada anggarannya tersendiri yang biasanya dimasukkan dalam pos Anggaran Tak Terduga.
Hendaknya mulai disosialisasikan dan pemerintah serta legislatif bersikap sama. Keuntungan menjalankan sistem sesuai aturan membuat tiap elemen akan fokus pada pekerjaannya. Silahkan masyarakat kalau mau potong kompas pengajuan usulan tidak masalah tetapi akan ditindaklanjuti oleh wakil rakyat saat rapat pembahasan anggaran. Apakah program tersebut diusulkan eksekutif atau tidak. Di forum itu bisa dikupas kenapa program tidak diprioritaskan. Jadi, hentikan sesat pikir tentang dana aspirasi ini.
Karena proses Perencanaan dengan Penganggaran dipisahkan. DPRD memiliki hak budget, sehingga merasa memiliki kewenangan untuk potong2 anggaran SKPD buat menambah dana aspirasi. Jadilah proses tawar menawar antara KDH & TAPD dengan anggota DPRD saat pembahasan APBD. Kalau masyarakat tahu kelakuan anggota DPRD pasti akan komentar bubarkan DPRD sekalian parpolnya.
Nice post