Kamis, 21 November 2013

Memudarnya Nama Kampung, Lenyapnya Sejarah

Kemajuan era globalisasi memang banyak bermanfaat bagi manusia meski banyak yang tak seiring sejalan. Ada banyak konsekuensi logis dari kemjuan jaman diantaranya tradisi, bahasa, lingkungan hingga makin kaburnya sejarah. Di Jawa lebih khusus di Solo banyak lokasi memiliki nama yang memang terkait sejarah secara kental. Tetapi dikarenakan secara administratif menggunakan jenjang yang tidak sama otomatis penyebutan nama kampung secara perlahan bergeser. Secara administratif, pola pikir masyarakat ikut terstruktur mulai dari Rt, Rw, kelurahan dan lain sebagainya.

Padahal di Solo cukup banyak penamaan kawasan berdasarkan sisi kesejarahan yang tidak saja cukup diketahui melainkan juga dipelihara. Artinya ada beragam tradisi yang kadang mengiringi kehidupan kampung yang kini sudah banyak terhapus. Akibatnya berbagai even kebudayaan turut pula tergeser makna maupun aplikasi lapangannya. Bisa dilihat di sekaten (dari kata syahadatain) yang kini cuma berisi mainan anak, judi dan pertunjukan musik. Sementara aslinya perayaan sekaten penuh nuansa agamis yang mengikutsertakan siraman rohani.

Memelihara kebudayaan bukan hanya dengan pawai, arak-arakan atau karnaval semata. Lihatlah berbagai even yang diadakan pemerintah kota Solo lebih mengandalkan keramaian berkeliling. Yang menjadi unggulan Solo Batik Carnival walaupun tidak ada yang salah dengan itu. Tetapi semestinya berbagai ajang kesenian memiliki kesejarahan cukup kental dan mampu memancarkan nuansa kebudayaan yang menyebarkan nilai-nilai kebaikan. Biasanya tradisi Jawa yang adiluhung selalu menyelipkan nilai-nilai maupun pembelajaran yang baik.
Kawasan Benteng Vastenberg

Beberapa kesenian atau perayaan kebudayaan yang memiliki sejarah yaitu peringatan Apem Sewu, Grebeg Sudiro, malam 1 suro dan beberapa lainnya. Sampai saat ini berbagai even itu masih belum cukup dalam menyampaikan pesan selain berupa keramaian semata. Oleh sebab itu, penting kiranya Pemkot Surakarta menggalakkan kembali penggunaan nama kampung selain secara administratif. Kesejarahan itu pasti memiliki nilai dan akan mampu menggerakkan masyarakat untuk bertradisi baik.

Penamaan Lawiyan, Gajahan, Kemlayan, Kartopuran dan masih banyak yang lainnya itu mengandung makna sangat dalam. Berkembangnya sebuah kota juga menggeser tempat tinggal tokoh yang mengerti sejarah, menghancurkan situs (bisa berupa rumah kuno, benda bersejarah maupun hal lain) serta efek yang lain. Joko Widodo pernah mengutarakan Solo dengan slogan Solo Future is Solo Past. Tanpa mengembalikan penamaan kampung tentu kata-kata Jokowi itu hanya makna yang dangkal. Pengembalian penggunaan nama kampung secara psikologis akan menggerakkan penduduk menjadi penjaga kebudayaan.

Pengembalian nama kampung harus dilakukan secara perlahan dengan mencari kesejarahan, mencatat, menandai serta mengembangkan dan menyesuaikan dengan kondisi kekinian. Tidak ada yang menyatakan majunya kota yaitu dengan jumlah mall atau hotel yang banyak melainkan kesejahteraan warga telah tercapai. Mengembalikan nama kampung sebenarnya mengembalikan masyarakat Surakarta ke dalam jati dirinya. Banyak stakeholders yang bisa dilibatkan dalam upaya-upaya pengembalian nama kampung. Termasuk mengembalikan segala hal baik fisik maupun kebudayaan pada asalnya walaupun untuk melakukan semua itu butuh proses.

0 komentar:

Posting Komentar