Sebenarnya bukan tak yakin, bimbang atau ragu namun tidak cukup yakin Pemerintah dapat mengurangi tingkat kemiskinan meski berbagai program sudah disalurkan. Sejak mulai penentuan indikator kemiskinan, variabel, personal yang dilibatkan pendataan hingga distribusi program tidak sesuai dengan kondisi masyarakat. Terbukti dari berbagai program ketika disalurkan ke daerah selalu menimbulkan polemik, kekisruhan maupun gugatan dari masyarakat. Mulai dari tidak tepat sasaran, penerima tidak ada hingga tidak sedikit PNS maupun anggota TNI/Polri menerimanya.
Data kemiskinan yang saat ini dijadikan patokan menyalurkan berbagai bantuan disusun berdasarkan ketentuan 23 indikator oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Kemudian pelaksanaan survey dikerjakan Badan Pusat Statistik hingga entry data. Sedangkan pengolahan data dilakukan langsung oleh TNP2K. Data inilah yang menjadi penentu bagi penyaluran Jamkesmas dan Raskin. Model penentuan indikator secara nasional sendiri hemat penulis sudah tidak tepat dilakukan. Ada berbagai argumentasi yang melandasinya.
Sebut saja inflasi daerah, kondisi ekonomi, sosial, budaya dan masih banyak yang lainnya. Disisi lain pengelolaan anggaran oleh pusat (dan daerah tinggal mendistribusikannya) sungguh malah menambah parah karut marut penanganan kemiskinan. Selain Jamkesmas dan Raskin, banyak program yang disalurkan misalnya BOS, RTLH, PKH, BLSM. Anehnya kesalahan model begini kemudian ditiru oleh berbagai pemerintah daerah. Bukannya mengentaskan kemiskinan, justru kondisi daerah malah ruwet dengan penyaluran berbagai program tersebut.
Ilustrated |
Keruwetan ini makin parah dengan implementasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Sebab dana yang digunakan yaitu merupakan pinjaman World Bank yang pada Tahun 2015 sudah harus mulai diangsur/dicicil. Di tingkat daerah, PNPM juga merumuskan kriteria tersendiri. Maka dari itu guna membenahi berbagai problem pengentasan kemiskinan, pemerintah pusat harus mendekonstruksi pemikiran atas pengentasan kemiskinan. Langkah itu meliputi Pertama, Kebijakan tentang pengentasan kemiskinan secara nasional ditetapkan oleh pusat.
Artinya pemerintah tidak perlu membuat indikator secara detil. Misalnya indikator secara nasional saja ditetapkan namun daerah bisa mempertajam. Bila indikator penghasilan dimasukkan maka daerah harus menuliskan pada ambang batas berapa warga dikatakan miskin, hampir miskin atau sangat miskin. Atau tanggungan anak sekolah maka tiap daerah bisa menentukan kriteria berapa anak yang bisa dirumuskan menjadi kriteria lokal.
Kedua, melakukan koordinasi dan monitoring pada level propinsi yang selama ini dalam konteks pengentasan kemiskinan sering dilewati begitu saja. Optimalkan peran Pemprop untuk mengkonsolidasikan kebijakan di daerah. Sehingga peran propinsi yang selama ini seakan-akan tidak ada bisa dimanfaatkan. Ketiga, pusat mendistribusikan anggaran langsung ke daerah untuk dikelola dengan rumusan-rumusan tertentu. Yang perlu diperhatikan dalam pembuatan rumusan tersebut yakni bisa tertib waktu penetapan APBD, jumlah warga miskin, jumlah siswa sekolah, jumlah RTLH atau yang lainnya.
Keempat, evaluasi dilakukan secara bersama dengan susunan tim dari pusat dan propinsi. Artinya TNP2K dan TKPKD Propinsi melebur untuk secara rutin ke daerah melakukan evaluasi. Evaluasi dilakukan secara partisipatif dengan TKPKD Kabupaten/kota. Harapannya, mendesentralisasikan berbagai bantuan pengentasan kemiskinan dilakukan langsung oleh pemerintah kabupaten/kota. Hal ini juga mengurangi kekisruhan perbedaan data yang kerap terjadi.
0 komentar:
Posting Komentar