Senin, 02 Desember 2013

Undang-Undang Desa dan Syarat Penting Sebelum Disahkan

Berbagai kabar berhembus menjelang pergantian Tahun 2013 ke Tahun 2014 ini. Selain akan memasuki tahun politik, suhu meningkat dengan dikabarkannya akan segera disahkan Rancangan Undang-Undang Desa. Salah satu topik penting dalam pembahasan RUU Desa yaitu adanya alokasi desa 10 persen dari APBN yang bila dikira-kira tiap desa akan mendapatkan Rp 800 juta hingga Rp 1 milyar. Sebuah jumlah yang fantastis karena masih banyak birokrasi yang hanya sanggup mengelola dana hanya puluhan juta saja. Hal ini bukan berarti menegasikan bahwa perangkat desa tidak mampu.

Selain itu masih ada soal masa jabatan kades serta periodisasi kades dan berbagai polemik lainnya. Dua tahun belakangan isu ini menjadi menarik karena mayoritas masyarakat memang tinggal di desa. Selama ini perspektif umum tentang desa adalah pelosok, ketinggalan jaman, infrastruktur tidak memadai dan berbagai kelemahan lainnya. Selama ini memang desa tidak cukup mendapat alokasi yang adil dari pemerintah daerah. Kementrian Dalam Negeri juga belum pernah mengeluarkan evaluasi secara nasional implementasi ADD. Maklum saja, berbagai kementrian terlalu banyak beban anggaran yang tidak pada tempatnya.

Untuk menghadapi rencana pengesahan RUU Desa, mari coba kita bedah lebih jelas bagaimana menyikapi RUU ini. Ada 4 persoalan penting yang harus tuntas sebelum pengesahan undang-undang yang diinisiasi secara massif oleh Budiman Sudjatmiko ini. Keempat persoalan tersebut yakni sisi negatif, sisi positif, sugesti serta tantangan yang harus dipikirkan secara matang. Tanpa mampu menjawab 4 persoalan besar ini, blunder kedua negara ini akan terulang. Entah disepakati atau tidak, blunder terlalu cepat menerapkan otonomi daerah tahun 1999 itu jelas dan diakui penggagasnya, Ryas Rasyid.

Ada beberapa aspek negatif yang harus dikaji secara jeli sebelum penerapan RUU ini. Dengan kondisi sekarang saja ada kepala desa melarikan anggaran PBB, Akta Tanah, bermain pada tukar guling aset desa dan lainnya. Di proyeksikan dengan undang-undang ini bisa jadi korupsi ditingkat desa akan marak. Belum lagi tuntutan pemekaran desa yang bisa berujung konflik. Siapa yang tidak tergiur dengan alokasi Rp 800 juta - Rp 1 Miliar setahun? Kalau saja penduduknya hanya 500 jiwa, bukankah tiap orang bisa mendapat uang Rp 2juta/tahun. Kalau 1 KK ada 4 orang bukankah bisa mendapat Rp 8 juta?.

Bisa jadi kemudian desa mengalokasikan anggaran yang tidak dibutuhkan seperti LCD, kulkas, AC dan lainnya. Apa manfaat LCD dengan pertemuan ditingkat desa yang jarang? Atau alokasi membeli mobil dinas. Beberapa kelurahan akan meminta statusnya beralih ke desa, munculnya banyak makelar proyek dan dengan anggaran sebesar itu maka pengawasannya akan minim. Meski demikian sisi positifnya cukup terbuka yaitu akan menahan laju urbanisasi penduduk, kondisi desa bisa lebih maju, ekonomi desa akan tumbuh dengan pesat dan dampak lain.

Oleh sebab itu penting kiranya memagari atau memberi rambu-rambu sebelum regulasi ini ditetapkan. Isu Undang-undang desa ini sangat penting dan baik. Bila ditangani tidak serius akan menimbulkan bangunan otonomi semakin rapuh. Yang terpenting untuk dipikirkan (sugesti) yakni sebaiknya besaran alokasi tidak sama rata tiap desa. Harus ada indikator yang terstruktur secara jelas. Pun demikian alokasi ditiap propinsi maupun daerah. Kemendagri harus menetapkan alokasi rerata tiap desa mendapat berapa dan ditambah variable yang akan dijadikan alokasi tambahan.

Misalnya tentang inflasi, kondisi geografis, kemiskinan warga, akses ke pusat pemerintahan, kondisi sumber daya alam dan banyak lainnya. Variable di level nasional inilah yang menjadi penentu alokasi ADD ditiap daerah kabupaten. Nantinya di kabupaten bisa jadi ada perhitungan tersendiri misalnya kontribusi PBB, tertib administrasi, ketepatan penyusunan APBDes dan lainnya. Sehingga tidak otomatis alokasi dana ke desa langsung disalurkan dari Kementrian Keuangan pada rekening desa. Penerapan anggaran ke desa juga sebaiknya bertahap dengan pra syarat sistem monitoring dan evaluasi harus telah selesai terlebih dahulu di tingkat kabupaten.

Bagi wilayah (kabupaten) yang sistem monitoring dan evaluasi belum selesai, maka alokasi desa tak bisa dicairkan. Sementara aspek tantangan yang dihadapi pemerintah, pengesahan UU ini bukan merupakan jualan poltiik. SBY harus benar-benar menyiapkan jurus jitu. Kemudian bagaimana PP dan Juklak Juknis distribusi anggaran bukan juklak juknis penggunaan. Sebaiknya juklak juknis penggunaan anggaran diserahkan ke daerah sebagai salah satu syarat mencairkan anggaran desa. Termasuk adanya klausul di UU No 32/2004 bahwa otonomi itu ditingkat kabupaten/kota bukan di desa. UU ini akan rawan kepentingan dan bisa digugat lawan politik.

Bagi penulis, menyarankan kalangan eksekutif dan legislatif bahwa pengesahan bisa saja dilakukan Januari 2014 seperti dalam rencana. Namun cantumkan saja tahap yang harus dipersiapkan dengan tahapan serta syarat yang harus dipenuhi tiap tahunnya secara jelas dan bisa berlaku penuh di 2019 (5 tahun mendatang). Alokasi ke desa bisa dimulai dengan prosentase yang bertahap juga sembari memonitoring dan mengevaluasi pelaksanaanya. Sebab ide ini cemerlang namun tidak berarti secara totalitas bisa diterapkan langsung. Kita semestinya banyak belajar dari berbagai kasus korupsi kepala daerah pasca otonomi.

Eh bagaimana nasib ADD pasca undang-undang ini disahkan?

0 komentar:

Posting Komentar