Dalam Permendiknas tentang Juklak Juknis BOS selalu dituliskan tentang pentingnya transparansi, keterlibatan orang tua siswa, larangan pungutan dan berbagai catatan lain. Sayangnya regulasi ini hanya didapat oleh sekolah. Peran komite yang seharusnya diposisi orang tua siswa tidak cukup optimal menjalankan perannya. Cek di berbagai media internet, sulit menemukan komite sekolah yang memiliki peran signifikan sebagai penyeimbang informasi sekolah.
Siswa sekolah turut partisipasi pemecahan rekor jarik terpanjang |
Pungutan saat pendaftaran bisa beragam bentuk baik langsung maupun tidak langsung. Yang langsung misalnya biaya pendaftaran, jual formulir, stopmap. Yang tidak langsung jenis stopmap harus berlogo sekolah, formulir juga dibuat tersendiri, parkir kendaraan dan lainnya. Menjelang masuk sekolah juga ada pungutan bisa berupa uang gedung, uang seragam, infaq dan berbagai macam lainnya. Ketika pembelajaran sudah dimulai, akan ada tarikan seperti buku paket, LKS, uang kegiatan, piknik, sumbangan ini itu.
Diakhir tahun ajaran baik saat penerimaan raport atau kelulusan akan ada iuran kenang-kenangan, biaya piknik, fotocopy ijazah, sumbangan perpustakaan dan ragam bentuk lainnya. Semestinya berbagai pungutan ini makin berkurang atau bahkan hilang sama sekali. Kenapa? karena anggaran pendidikan sudah di support tiap level baik daerah, propinsi maupun pusat. Tiap tahun ketika APBD meningkat, otomatis alokasi anggaran juga bertambah. Meski demikian, diberbagai wilayah tetap saja sekolah mengenakan pungutan, iuran, sumbangan atau apapun labelnya.
Indonesian Corruption Watch (ICW) pada tahun 2013 merilis satu dasa warsa upaya pemberantasan korupsi di sektor pendidikan. Ternyata hasilnya cukup mencengangkan yakni penegak hukum mampu menindak 296 kasus sektor pendidikan dengan indikasi kerugian negara mencapai Rp 619 Miliar. Sebuah jumlah yang tidak sedikit. Bila jumlah itu yang bisa ditindak, artinya bisa ribuan kasus dengan potensi kerugian negara yang jauh lebih besar.
Tercatat ada 151 Dinas Pendidikan yang melakukan tindakan itu dengan potensi kerugian negara mencapai Rp 356 M. Bagaimana tidak, sebut saja 1 elemen tentang gedung rusak pasti daerah menganggarkan namun juga berupaya mendapat alokasi dari propinsi. Disisi lain, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan mengalokasikan proyek berupa Dana Alokasi Khusus untuk perbaikan sekolah rusak. Tumpang tindih ini yang rawan terjadi double anggaran atau proyek.
Sebaiknya Kementrian Pendidikan fokus pada 3 hal besar yakni sistem pendidikan, peningkatan kualitas guru serta kurikulum. Sementara soal bantuan siswa, sertifikasi, pembenahan fisik diserahkan ke daerah dengan komponen perhitungan tersendiri. Buat saja sistem untuk mengkalkulasi proporsi jumlah sekolah dengan potensi perbaikan atau kebutuhan pendirian sekolah baru misalnya. Terapkan juga reward dan punishment bila terjadi pelanggaran. Sehingga Kemendikbud tidak berkutat pada hal teknis, masak anggaran trilyunan masih mengurusi bansos senilai Rp 25 juta/sekolah.
0 komentar:
Posting Komentar