Pilkades Desa Dlingo Kecamatan Mojosongo Boyolali menuai kontroversi. Calon tunggal yang ditarungkan dengan kotak kosong akhirnya memenangkan pertarungan. Meski demikian, suara-suara miring mengikuti kemenangan sang incumbent.Dan akhirnya si calon yang bernama Tahanta dilantik menjadi Kepala Desa Dlingo untuk 6 tahun mendatang. Pertarungan tidak hanya berlangsung satu babak namun hingga ronde kelima yang sebenarnya secara moral sudah tidak legitimate. Ada penilaian, pertarungan tetap dilangsungkan karena Perda tidak mengatur pembatalan alias tetap ditarungkan hingga si calon terpilih.
Bagaimana bisa begitu? Harusnya dengan situasi demikian Pemkab melihat secara jernih bahwa ada masalah atas demokrasi yang berlangsung di Boyolali. Selama ini terbukti track recordnya sudah negatif di masyarakat namun rupanya dengan berdalih tidak diatur oleh Perda maka pemilihan tetap berlangsung sampai kapanpun. Kalau begitu, bila lawan kotak kosong, langsung tetapkan saja pemenangnya calon tunggal. Buat apa tetap dilangsungkan Pilkades? Masyarakat harus mendorong legislatif merevisi Perda agar kejadian ini tidak terulang kembali.
Suara sumbang kejadian ini yang mengikuti yakni Tahanta didukung penuh oleh Bupati sehingga menghabiskan biaya berapapun akan tetap didukung. Nada negatif lainnya yakni, para tersangka pelaku perusakan kantor desa tidak akan diproses selama Tahanta menang pada pemilihan kepala desa yang kelima kalinya. Pada pemilihan kades keempat kalinya memang sempat terjadi perusakan kantor desa dan polisi mengusut kasus itu. Sudah ada beberapa warga yang ditangkap dan akan diproses namun dengan bergaining, akhirnya kasus ini menguap.
Dalam pilkades ke V, sebenarnya suara Tahanta masih kalah dengan abstain yakni 1.030 suara berbanding 1.778 orang yang tak memberikan suara. Sedangkan kotak kosong hanya mendapat 66 suara saja dan suara rusak sebanyak 122. Padahal sebelumnya suara yang diraih kotak kosong selalu diatas 1.200. Bagi masyarakat tentu hal ini kejadian yang tidak wajar. Entah apa yang ada dibenak Tahanta untuk tetap melaju bertarung dan tidak mengundurkan diri.
Dalam Pilkades I, perolehan suara Tahanta sebanyak 1.142 kalah dengan kotak kosong yang merebut 1.378 suara. Sementara perolehan di Pilkades kedua, Tahanta memperoleh 1.049 dan kotak kosong naik menjadi 1.380. Pada Pilkades ketiga kalinya, perolehan incumbent makin merana tidak sampai seribu (893) sedangkan kotak kosong tetap tinggi (1.358). Demikian pula pada Pilkades keempat hanya 889 suara perolehan Tahanta sementara kotak kosong masih 1.240.
Bagi masyarakat atau individu yang memiliki moral jernih, tentu kekalahan ini memberi signal bahwa mayoritas warga sudah tidak menghendaki. Rupanya pensiunan PNS Kota Solo melihatnya sisi lain yakni dia masih dipilih oleh warga. Kejadian perusakan balai desa mampu diolah dan dijadikan senjata untuk mematikan kotak kosong sehingga dalam Pilkades kelima, perolehannya tidak sampai 100 suara. Otomatis Tahanta dinyatakan menang.
Kejadian ini perlu menjadi pembelajaran penting bagi pemerintah kabupaten lain agar regulasi yang diterapkan tidak merugikan masyarakat secara umum. Bagaimana nasib warga yang tidak memilih Tahanta? Mustahil Tahanta tidak mengetahui siapa saja yang jadi lawan politiknya. Apakah akan dilayani dengan baik sebagai warga atau akan didiskriminasi? Untuk mengembangkan demokrasi, tentu hal ini menjadi signal yang kurang positif.
Pendidikan politik pada masyarakat harus berjalan dengan jernih. Bila kemenangan diraih dengan segala cara maka masyarakat akan mencontoh bagaimana mendapatkan keinginan dengan segala cara juga. Wakil rakyat sebagai kekuatan politik perlu campur tangan membenahi regulasi bukan malah beropini atau membiarkan saja kejadian ini. Mereka pun punya tanggungjawab moral dan teknis agar penyelenggaraan Pilkades ke depan bisa jauh lebih baik.
0 komentar:
Posting Komentar