Minggu, 25 Agustus 2013

Mempertanyakan Kapasitas Anggota KPU 2013

Pemilu memang masih 1 tahun lagi dan kini masa kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) Daerah menjelang berakhir Oktober mendatang. Maka dari itu diberbagai daerah sedang dilakukan seleksi anggota KPU masa bakti 2013 - 2018. Mereka akan menjalani seleksi oleh sebuah tim independen yang dibentuk oleh KPU diatasnya. Untuk KPUD Kabupaten/Kota maka tim seleksi dibentuk oleh KPUD Propinsi. Di Eks Karesidenan Surakarta sejak akhir Agustus telah memulai proses tersebut.

Sayangnya dalam proses perekrutan anggota KPU, secara administratif, kapasitas maupun integritas ditemukan beberapa kelemahan. Padahal anggota KPU akan menjadi penyelenggara demokrasi sehingga kapasitas mereka harus benar-benar teruji serta mumpuni. Dalam syarat administratif, persyaratan bagi pendaftar patut dipertanyakan. Dalam brosur/aturan yang dikeluarkan KPU (disini) kita bisa kaji satu persatu dari persyaratan yang diminta.

Pertama, mempunyai integritas, pribadi yang kuat, jujur dan adil (syarat no 4). Klausul integritas ini harus ada parameter dan bukan sekedar dituangkan didalam rekam jejak data diri. Sebab siapapun pendaftarnya tidak mungkin menuliskan hal-hal yang negatif tentang dirinya. Kemudian makna pribadi yang kuat ini seperti apa? Kuat fisik, kuat ekonomi, kuat pemikiran atau kuat yang bagaimana? Menilai kapasitas seseorang jujur dan adil pun menjadi pekerjaan tersendiri.

Kedua, pendidikan minimal SLTA. Ditengah gencarnya kampanye pendidikan, bagaimana bisa syarat menjadi anggota KPU minimal hanya setingkat SMU? Kenapa KPU Pusat tidak berani mengeluarkan syarat pendidikan sarjana? Kan bila disebuah daerah lulusan S1 masih minim bisa diberlakukan khusus bukan malah yang mayoritas mengikuti daerah yang minoritas. Memang tingkat pendidikan tidak selalu menjadi ukuran, cuma persyaratan tambahan dari klausul ini tidak disebutkan mengikuti kalimat.

Ketiga, tidak pernah menjadi anggota partai politik atau sekurang-kurangnya dalam 5 tahun telah mengundurkan diri pada saat mendaftar dengan bukti surat keputusan pemberhentian dari pengurus partai politik yang bersangkutan. Siapa yang bisa memastikan pendaftar benar-benar sudah tidak aktif dalam 5 tahun? Bagaimana bila surat itu dibuat mundur?

Keempat, tidak adanya uji kapasitas kompetensi dibidang analisa. Memang benar calon anggota KPU diminta membuat makalah tetapi makalah tersebut tidak dikaji secara mendalam. Padahal bila melibatkan psikolog bisa dikaji bagaimana kapasitas seseorang. Menulis sering bisa dijadikan salah satu indikator mengetahui pola pikir seseorang. Apalagi KPU lebih banyak berkaitan dengan urusan yang cukup berat sehingga kapasitas seseorang yang matang sangat dibutuhkan.

Kelima, tidak jelasnya konsep merunut track record pendaftar. Memang ada waktu untuk pengaduan maupun dukungan terhadap 20 orang yang lolos tahap tes wawancara, psikologi maupun kesehatan. Bagaimana menyarikan pengaduan itu bukan karena dibuat-buat tetapi memang fakta lapangan. Tahap penerimaan aduan masyarakat inilah akan jadi rawan konflik. Sehingga tim seleksi harus mampu mengolah pengaduan secara bijak.

Keenam, transparansi hasil seleksi. Selama ini tidak pernah diumumkan secara resmi dari tiap tahapan kenapa si A lolos dan si B tidak. Hal ini penting agar dikemudian hari tidak timbul potensi gugat menggugat dari pendaftar yang tidak lolos. Bila Timsel memang bekerja secara independen, tentunya mempublikasikan hasil seleksi secara transparan menjadi keharusan.

0 komentar:

Posting Komentar