Tahapan Musrenbang yang dimulai dari musyawarah Rt, Rw, Kelurahan hingga tingkat kota kini sudah banyak berubah dengan sistem yang dulu dijalankan sekitar tahun 2001 - 2004. Perbedaan itu secara subyektif berdasarkan penilaian subyektif justru bergerak pada ranah "mematikan" partisipasi bukan malah membuka ruang partisipasi. Pendapat ini memang bisa didiskusikan lebih lanjut. Yang menarik apakah benar ini yang dimaui Walikota Joko Widodo yang senang mendengar ketika rakyatnya berbicara? Sepertinya ada yang memang merancang skema secara sistematis agar tidak begitu.
Pada Tahun 2001 - 2004, sebelum masuk ke Musrenbangkota ada yang namanya Focussed Group Discussion yang difasilitasi NGO atas permintaan Bappeda. NGO tersebut memang yang mendampingi komunitas sektoral yang rentan serta marginal. Komunitas itu terdiri dari 7 sektor seperti tukang becak, PKL dan pedagang asongan, pengamen dan anak jalanan, PSK, difabel, slum area dan parkir. FGD diadakan untuk menyerap aspirasi di internal komunitas tersebut. Hasilnya dibawa ke pertemuan dengan dinas yang memiliki kewenangan atau tupoksi yang sesuai.
Dalam pertemuan dengan dinas, terjadi diskusi, sharing, tukar gagasan baik bagi komunitas maupun dinas untuk menyamakan gagasan. Mana yang bisa dilakukan bersama dan mana yang tidak bisa ditangani oleh dinas. Setelah itu baru di Musrenbangkot, hasil pertemuan dengan komunitas dimasukkan dalam daftar usulan program dan dibahas dengan masyarakat. Meski demikian, perwakilan komunitas tetap ada di Forum Musrenbangkot. Sehingga ketika ada perdebatan, tidak hanya dinas yang menjawab (terkait usulan komunitas) namun juga komunitas bersangkutan.
Walikota Solo Saat Berbicara di Musrenbangkot 2012 (By Ardian Pratomo) |
Keberadaan mereka dalam pimpinan sidang sangat strategis sebab secara otomatis masuk dalam tim perumus untuk menyempurnakan hasil sidang Musrenbangkot. Tahun ini, meski ada perwakilan dari masyarakat tetapi titik keberangkatan mereka dari Forum SKPD. Selain itu, ditiadakannya sidang komisi menjadikan output Musrenbang minim semangat kebersamaan. Saya tidak cukup yakin banyak masyarakat mengetahui secara garis besar apa-apa saja yang menjadi usulan. Sebab dengan pengelolaan forum yang banyak membacakan hasil Forum SKPD, peserta Musrenbang tidak antusias mengikuti dengan seksama.
Pada Tahun 2001 - 2004, Musrenbangkot terbiasa dilakukan selama 2 hari dengan perdebatan yang sungguh mencerdaskan. Adu argumentasi, tukar pikiran, saran, gagasan tercurah dengan bebas dan bisa dimaknai sebagai forum yang mencerdaskan warga. Kalau sekarang hanya 1 hari dan hampir minim lontaran, bagaimana memaknai partisipasi? Tidak hanya kehadiran namun juga validasi atas usulan. Kalau begitu, kenapa pelaksanaan Musrenbangkot ditiadakan dan bahan dibagikan saja, bisa menghemat banyak anggaran.
0 komentar:
Posting Komentar