Pelaksanaan otonomi daerah sebagai konsekuensi implementasi UU No 22 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No 32 Tahun 2004 membawa perubahan di daerah. Sayangnya design desentralisasi yang dilakukan tak diikuti oleh kebijakan desentralisasi anggaran. Pemerintah pusat melalui berbagai kementrian masih banyak melakukan pengelolaan anggaran. Padahal tipologi berbagai kabupaten dan kota di Indonesia sangat unik dan berbeda baik yang ada di Jawa apalagi diluar pulau Jawa.
Aceh dan Papua merupakan propinsi yang memang mendapat alokasi khusus untuk anggaran otonomi khusus. Meski demikian, kenyataan yang bisa ditemui di dua wilayah ini masih saja belum cukup mengejar ketertinggalan dengan daerah lain. Disini yang patut dicatat kemajuan tidak diukur dari aspek fisik namun tingkat kesejahteraan masyarakat. Keberadaan mall, mobil mewah atau tingginya APBD bukan panduan bahwa sebuah daerah itu maju.
Lihat saja di Papua, Riau atau Kalimantan Timur banyak kabupaten dengan APBD diatas Rp 1,5 trilyun dan masih saja banyak masyarakat miskinnya. Lebih ideal bila pemerintah pusat hanya sebagai regulator dilanjutkan dengan monitoring serta evaluasi pelaksanaan program di daerah. Terutama untuk pelaksanaan urusan wajib yang diatur dalam undang-undang seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi dan lain sebagainya. Sehingga kabupaten/kota mampu mengkreasikan anggaran dari pusat sesuai kebutuhan mereka.
Sampai saat ini banyak kementrian yang mengelola anggaran dan mendistribusikannya ke daerah tidak berupa dana melainkan menangani program. Banyak bantuan sosial yang dirancang, dilaksanakan dan dievaluasi oleh kementrian. Sementara peran daerah (baca : kabupaten/kota) cukup memberi data dan mendampingi tim dari pusat. Dengan keragaman etnik, budaya, suku, geografis serta ragam lainnya tentu pelaksanaan daerah satu dengan yang lainnya berbeda.
Sebut untuk program BOS (Bantuan Operasional Sekolah) misalnya alokasi tiap siswa SD/SDLB sebesar Rp 580.000/tahun atau Rp 48.333/bulan/siswa dan siswa SMP/SMPLB/SMPT sebesar Rp 710/tahun atau Rp 59.166/bulan/siswa. Bagi siswa di Jawa mungkin dengan anggaran sebesar itu cukup namun bagaimana dengan yang diluar Jawa? Berbagai peralatan yang bisa dibelanjakan dengan anggaran ini tak akan mencukupi kebutuhan mereka.
Berdasar catatan dalam Nota Keuangan dan RAPBN Pemerintah Tahun Anggaran 2012, disebutkan ada 7 program kementrian yang didistribusikan ke daerah. Jumlah total anggaran tersebut bahkan mencapai Rp 52,9 trilyun. Bila ditambah program yang lain yang belum disebut seperti Jampersal, KUR, Subsidi Pupuk tentu bisa lebih besar dari angka itu. Dengan asumsi kabupaten/kota di Indonesia ada 530 daerah maka bila dibagi rata, tiap daerah bisa mendapat tambahan Rp 99, 8 M.
Tentu sebuah jumlah yang lumayan sebab banyak daerah melaksanakan program pendamping bagi sebuah kegiatan hanya sebesar belasan rupiah. Di Solo misalnya, alokasi Jamkesda (PKMS) hanya memerlukan Rp 20 M (Tahun 2011) yang artinya masih banyak sisa anggaran yang bisa dialokasikan untuk yang lain. Pastinya tidak akan dibagi rata dan pemerintah bisa merumuskan indikator pembagi. Daerah tentu akan lebih bisa mengoptimalkan penggunaan anggaran agar program tersebut berhasil.
Sudah saatnya pelaksanaan desentralisasi disertai dengan desentralisasi anggaran sehingga hasilnya lebih optimal. Tidak berada pada posisi yang tepat bila sebuah kementrian bahkan mengeluarkan aturan juklak dan juknis implementasi program. Bila hal itu masih terjadi, apa fungsi dinas atau SKPD di daerah? Mereka bertugas mensukseskan pelaksanaan program kepala daerah dan mereka bukan bawahan kementrian. Apalagi sudah banyak daerah dipusingkan dengan alokasi belanja pegawai yang nominalnya lebih tinggi dibanding DAU.
0 komentar:
Posting Komentar