Pemilihan Gubernur DKI pada Juli mendatang tentu menjadi moment yang menyedot perhatian masyarakat, tidak hanya di DKI tapi secara nasional. Maklum Jakarta adalah propinsi ibu kota dan problem sosialnya begitu kompleks. Tidak mudah menyelesaikan persoalan-persoalan yang membelit Jakarta karena sudah terlewat rumit untuk diurai satu persatu. Masalah mulai banjir, macet, PKL, kebakaran, kriminalitas dan beragam persoalan lain yang tak kalah peliknya.
Ketika masalah itu banyak, kenapa partai politik masih saja menyorongkan calonnya untuk bertempur jabatan Gubernur? Resiko kegagalan memenej ibu kota ada didepan mata. Termasuk salah satunya Fauzi Bowo yang pada saat kampanye dulu memasang tagline Serahkan Pada Ahlinya. Apa yang terjadi? macet, banjir, kebakaran, bentrokan masih saja terjadi. Sudah banyak masyarakat yang menyuarakan hal ini tetapi tak ada tindakan nyata.
Saking cueknya Foke (Fauzi Bowo), sang Wakil Gubernur Prijanto sempat mengundurkan diri sebagai pendamping Foke. Namun pengajuan itu kemudian ditolak oleh DPRD Jakarta. Kini Foke kembali mencalonkan diri dari Partai Demokrat. Salah satu pesaingnya yakni Joko Widodo yang saat ini menjabat Walikota Surakarta, memiliki track record cukup baik dibidang pemerintahan. Banyak yang menyatakan sebetulnya Jokowi menyelesaikan tugas sebagai walikota baru bersaing untuk jabatan lain. Ada juga analisa, tentang sulitnya mengatur Jakarta, Solo dan Jakarta berbeda dan beragam analisa lain yang ujung-ujungnya tidak menghendaki Jokowi turut bertarung di Jakarta.
Ada beragam analisa dari banyak pakar tentang latar belakang Jokowi maju sebagai calon gubernur dari PDIP dan Gerindra. Saya memiliki beberapa analisa kenapa dia berniat bertarung memperebutkan jabatan DKI 1. Pertama, Solo sudah tak menantang lagi bagi dirinya. Pasca relokasi PKL Tahun 2004 sudah tidak ada program yang menarik dan besar untuk dia selesaikan. Yang ada sekarang hanya inovasi-inovasi biasa yang mudah dilakukan siapapun seperti penataan pasar tradisional, membatasi mall berdiri, PKMS, BPMKS dan lainnya. Toh banyak daerah punya program sejenis.
Disamping itu, banyak masyarakat miskin di Jakarta yang butuh sentuhan pemimpin yang benar sebab selama ini mereka banyak diabaikan, tidak didengar dan selalu mendapat dampak dari pembangunan yang dilakukan serta hanya menguntungkan kalangan berduit saja. Kedua, dalam berbagai kesempatan sebelum dicalonkan PDIP, dia menyatakan Tidak akan mencalonkan diri kecuali diberi tugas partai dan bersedia hanya untuk calon gubernur. Pernyataan yang membuat Ketua Umum PDIP terpojok dan itu bisa dilihat menjelang batas akhir pendaftaran, Megawati tak mengeluarkan statement apapun terkait DKI 1.
Sikap Joko Widodo mengandung 3 makna yakni a) pencalonan kepala daerah merupakan kewenangan partai politik, sehingga ketika partai mengajukan seorang calon ya harus kadernya sendiri. bukan orang luar partai bahkan kader partai lain. b) Tiap kader partai harus siap ditugaskan sebagai apa dan dimana. Dia tidak berambisi, namun siap bila diberi tugas. c) kenapa Jokowi hanya mau dicalonkan sebagai gubernur? karena kursi PDIP di DPRD Jakarta ada 14 sementara syarat mengajukan calon gubernur memiliki 15 kursi. Dia ingin mendorong PDIP bersikap jantan, berani dan bertanggungjawab kepada konstituennya.
Ketiga, memberi pesan kepada kepala daerah lain bahwa ketika anda berhasil membangun daerah maka jangan berhenti disitu. Indonesia masih membutuhkan orang-orang yang memiliki visi untuk membangun negeri kaya raya ini. Lihat saja Gamawan Fauzi dan Alex Nurdin yang tidak hanya berhenti sebagai bupati namun berupaya bertarung ditingkat yang lebih tinggi supaya kebijakan yang dibuat bisa dirasakan orang lebih banyak lagi.
Keempat, mendidik masyarakat Solo untuk mengerti sebuah jabatan itu ada batas waktunya. Jokowi merasa masyarakat Solo mencintainya berlebihan dan ini tidak baik bagi kepala daerah sesudah masa jabatannya berakhir. Masyarakat tidak akan belajar untuk mandiri, mendukung kepala daerahnya, mensukseskan programnya. Toh kalau jabatan Gubernur bisa diraih, secara otomatis Hadi Rudyatmo sebagai Wakil Walikota akan menjadi Pelaksana Tugas (Plt). Bila tidak dididik sejak dini, Jokowi khawatir, pada 2014 saat masa jabatannya habis, masyarakat masih nggondeli.
Dari 4 argumentasi itu jelas bahwa niat Jokowi bertarung di Jakarta bukan membawa motif pribadi. Lebih banyak motif sosial yang dikembangkan agar kehidupan demokrasi di Indonesia berjalan sesuai jalurnya. Demokrasi di Indonesia masih banyak kelemahan dan perlu dibenahi tetapi tugas pembenahan itu sangat jarang dilakukan oleh partai politik. Maknailah niatan Jokowi seperti tulisan diatas. Silahkan yang mau mendukung atau menolaknya.
0 komentar:
Posting Komentar