Berbagai prestasi yang ditorehkan Jokowi di Solo telah membuka mata banyak pihak bahwa pola kepemimpinannya banyak mengundang simpati. Entah sudah berapa kali dia muncul di televisi maupun diberbagai seminar terkait terobosannya di daerah yang melambungkan namanya. Banyak pihak berkeyakinan bila peluang menjabat Gubernur DKI cukup terbuka lebar. Penanganan PKL, penataan kota, city branding adalah beberapa hal yang dicatat menjadi point positif meraih jabatan itu.
Berbagai kalangan seperti paguyuban warga jawa, pedagang, facebooker di Jakarta dan lainnya dikabarkan sudah menggalang dukungan. Pengamat, wartawan, politisi juga memunculkan analisis yang memungkinkan peluang itu diraih. Meski demikian, nampaknya kenyataan akan jauh dari harapan banyak pihak. Penulis berkesimpulan Jokowi tidak hanya menang namun dicalonkan saja tidak. Kenapa? berikut beberapa alasan yang melatarbelakangi kesimpulan itu.
Pertama, pencalonan kepala daerah terutama dari PDIP diberbagai daerah justru berasal bukan dari internal partai tapi dari pihak luar. Dulu, Jokowi menjabat Walikota pertama kali juga bukan merupakan orang PDIP. Sekarang dia sudah orang PDIP makanya peluang itu akan sangat tipis. Di kantong PDIP saja tidak mencalonkan orang dalam apalagi di Jakarta yang mayoritas pendukung PDIP tidak terdapat disana.
Salah satu sudut Kota Jakarta |
Kedua, Jokowi hingga hari ini menyatakan tak akan pernah mendaftarkan diri atau mencalonkan namun siap ditugasi. Maknanya dia berposisi menyerahkan pencalonannya kepada partai. Hal ini mengindikasikan bahwa bila diajukan atau ditugasi oleh partai maka biaya yang dikeluarkan akan ditanggung oleh Parpol bersangkutan. Yang menjadi pertanyaan, siapkah partai membiayai seluruh proses pencalonan hingga pemilihan nanti? Di DKI tentu biaya pemenangan seorang kandidat pasti akan sangat besar dan jika ditanggung oleh Parpol sepertinya tidak akan mungkin.
Ketiga, masa jabatan Jokowi masih 3 tahun lagi dan tipologi orang jawa pasti tidak akan tinggal glanggang colong playu alias tidak bertanggungjawab. Sebuah filosofi yang akan dipegang teguh oleh orang jawa tentunya Jokowi sendiri. Tidak adakah beban psikologis pada masyarakat Solo yang telah memilihnya demi mengejar jabatan lebih tinggi? Pengamat CSIS, J Kristiadi juga meragukan hal itu.
Keempat, tipologi masyarakat Jakarta adalah heterogen sehingga tidak mudah memetakan pendukung inti maupun swing voter. Jokowi tentu berhitung benar bila serius akan mencalonkan diri. Kalau akan kalah telak, dia pasti tidak akan mau meski partai menunjuknya. Di sisi lain, masyarakat betawi tentu menginginkan yang memimpin Jakarta adalah keturunan Betawi. Apa yang bisa di "jual" Jokowi agar mampu merebut simpati warga betawi?
Kelima, kompleksitas persoalan Jakarta lebih berat dibandingkan Solo. Problem macet, banjir, kebakaran, PKL, kriminalitas dan masih banyak lagi jauh lebih sulit ditangani. Hal ini berbeda dengan Solo yang masyarakat dan kondisi budayanya masih relatif terjaga. Ada perumpamaan bahwa masyarakat Jawa itu bila "dipangku mati". Artinya bila kita mampu menyentuh hatinya maka segala yang dilakukan akan mendapat dukungan penuh dari masyarakat.
Keenam, penentu calon yang akan diajukan di PDIP terletak ditangan Ketua Umum yakni Megawati Soekarnoputri. Meski selama ini hubungan Ketua Umum PDIP dengan Walikota Solo relatif lancar, hal itu tidak menjamin lancarnya proses pencalonan di internal partai. Di politik, apa yang terjadi kadang tidak sebagaimana apa yang dipersepsikan.
Setidaknya kelima point tadi yang diyakini bakal menghadang pencalonan Jokowi sebagai Calon Gubernur DKI 2012 - 2017 mendatang. Sehingga kemunculan nama Jokowi dalam tahap penggodokan calon merupakan test case atau cek sound sekaligus konsolidasi pemilih untuk memetakan suara masyarakat DKI. Lihat saja nanti yang terjadi, bukan Jokowi yang akan dicalonkan melainkan Fauzi Bowo meski si "ahli" ini tetap tak mampu menangani beragam masalah pada periode pertamanya.
0 komentar:
Posting Komentar