Selasa, 28 Februari 2012

Kota Solo Ramah Difable (?)

Pada dasarnya manusia dilahirkan dan berkedudukan setara. Tidak boleh ada pembedaan perlakuan atas manusia satu dengan yang lainnya baik itu dengan alasan suku, ras, agama atau golongan. Demikian juga kondisi fisik atau dikenal dengan Diffable (different ability/kemampuan berbeda). Meski istilah ini sudah lama digunakan namun masih belum cukup familiar. Masyarakat awam masih saja suka menyematkan kata cacat pada kaum diffable.

Salah satu penyebab labelisasi cacat ini karena pemerintah belum pernah merubah kebijakan secara nasional atas ini meski sudah meratifikasi konvenan tentang hak ekosob maupun tentang HAM. Akibatnya perlakuan terhadap mereka masih saja diskriminatif. Ribuan cerita atas kehidupan mereka menambah daftar panjang kesalahan pemerintah yang tak kunjung diperbaiki. Berbagai program yang diluncurkan pemerintah pada komunitas difable lebih banyak karitatif dan bukan memberi kail.

Lihat saja berbagai bidang yang ada, selalu diskriminatif dan tak membuka peluang yang sama atas mereka. Pendidikan, ekonomi, budaya, politik dan sektor lainnya. Akibatnya komunitas difable secara permanen harus menanggung akibatnya. Salah satu kota yang mendeklarasikan ramah difable yakni Solo Jawa Tengah yang berupaya terbuka bagi siapa saja. Salah satu implementasinya adalah memberi ruang pada proses perencanaan.
Paving Pemandu Tuna Netra Yang Membahayakan dan Membingungkan

Disisi lain, terbitnya Perda nomor 2 Tahun 2008 Tentang Kesetaraan Warga Difable sebenarnya memberi secercah harapan perlakuan yang manusiawi. Beberapa fasilitas publik harus memiliki aksesibilitas bagi seluruh masyarakat tidak hanya masyarakat biasa namun familiar bagi difable. Meski sudah 4 tahun diberlakukan kenyataannya masih jauh dari harapan. Berbagai fasilitas umum masih sulit diakses oleh mereka dan tak ramah.

Di kawasan Pemerintah Kota misalnya, gedung baru tempat para Asisten Sekda berkantor sungguh tidak aksesibel. Lihat saja ramp untuk kursi roda yang sudut kemiringannya sekitar 60' dan cukup tinggi. Hal ini menyulitkan pengguna kursi roda memasuki gedung itu. Belum lagi toilet, kawasan parkir maupun beberapa sudut di wilayah itu. Maka tak heran bila tempat publik lainnya masih bisa ditemukan tempat yang sungguh jauh dari ramah.

Beberapa paving blok pemandu bagi tuna netra dengan mudah kita temukan yang penataannya terkesan asal artistik. Padahal penggunaan paving tidak boleh asal-asalan dan harus ditempatkan pada tempatnya. Paving ini bisa ditemukan bahkan dikawasan Citywalk jalan Slamet Riyadi ataupun kawasan lainnya seperti jalan Perintis Kemerdekaan. Para Tuna Netra bisa mengalami salah jalan hingga celaka menyusuri kawasan tersebut.

Sebagai kota pusat rehabilitasi Difable semestinya ramah dan aman. Di Kota ini dan sekitarnya banyak terdapat rumah sakit rehabilitasi sebut saja RS Ortopedi (RC), RS Karima Utama, YPAC, RS Kustati dan banyak tempat untuk pembinaan atau rehabilitasi kaum difable. Walikota perlu segera mengevaluasi pelaksanaan Perda No 2 Tahun 2008 tersebut agar tidak terkesan asal ada regulasi namun penerapannya jauh dari harapan.

0 komentar:

Posting Komentar