Minggu, 20 November 2011

Kepala Daerah Minimal S1

Membandingkan Efektifitas Draft RUU Pilkada Versi Pemerintah (3)
Sambungan

Sebagai gambaran, 7 kabupaten/kota se eks Karesidenan Surakarta dipimpin oleh kepala daerah berlatar belakang S1 namun kenapa tingkat kemajuan daerah bisa berbeda? Artinya faktor tingkat pendidikan tidak cukup berpengaruh dalam kepemimpinan. Apalagi sistem pendidikan di Indonesia masih banyak yang dipertanyakan. Jokowi (Walikota Solo) latar belakang pendidikannya adalah Kehutanan namun dia mampu mengelola kota dengan lebih baik. Bagaimana korelasi materi kuliah kehutanan dengan kepemimpinan daerah?

Terakhir soal kedelapan yakni mengenai pembiayaan Pilkada yang bersumber dari APBD. Sudah banyak yang mengupas anggaran daerah kabupaten/kota untuk membiayai pembangunan saja sudah pontang panting. Apalagi trend 2 tahun belakangan, Dana Alokasi Umum tak cukup lagi untuk membayar gaji pegawai dan harus mengurangi alokasi belanja modal serta belanja barang dan jasa. Bila harus ada penganggaran untuk penyelenggaraan pilkada, apa tidak semakin bangkrut? Belum lagi periode Pilkada adalah proses rutin lima tahunan.

Sudah sepantasnya biaya penyelenggaraan Pilkada disediakan oleh pemerintah pusat dengan pengajuan dari Pemda atas usulan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Daerah. Pemerintah pusat juga dapat mengontrol penggunaan dana ini. Sudah banyak kasus penyelewengan dana Pilkada yang justru untuk memobilisasi calon incumbent. Beredarnya video mobilisasi kepala instansi di Propinsi Banten untuk memenangkan Atut Chosiyah-Rano Karno semakin menunjukkan tingkat kerawanan itu. Pemetaan daerah-daerah penyelenggara pilkada bisa dilakukan jauh-jauh hari oleh Kemendagri bersama Kemenkeu sehingga bisa diprediksi kebutuhannya.

Pemungutan Suara Saat Pemilu Legislatif 2009 Lalu
 Partai politik yang memiliki wakil di DPR sebaiknya menyiapkan konsep tandingan untuk membahas hal ini. Jangan hanya semata mengkalkulasi kepentingan golongan saja namun lebih melihat tingkat efektifitas dan efisiensi keluaran Undang-undang. Argumentasi yang dijadikan rujukan tidak hanya berbasis pada strategi memenangkan jago di daerah namun lebih pada produk pilkada yang berdampak luas di masyarakat. Mereka harus memiliki kajian, analisa dan data konkrit bagaimana dua periode Pilkada (dipilih DPRD dan dipilih rakyat) yang sudah dilakukan.

Walaupun masyarakat mengerti selama ini partai politik jarang melakukan penelitian kualitatif, ada banyak hal yang bisa dilakukan. Misalnya meminta masukan dari asosiasi pemerintah daerah (Apkasi, Apeksi, Adeksi, APPSI), peneliti, perguruan tinggi, LSM dan banyak elemen lain. Masyarakat juga tak perlu menunggu pembahasan di DPR dan segera mengorganisasikan diri mengkritisi draft tersebut. Agar keluaran produk ini menguntungkan semua pihak. Kebiasaan mengubah kebijakan yang cepat (kurang dari 10 tahun) harus diubah. Pengubahan kebijakan semestinya tidak hanya mengandalkan argumentasi yuridis, filosofis dan sosiologis (seperti amanat UU No 10 Tahun 2004) tetapi juga berdasar kajian atau penelitian atas pelaksanaan kebijakan yang dirubah.

Terakhir, penulis berharap tim Panja RUU Pilkada saat membahas benar-benar menggunakan hati nuraninya. Mendengarkan dengan hati, melihat dengan jeli dan menyuarakan yang hakiki supaya hasil yang diperoleh mampu menjawab persoalan dengan tepat. Kita semua perlu melibatkan diri secara langsung atau tidak langsung. Langsung dengan hadir saat pembahasan atau membuat koalisi dan tidak langsung bisa dilakukan dengan mengirim surat, email, mengadakan diskusi di daerah dan banyak cara lain.

0 komentar:

Posting Komentar