Minggu, 20 November 2011

Kepala Daerah Dan Wakil Tak Satu Paket

Membandingkan Efektifitas Draft RUU Pilkada Versi Pemerintah (2)
Sambungan

Point kedua yakni pengajuan calon kepala daerah propinsi akan kembali dicalonkan oleh fraksi. Artinya calon independen tak lagi diakomodir meski Mahkamah Konstitusi jelas-jelas menyatakan membolehkan dengan dasar melanggar HAM. Mengembalikan pemilihan kepada wakil rakyat tak menjamin ada perubahan signifikan terhadap tatanan kehidupan masyarakat. Maka dari itu, strategi paling jitu menata propinsi adalah sebagai fungsi koordinatif dari tingkat kabupaten/kota. Bila demikian maka tak perlu ada wakil rakyat dan dinas/badan/kantor. Gubernur cukup ditunjang oleh sekretariat daerah.

Sementara untuk pemilihan bupati/walikota tetap dipilih secara langsung oleh rakyat sebagai soal ketiga. Terkait hal ini, draft RUU Pilkada pemerintah rupanya menghindari serangan dari wakil rakyat dipusat. Diluar itu, menetapkan pemilihan kepala daerah tingkat II langsung oleh rakyat patut dihargai supaya kepentingan atau suara rakyat tidak tersandera kepentingan politik. Walaupun ada PR bagaimana membangun strategi agar tidak ada kongkalikong kepala daerah dengan DPRD  itu yang harus dipikirkan kembali. Calon independent bupati/walikota juga masih diakomodir dalam draft tersebut.

Kampanye Salah Satu Parpol


Yang diprediksi akan menjadi perdebatan panjang yakni masalah ke empat yaitu mengenai wakil kepala daerah yang tidak satu paket dengan kepala daerah. Usulan ini akan banyak menuai kritik oleh partai politik. Bagaimana kepala daerah dengan wakilnya tidak satu paket padahal mereka harus bisa kerjasama. Alasan yang diajukan pemerintah supaya tidak ada politisasi birokrasi. Faktanya selama ini banyak daerah yang tidak melibatkan birokrasi dalam menjalankan pemerintahan meski kepala daerah berasal dari parpol.

Justru pengajuan tidak satu paket akan malah menimbulkan dualisme kepemimpinan. Apalagi latar belakang wakil kepala daerah yakni dari birokrasi yang sudah mapan dari level eselon (sebagai masalah ke lima). Pertanyaannya kalau tidak ada yang cocok, apakah harus dipaksakan? Apakah bisa mengambil birokrat dari tempat/wilayah lain? Bila jawabannya bisa, bukankah bisa menimbulkan kecemburuan pejabat yang eselonnya sudah sesuai syarat tetapi tidak dicalonkan. Penentangan ini dapat berdampak memacetkan roda birokrasi yang berakibat pada pelayanan publik tidak optimal.

Soal keenam yakni dengan beberapa indikator dimungkinkan satu daerah ada lebih dari satu wakil kepala daerah. Sungguh menjadi usulan yang kian tak jelas argumentasinya. Saat ini kepala daerah dengan satu wakil saja kadang bisa macet apalagi lebih dari satu wakil. Lihat perjalanan Bupati Untung Wiyono sebagai Bupati Sragen periode 2001-2006 dan 2006-2010. Selama dua periode itu nyaris hanya 3 tahun saja kemesraan Untung dengan Agus Fatkhurrahman yang kini justru menggantikan Untung. Disisi lain, pejabat tertinggi birokrasi di daerah sudah dijabat oleh Sekretaris Daerah dan diharapkan menjadi implementator dari kebijakan-kebijakan kepala daerah.

Potensi-potensi konflik Sekda dengan wakil kepala daerah yang berasal dari birokrasi akan jauh lebih komplek. Mestinya pemerintah pusat melalui Kemendagri sudah sangat faham dengan hal ini dan bukan malah membuka peluang konflik baru. Kemudian masalah ketujuh adalah pendidikan calon kepala daerah setingkat strata 1 atau sarjana. Dalam regulasi sebelumnya, pendidikan calon kepala daerah memang hanya SMA. Kemungkinan hal ini dipengaruhi faktor syarat pendidikan calon presiden yang hanya SMA. Masih sebegitu pentingkah latar belakang pendidikan dibandingkan soal-soal lain?

Sampai sekarang tak jelas juga apa argumentasi mengenai latar belakang pendidikan sebagai sebuah syarat kepala daerah. Bukannya malah mempertajam pentingnya pengalaman kepemimpinan calon. Hingga saat ini penulis belum pernah membaca ada tidak penelitian tentang pengaruh tingkat pendidikan kepala daerah pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Secara kasat mata akan dijawab tidak akan berpengaruh karena memimpin sebuah daerah lebih kepada rasa memiliki kepedulian, empati, tanggungjawab dan profesionalitas.

Bersambung

0 komentar:

Posting Komentar