Rabu, 09 November 2011

Anggaran Pendidikan 20 Persen Tapi Hasilnya Mengecewakan

Meski Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan kewajiban anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN maupun APBD sejak tahun 2005, kenyataan dilapangan justru sebaliknya. Sulit menyatakan pendidikan di Indonesia 5 tahun sejak dikeluarkannya aturan tersebut dampaknya bisa dinikmati masyarakat. Justru kini banyak muncul masalah baik infrastruktur, menejemen maupun keluaran pendidikan. Rupanya penetapan anggaran 20 persen tak diimbangi dengan keseriusan pemerintah membenahi pendidikan.

Banyak hal yang bisa dipotret atas kondisi pendidikan kekinian baik di Jawa apalagi di luar Jawa yang kondisi geografisnya sangat mempengaruhi. Meski ada beberapa keberhasilan pendidikan (sebut saja kejuaraan olimpiade sains yang selalu mendapat emas diluar negeri) tetapi masalah-masalah pendidikan hampir rutin menjadi berita rutin di media massa kita. Hal ini tak bisa dibiarkan dan harus menjadi kewajiban bersama menyelesaikan masalah-masalah pendidikan.

Gedung roboh, anak drop out, perkelahian pelajar, sertifikasi guru, sekolah mahal, kekerasan guru dan masih banyak yang lainnya masalah dibidang pendidikan. Padahal sesuai amanat UUD 45 pasal 31 sudah mewajibkan anggaran pendidikan 20 persen. Sertifikasi guru kenyataannya tak banyak membantu keluaran pendidikan lebih memuaskan. Problem bidang pendidikan bisa diibaratkan seperti mengurai benang kusut atau lingkaran setan yang terus saja memutar.


Kementrian Pendidikan Nasional sendiri malah berkutat dengan perubahan nama dari Departemen Pendidikan Nasional, Kementrian Pendidikan Nasional hingga kini kembali bernama Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Perubahan itu membawa banyak konsekuensi yang mengakibatkan tingkat perhatian pendidikan terutama proses belajar mengajar seakan stagnan dan tak beranjak dari masalah-masalah klasik. Yang menyedihkan lagi, problem itu menghinggapi Kemendikbud pusat hingga ke daerah.

Alokasi anggaran yang besar ternyata tak berpengaruh pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia. Posisi IPM Indonesia terus saja berada di level yang rendah dibandingkan negara lain. Berdasarkan data Kementrian Keuangan Tahun 2008, anggaran Pendidikan dialokasikan sebesar Rp 154,2 T. Anggaran ini tersebar dibeberapa kementrian, tidak hanya Kemdikbud. Saat itu IPM Indonesia 0,598 atau berada di urutan 107 dari 177 negara. Tahun 2009 anggaran melonjak menjadi Rp 208,3 T, IPM pun terdongkrak menjadi 0,607 tetapi posisi Indonesia di dunia turun ke posisi 111 dari 182 negara.

Artinya negara lain nilai IPMnya bergerak naik lebih baik sehingga posisi Indonesia justru malah melorot. Tahun 2010, anggaran pendidikan mencapai Rp 225,2 T dan IPM menjadi 0,613. Hal ini memperbaiki posisi IPM didunia menjadi urutan 108 dari 169 negara. Tahun ini alokasi pendidikan menjadi Rp 249 T dan menambah IPM ke 0,617 namun sayangnya urutan Indonesia justru terburuk dalam 4 tahun terakhir alias menempati posisi 124 dari 189 negara.


Melihat hal ini, harusnya pemerintah mengevaluai berbagai kebijakan dibidang pendidikan. Terutama Rencana Strategis (Renstra) Kemdikbud yang telah tersusun, apakah mampu menjawab problem-problem utama atau hanya menangani masalah-masalah pinggiran saja. Kalau mau jujur, banyak kebijakan Kemdikbud yang memang layak dievaluasi atau diganti dengan kebijakan lain yang strategis. Agar roadmap pendidikan kita berada pada jalur yang benar.

Sebut saja program Jaringan Pendidikan Nasional (Jardiknas) yang minim pemberitaan namun anggarannya besar. Atau Bantuan Sosial yang tak tepat dikelola oleh kementrian. Juga alokasi Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Dana Alokasi Khusus (DAK) Pendidikan, Sekolah Bertaraf Internasional yang lebih sering diplesetkan menjadi sekolah bertarif internasional, penyelenggaraan Ujian Nasional dan banyak lagi. Lihatlah kondisi dilapangan dari Sabang hingga Merauke.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan selayaknya fokus pada kebijakan-kebijakan strategis saja dan tak menangani hal teknis seperti BOS, DAK, dan Bansos. Serahkan dana-dana itu langsung ke daerah dan monitoring serta evaluasi pelaksanaannya. Badan Litbang kementrian juga harus menjadi ujung tombak dalam melakukan evaluasi kebijakan yang ada. Jadi hal-hal teknis tidak lagi menjadi urusan kementrian. Hingga tahun 2011, kementrian masih saja menerima proposal pengajuan Bansos dan itu membuat mereka sibuk dalam urusan teknis semata.

Jika urusan-urusan teknis ini tak segera dilimpahkan ke daerah, jangan pernah berharap IPM Indonesia secara prosentase naik signifikan apalagi urutan Indonesia pada IPM dunia akan melonjak. Ranah kementrian idealnya hanya pada policy, monitoring dan evaluasi. Beri reward daerah-daerah yang mampu mengatasi pendidikan secara strategis dan beri punishment daerah yang malah memperburuk kondisi pendidikannya. Dengan hal ini maka daerah akan berlomba membenahi sistem dan proses penyelanggaraan pendidikannya.

0 komentar:

Posting Komentar