Senin, 11 April 2011

Tiga Tipe Magersari di Kemlayan Solo (4)

Tangani Kasus Cokrosuman Kemlayan

Dalam berbagai kesempatan, Walikota Solo Joko Widodo menjelaskan akan mengalihkan Pasar Malam Ngarsopuro ke jalan Gatot Subroto. Hal ini dilakukan sebagai upaya meramaikan kawasan Ngarsopuro saat ini yang akan diisi menjadi pusat pementasan kesenian. Rencana ini nampaknya sudah banyak didengar warga di Kemlayan. Warga setempat yang berjualan juga sudah didata oleh Lurah Pasar Singosaren. Rencananya mereka yang telah didata akan diberi tempat jualan di kawasan night market tersebut.

Pengembangan di wilayah Kemlayan tidak hanya Night Market tetapi juga rencana pembangunan Acasia Hotel dan Honggowongso Square. Proyek Honggowongso Square kini sudah masuk tahap pembangunan fisik sedangkan untuk Acasia Hotel belum ada kabarnya. Ketika informasi perkembangan soal ini pada pihak kelurahan, sepertinya belum ada strategi yang akan dilakukan pihak kelurahan. Padahal ini merupakan kesempatan bagi pemerintah kelurahan untuk menaikkan posisi tawar warga untuk masuk bekerja pada sektor formal.

"Pintu masuk" ke kampung
Jangan sampai kejadian tutupnya supermarket (counter yang menjual kebutuhan sehari-hari) di Matahari menyebabkan konsumen merosot drastis sehingga kondisi perparkiran mempengaruhi pendapatan warga. Adanya home stay, hotel melati maupun tempat makan yang sering ramai juga belum banyak dioptimalkan masyarakat setempat untuk menggali lebih jauh potensi yang mereka miliki agar mendapat imbal balik yang berguna. Anak-anak didik harus disiapkan mengisi ruang kosong yang selama ini justru diisi oleh pihak luar.

Di Kawasan lain, kita akan menemukan kawasan Cokrosuman dan di gerbangnya tertulis Mess AURI. Lokasi ini terletak di bagian barat dari kantor kelurahan. Saat memasuki regol (pintu besar) terhampar tanah lapang yang begitu luas, kemudian juga joglo yang cukup tua serta jejeran rumah yang mengelilinginya. Dari berbagai info yang dikumpulkan, inilah kawasan yang saya sebut sebagai Magersari Struktural. Di lahan seluas hampir 1 ha, terdapat 14 kepala keluarga yang merupakan janda dari pensiunan TNI AU.


Awalnya kawasan ini merupakan peninggalan dari keturunan Paku Buwono IX yang bernama Raden Cokronegoro sehingga dinamakan Cokrosuman. Karena bekerja di TNI AU, dia kemudian ditugaskan di Mabes TNI AU dan mempersilahkan TNI memakai kawasan ini. Dijadikanlah tempat ini sebagai klinik yang cukup lengkap karena ada tempat bersalin, poliklinik serta laboratorium klinik juga. Seiring perkembangan jaman, lama kelamaan tempat ini makin sepi dan aktivitas TNI AU beralih ke panasan.

Lahan yang dimanfaatkan untuk parkir
Menurut Margono, pensiunan TNI AU yang masih tinggal disitu menyatakan bahwa Tahun 1959 tanah tersebut telah dibeli TNI AU senilai Rp 2juta. Namun entah mengapa tidak juga dikelola secara optimal padahal kawasan tersebut sangat strategis. Beberapa kali bahkan sempat akan ditukar guling dengan beberapa pihak yang tertarik tetapi selalu gagal. “Saya tidak tahu apa kendalanya dan silahkan tanya ke panasan saja mas” ungkapnya saat ditemui. Warga yang masih menempati disitu juga tetap rutin membayar listrik sementara untuk pembayaran PBB berhenti Tahun 2006 tanpa tahu alasan yang jelas.

Sumber lain yang patut dipercaya menyatakan wilayah itu jadi sengketa antara TNI AU dengan keluarga Cokronegoro.  Terlepas dari soal mana yang benar, hendaknya tanah-tanah yang tak optimal pengelolaannya ditengah kota segera ditangani agar permasalahan yang ada tidak berlarut. Penanganan itu harus melibatkan semua pihak yang mengetahui perjalanan sejarah bagaimana lokasi tersebut digunakan oleh TNI AU dan atas nama siapa pemilik tanah sebenarnya.

0 komentar:

Posting Komentar