Rabu, 06 April 2011

Pentingnya Penataan Pegawai Negeri Sipil

Pada bulan ini, April, tiga kabupaten di eks Karesidenan Surakarta diributkan soal anggaran bagi pegawai yakni Kabupaten Karanganyar, Sragen dan Sukoharjo. Meski pemberitaan media tidak sama namun substansi yang diangkat pada batasan soal kepegawaian dan tentu saja hal ini berimbas pada anggaran. Perdebatan yang lagi-lagi tidak pada ranah kinerja, pengentasan kemiskinan atau program bagi masyarakat luas. Diskursus yang muncul justru berkutat pada "dapur" pemerintahan daerah.

Kondisi ini mencerminkan kondisi internal penataan pegawai negeri di tiga wilayah itu ada masalah. Meski daerah lain tidak muncul pemberitaan namun tidak selalu menandakan bahwa penataan pegawai telah selesai. Bisa saja memang karena tak ada momentum yang bisa memantik isu ke permukaan. Padahal ditiga wilayah itu, anggaran bagi belanja pegawai di APBD Tahun 2010 sudah cukup besar. Masyarakat nampaknya kembali harus menantikan kinerja mereka yang lebih konkrit.

Di Sragen, ribut-ribut tentang JT atau job training serta anggaran Diklat Pra Jabatan muncul beriringan. Padahal landasan hukum perekrutan mereka sangat lemah. Meski bupati menyatakan bahwa keberadaan mereka untuk menutup ketimpangan ketersediaan tenaga pengajar, tetapi istilah JT merupakan hal baru. Agak aneh bila Untung menyatakan keberadaan mereka untuk mengcover tenaga guru di sekolah yang hanya ada 4-5 orang saja. Sementara pengadaan CPNS berasal dari pusat dan membutuhkan waktu.

Perdebatan penyelenggaraan diklat prajabatan bagi CPNS Sragen membutuhkan biaya hingga Rp 3juta/orang (espos 1 April 2011). Padahal kegiatan ini harusnya dibiayai oleh APBD. Penting diketahui untuk gaji PNS Kabupaten Sragen mencapai Rp 663 M atau sebesar 77,3 persen APBD pada Tahun 2010. Sungguh kondisi yang sangat kontras dengan keberadaan masyarakatnya. Bupati yang akan segera dilantik harus memberi catatan khusus mengenai hal ini.

Mendengarkan Pengarahan
Di Karanganyar, anggaran diklat prajabatan tahun 2011 dianggarkan sebesar Rp 2 M atau sebesar belanja bagi hasil kepada pemerintah desa di tahun 2009 maupun 2010. Anggaran yang sangat besar karena akan dibelanjakan untuk ratusan pegawai saja. Coba lihat data kondisi kelas ruang rusak tahun 2011 yang mencapai 705 (kategori sedang) dan 708 (kategori rusak berat). Adapun biaya untuk belanja guru yang sertifikasi mencapai Rp 57 M dan Rp 37 M untuk non sertifikasi.

Di Sukoharjo muncul polemik ratusan perawat kontrak tersebar di 12 kecamatan yang berjumlah 62 orang. Bukan soal jumlahnya namun gaji yang mereka terima tiap bulannya jauh dari layak karena hanya Rp 100.000/bulan. Sementara mereka sudah mengabdikan diri ada yang sudah enam tahun. Lucunya mereka berstatus magang dan dibayar dari pendapatan jasa layanan puskesmas. Yang perlu diketahui adalah setiap pendapatan harusnya masuk ke Dinas Pendapatan Daerah terlebih dahulu.

Ketiga polemik yang muncul bersamaan dengan problem yang hampir sama patut menjadi keprihatinan masyarakat baik di kabupaten yang bersangkutan maupun wilayah lain. Bagi kabupaten bersangkutan patut mempertanyakan sebenarnya bagaimana kinerja pemerintah daerah terutama Badan Kepegawaian Daerah setempat serta SKPD yang mengelola keuangan daerah mengaturnya. Sebab kasus itu muncul tidak serta merta namun ada tindakan yang tidak seharusnya dilakukan justru diterabas (misalnya adanya tenaga kontrak).

Bagi daerah lain, bisa saja problem yang sama sebenarnya dialami namun tidak ada yang memblow up. Kondisi seperti diatas sangat bisa terjadi diwilayah lain. Masyarakat perlu membangun dirinya untuk bersikap kritis supaya pajak maupun retibusi yang telah dibayarkan tidak dikeluarkan untuk hal-hal yang bisa melanggar aturan atau bukan urusan prioritas. Idealnya pemerintah daerah mengatur secara ketat dan disiplin dalam menjalankan pemerintahnya.

Kepala daerah harus cermat atas kinerja bawahannya dan harus sering melakukan cross check lapangan supaya tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Tidak hanya menerima laporan apalagi yang baik-baik saja. Sudah tidak jaman lagi kepala daerah percaya begitu saja laporan bawahannya. Harus ada tindakan nyata untuk memverifikasi setiap jawaban "siap pak", "beres pak", "laksanakan" dan perintah sejenis lainnya. Karena pada dasarnya para kepala daerah memegang amanat masyarakat bukan warisan nenek moyang.

0 komentar:

Posting Komentar