Tidak banyak tokoh bangsa benar-benar memahami falsafah
pancasila, apalagi mampu merealisasikannya. Sudah berates anggota DPR, pejabat,
eselon, bahkan menteri berganti namun mereka bekerja hanya sebatas apa yang
ditugaskan saja. Pancasila jelas menjadi falsafah bangsa dan oleh karenanya
harus diwujudkan serta diterima rakyat sebagai hak. Bagi kalangan pejabat,
tentu hal itu menjadi kewajiban.
Menjadi miris karenanya bila orang macam Amien Rais, Alfian
Tanjung, Suryo Prabowo, Tengku Zulkarnain, Mardani Ali Sera, Fachri Hamzah dan
lainnya justru lebih suka membuat riuh negara ini. Jangankan berempati, untuk
sekedar berbagi kritik yang membangun saja sudah sulit diharapkan. Lihat saja
berbagai kata, kalimat, ujaran yang mereka sampaikan baik ke wartawan, diatas
mimbar, di depan umat bukan menentramkan malah membakar emosi.
Jokowi sebagai Presiden terus berupaya kembali memperkokoh
Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bukan hanya untuk melawan
para penghasut, pendengki, pengadu domba namun demi mempertahankan NKRI. Nawa
cita yang diusung menjadi roh pemerintahannya benar-benar diterapkan secara
nyata.
Dalam menjalankan tugas selama 3,5 tahun ini kita sebagai
rakyat Indonesia merasakan benar berbagai upaya Jokowi baik memimpin
pemerintahan maupun mengelola negara menjalankan Pancasila. Representasi dari
Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa jelas tergambar dalam berbagai kunjungan Presiden
ke pesantren, menghadiri acara ormas keagamaan, perayaan hari besar agama,
membangun pondok pesantren, memberi sertifikat gratis pada tanah wakaf,
menetapkan hari santri dan lain sebagainya.
Sila Kedua Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab,
terepresentasikan dalam berbagai layanan dasar terutama bagi masyarakat tidak
mampu. Kita tahu ada KIS untuk layanan kesehatan, KIP untuk layanan pendidikan,
bantuan subsidi pupuk bagi petani petani, bantuan layanan bagi nelayan,
pengucuran kredit bagi usaha rakyat, membangun jembatan penghubung antar
daerah, membuka isolasi daerah terpencil, menenggelamkan kapal illegal,
penyediaan listrik bagi masyarakat pedalaman dan berbagai program lainnya.
Untuk penerapan Sila Ketiga, Persatuan Indonesia jelas
tergambar dalam kebijakannya membentuk BPIP, membubarkan HTI, memberantas terorisme,
memerangi intoleransi, menetapkan 1 Juni sebagai hari libur Pancasila,
membentuk Bekraf, memberi kuis dengan pertanyaan seputar kekayaan budaya,
membuka berbagai perhelatan olahraga, serta banyak berinteraksi dengan kalangan
remaja maupun pemuda dalam berbagai bidang. Kita tahu beliau pernah potong
rambut disebuah barbershop, menggelar festival kopi di istana, membeli motor
chooper modifikasi pemuda Indonesia, hingga mengkonsumsi kuliner diberbagai
daerah.
Sementara Sila Keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan tergambar dalam hubungan
Presiden dengan berbagai lembaga Negara termasuk partai politik. Lihatlah,
beliau tidak pernah melakukan intervensi, tidak melakukan permufakatan jahat.
Jika ada hal yang menciderai nurani rakyat, meski telah disetujui DPR Presiden
Jokowi pun menolaknya. Contoh sederhana persetujuan Budi Gunawan sebagai calon
tunggal Kapolri tetapi Presiden tidak melantiknya. Pun dengan UU Ormas, saat
diperkirakan bakal dijegal di DPR maka presiden mengeluarkan Perppu. Namun jika
sesuai dengan harapan masyarakat maka berdialog bersama tetap ditempuh. Lihat
saat Presiden mengajukan Tito Karnavian sebagai Kapolri, mengajukan Marsekal
Hadi Tjahjono sebagai Panglima TNI, menetapkan UU Anti Terorisme semua
dilakukan dengan prosedural.
Sedangkan menerapkan Sila Kelima yakni Keadilan Bagi Seluruh
Rakyat Indonesia bisa dilihat bagaimana infrastruktur mulai bandara, jalan tol,
pelabuhan, trans dibangun diberbagai kepulauan di Indonesia. Mendistribusikan
sertifikat tanah bagi masyarakat, membuat tol laut, membagi sebagian lahan
perhutani untuk masyarakat, menetapkan BBM 1 harga, dan berbagai program lain.
Yang jelas membenahi dan menata kembali Indonesia telah
dimulai. Menuju kearah lebih baik jelas sudah terlihat karena banyak pemimpin
negara lain menghormati dan mengapresiasi Jokowi. Beliau masih memiliki
kesempatan 1 periode lagi yaitu 2019 – 2024. Bila kita ingin melihat Indonesia
makin maju dan mencapai titik optimisme tinggi, kepemimpinan beliau harus tetap
dipertahankan. Hingga saat ini hampir tidak ditemukan pemimpin visioner yang
mampu merangkul dan menyatukan seluruh elemen untuk berada dalam kepentingan
yang sama.