Penolakan
Zannuba Ariffah Chafsoh atau lebih dikenal Yenni Wahid pada Gerindra untuk maju sebagai Cagub Jatim semakin menguatkan
asumsi bahwa Prabowo tak layak menjadi Calon Presiden pada Pilpres 2019
mendatang. Bukan hanya karena dari berbagai hasil survey lembaga independen
menunjukkan hal itu namun faktor internal juga menambah beban Gerindra untuk
bertarung di perebutan RI 1 mendatang.
Padahal disisi
lain, sanga petahana elektabilitasnya terus naik, kinerjanya diapresiasi
positif, program infrastruktur juga makin dirasakan rakyat. Meski masih ada
kekurangan disana sini tetapi tidak cukup signifikan dibandingkan hasil yang
diperoleh. Jajaran kabinet juga terlihat moncer diberbagai bidang. Yang
merasakan bukan hanya masyarakat Jawa namun Papua mendapat perhatian serius.
Keberhasilan
petahana ini sulit ditutupi sebab masyarakat merasakan langsung. Presiden juga
terlihat tidak berhenti menyapa rakyat dan bersilaturrahmi dengan ulama
diberbagai wilayah. Apa yang dilakukan Gerindra? Kesalahan utama mereka ya hanya fokus
nyinyirin pemerintah tapi tidak memanfaatkan posisi di DPR. Coba kupas siapa
sih wakil rakyat yang dikenal publik di DPR RI dai Gerindra selain Fadly Zon? Atau tanya ke
rakyat, apa yang pernah diperjuangkan Gerindra di DPR yang itu benar-benar
bakal bermanfaat bagi rakyat? Mereka akan kesulitan menjawabnya.
Gerindra terlihat kedodoran membangun kekuatan untuk bertarung di Pilpres 2019. Bahkan di Pilkada serentak 2017 dan 2018 saja tidak tampak bahwa mereka sungguh siap apalagi di
2019? Ada 5 indikator untuk mengurai mengapa Gerindra kedodoran di 2 tahun
Pilkada itu. Pertama, kader terbatas. Proses pencalonan dari internal Gerindra
sebagai kandidat kepala daerah baik untuk bupati/walikota atau gubernur hampir tidak
terdengar. Di DKI Jakarta mereka mencalonkan Anies yang kita semua tahu kalah
di penjaringan Capres Golkar 2009, dipecat sebagai Menteri Pendidikan dan tidak
disimbolkan dengan partai tertentu. Pun di Pilkada serentak 2018. Kabarnya di
Jatim mau mengajukan La Nyalla Mataliti atau Moreno yang nota bene memang orang
internal partai. Yang ke blow up malah menawari Yenni Wahid.
Kedua, Gerindra
suka memungut orang yang tidak dipakai lagi oleh Presiden Joko Widodo. Strategi
ini seperti ingin mengulang kesuksesan SBY tahun 2004 mampu menang Pilpres
paska dipecat sebagai menteri Megawati. Melihat terpilihnya Anies kelihatannya
sukses tapi benarkah target yang dipatok itu? Apa bukan dipasang untuk kalah
supaya ada amunisi untuk terus menerus goyang Ahok hingga 2019? Bukankah target
Gerindra Pilpres 2019? Begitu Anies menang, lihat saja bahan untuk menjatuhkan
Presiden sudah hilang. Lantas di Jawa Tengah diisukan bakal menaruhkan Sudirman
Said, mantan Menteri ESDM. Tidakkah ada orang lain atau kader internal Gerindra
di Jawa Tengah yang mumpuni?
Ketiga, Salah pilih
di Jakarta. Paska terpilihnya Anies – Sandi di Jakarta bukannya menguntungkan
malah merugikan partai. Lihat saja sejak dilantik sampai saat ini polemik terus
menerus terjadi. Mulai dari hal sepele administrative hingga hal-hal yang
substansial yang jelas-jelas nir keadilan. Kita tahu soal salah kostum,
penghapusan video rapat gubernur, kantor gubernur ditutup tirai, pengalihan
pengaduan dari gubernur ke tingkat kelurahan. Lalu yang substansial seperti
penggunaan jalan raya sebagai tempat jualan PKL, jumlah TUGPP mencapai 73
orang, menyela misa natal dan masih banyak yang lain tindakan atau keputusan yang janggal.
Bukan hanya itu,
Taufik yang juga Gerindra DKI menyorot kebijakan Anies Sandi tentang berbagai
hal. Bagaimana jika polemik terus tercipta hingga 2019? Bukankah menjadi beban
berat partai yang mengusungnya? Keempat, meski paska Pilpres 2014 Gerindra nampak
rukun dengan PAN serta PKS, yang jadi pertanyaan cukup pelik yakni calon yang
diajukan pada Pilkada mengapa tidak mengusung dari kader teman koalisi? Ada
cukup banyak kader PAN atau PKS seperti Anies Matta, Fachri Hamzah, Eko Patrio,
Primus, Nasir Jamil, Abu Bakar Al Habsyi dan lain sebagainya. Di Pilkada 2018 serentak
untuk Cagub malah mengajukan dari militer (Jabar dan Sumut), Mantan bupati Kutai
Timur/PKPI (Isran Noor), serta Mantan Menteri ESDM (Sudirman Said).
Kemenangan
pertarungan Pilpres 2019 menjadi pertaruhan terakhir Prabowo untuk kursi
Presiden. Jika para kepala daerah yang diusung bukan dari kadernya sendiri
bagaimana mereka mau bersusah payah berjuang di 2019? Dan kelima, penolakan
Yenni Wahid atas tawaran untuk bertarung di Pilkada Jawa Timur makin menegaskan
bahwa langkah-langkah Gerindra tidak turut menjaga bangsa serta memecah NU
(Jawa Timur-pen). Simak pernyataan Yenni "Tawaran tersebut
saya pertimbangkan dengan matang, tetapi kami keluarga Gus Dur meyakini punya
tugas sejarah untuk menjaga bangsa ini dan memastikan keluarga NU (Nahdlatul
Ulama) tidak pecah,".
Kita tidak akan bilang“saya sibuk mengatur
lalu lintas” kepada seorang polisi, “saya tidak ada waktu karena sibuk mengambil sampah”
kepada petugas sampah. Parpol salah satu tugasnya menjaga bangsa tetap utuh dan
ketika disampaikan mbak Yennti jelas menandakan bahwa Gerindra tidak melakukannya, setidaknya
berdasar Pilkada Jakarta yang penuh akrobat politik kotor.
Kalimat selanjutnya mbak Yenni adalah “Memastikan
keluarga (NU) tidak pecah”, dimaksudkan bahwa sudah ada 2 cagub berlatar
belakang NU di Jatim, mengapa masih mengusung orang NU lagi? Kalau bukan untuk
memecah suara NU, lantas untuk apa? Untaian kalimat mbak Yenni semakin
menguatkan dan menjadi landasan kita berpikir, jika tugas besar menjaga bangsa sudah
tidak diusung Gerindra buat apa kita dukung? Jika tidak menjaga NU tetap utuh
sebagai asset bangsa apakah masih layak didukung? Kita tunggu Agustus 2018 mendatang
saat pendaftaran Calon Presiden, jika memang Prabowo Subianto masih berniat
maju tentu kita tahu harus bagaimana.
0 komentar:
Posting Komentar