Saya tidak mengenalnya secara personal dengan Chief
Operating Officer Kompasiana yang saat ini, Iskandar Zulkarnain. Hanya berteman
via FB saja dan sudah lupa siapa yang duluan add. Dia menggantikan Kang Pepih
Nugraha yang saat ini sudah mengoperasikan web sendiri yang lebih keren PepNews
setelah sebelumnya ikut melahirkan Selasar. Setahu saya Iskandar pernah mampir
solo ngajak bertemu beberapa Komposono (penulis Kompasiana) dari Solo.
Kebetulan saat itu saya ada acara sehingga tidak sempat ketemu.
Dulu, Kompasiana cukup beken sebelum muncul berbagai media
online yang menyita perhatian. Banyak penulis keren betah di Kompasiana serta
ga yakin mandiri. Sebut saja Alifurrahman (Seword), Yusran Darmawan (Locita),
Palti Hutabarat (Indovoice), Gunawan (Kabarkan) serta nama lain yang jadi
andalan Kompasiana. Secara personal saya melihat Kang Pepih sanggup momong dan
mengelola Kompasiana dengan baik.
Paska Kang Pepih out, diikuti berbagai penulis keren
mendirikan website sendiri suara Kompasiana makin tidak terdengar. Jika dulu di
WA atau FB sebuah tulisan sering di share, sudah lebih 6 bulan saya tidak
menemukan orang share tulisan dari Kompasiana. Jangankan orang lain, si COO ini
juga tidak mesti seminggu sekali share tulisan Kompasiana. Setidaknya hal ini
mengindikasikan 2 hal yakni tidak ada tulisan keren yang bisa dibagikan atau dia sendiri tidak
memiliki kebanggaan dengan media itu.
Sebagai seorang pimpinan media online, seharusnya dia
membangun interaksi dengan berbagai pihak dengan normal, wajar dan nyinyir.
Tapi sepertinya hal itu entah disadari atau tidak, malah ditabraknya. Ada
beberapa orang mutual friend kami namun hampir tidak pernah ada interaksi.
Tidak usah dengan Kang Pepih yang memang
jauh lebih senior namun dengan penulis-penulis beken juga tidak terbangun.
Status facebooknya lebih banyak nyinyir dibanding kritis dan secara pribadi
saya menilai tragis seorang COO media online besar tidak mampu mengelola
emosinya di ranah publik. Bagi kita para penulis yang sudah menghasilkan banyak
tulisan, sangat jelas beda kritik dengan nyinyir.
Misalnya status FB soal Permendagri Pengajuan Surat
Keterangan Penelitian (SKP), bukan hanya mengutip pemberitaan Tirto.id namun
juga menyertakan kata Represif. “Jelang #pilpres2019, Presiden Jokowi menampilkan wajah pemerintahannya yg
represif.” (status FB 7 februari 2018). Bagaimana bisa dirinya menggeneralisir
sebagai represif? Saya setuju bahwa prosedur perijinan itu harus dicabut tapi
menganggap itu tindakan represif sangat tidak masuk akal. Isjet (panggilan
akrabnya) sangat faham bahwa kebijakan itu baru saja muncul. Kritik dan protes
akan saya dukung karena saya juga tidak setuju kebijakan ini. Tapi menyebutnya
represif terlalu mengada-ada.
Yang kedua, status
“Esemka adalah Pilpres” 31 Januari lalu. Arah status ini dapat dimaknai sebagai
tendensi ketidaksukaan pada presiden. Saya juga berkomentar disitu dengan
menantangnya untuk jualan isu calon dia tapi dia menjawab tidak punya isu.
Kemudian status-status yang lain terutama terkait dengan politik maka yang akan
dimunculkan keburukan-keburukan dari partai yang tidak disukainya. Sedang
kasus-kasus menyangkut politisi PAN, PKS atau Gerindra sangat minim. Termasuk
polemik berbagai kebijakan Gubernur Jakarta seperti penataan PKL Tanah Abang,
menggusur rumah bantaran sungai, DP 0 persen, pengoperasian kembali becak dan
terakhir soal banjir. Pemberitaan banjir Jakarta sudah muncul sejak Selasa, 6
Februari 2018 sore namun selang sehari kemudian tidak ada status apapun soal
banjir. Apalagi soal kaburnya Rizieq Shihab, statemen jelek dan pesek Abdul
Somad ke Rina Nose, Caci makinya Sugi Nur Raharja, anti pancasilanya HTI dan
lain sebagainya.
Sebagai pimpinan media
online yang mengandalkan publik, seharusnya dia mampu membuat status-status
yang menarik penulis-penulis pemula untuk nimbrung disana. Padahal secara
materi saat ini Kompasiana jauh lebih banyak diiming-imingi uang. Itu kata
teman saya yang masih aktif menulis. Jika secara pribadi mengelola keberpihakan
diri saja belum bisa bagaimana media yang sudah terlanjur besar dikelola dengan
kemampuan itu? Sejak Kang Pepih keluar saya sih tidak menemukan terobosan
berarti atau inovasi dari Kompasiana. Tapi barangkali kita tunggu dimasa
mendatang. 10 tahun lagi barangkali akan kelihatan perubahannya…….
0 komentar:
Posting Komentar