Program bantuan pendidikan berupa Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sudah bergulir bertahun-tahun tetapi pengelolaannya masih banyak dipertanyakan oleh masyarakat. Ada tuntutan pengelolaan BOS yang transparan, akuntabel serta melibatkan masyarakat. Kenyataannya, meski BOS berasal dari anggaran pemerintah pusat dengan tata cara pengelolaan rigit, sekolah banyak yang menyiasatinya. Secara umum meski diberikan kepada sekolah dengan hitungan per siswa, tidak sedikit sekolah yang menarik pungutan, iuran, sumbangan atau tarikan bentuk lain.
Dana langsung dikucurkan dari pemerintah pusat ke rekening sekolah disertai aturan yang menyertainya berupa Permendiknas ditiap akhir tahun anggaran. Permendiknas inipun direvisi tiap tahun sebagai perbaikan. Sayangnya, ukuran untuk distribusi atau biaya persiswa dipukul rata atau sama. Sebut saja dana BOS untuk siswa Sekolah Dasar yakni Rp 580.400/tahun dan siswa SMP Rp 710.000/tahun. Padahal jangankan antar pulau atau propinsi, antar satu sekolah dengan yang lainnya kebutuhan tiap siswa berbeda. Akibatnya upaya pemenuhan kewajiban pendidikan 9 tahun tidak terpenuhi.
Masih banyak sekolah menarik pungutan dengan dalih menutupi kebutuhan siswa. Entah seragam sekolah, uang pagar, pengadaan komputer, les ini itu dan beragam alasan lagi. Pada akhir 2012 hingga awal 2013, Yayasan Satu Karya Karsa Surakarta mengadakan uji akses Program BOS di 122 sekolah yang terdapat di 8 propinsi yakni Jateng, Jatim, Jabar, DIY, DKI, Banten, Lampung dan DI Aceh. Hasilnya 87 persen sekolah menolak permohonan akses. Artinya hanya 13 persen saja yang memberikan akses walau tidak total (memberikan dokumen perencanaan hingga SPJ).
Dari dokumen yang berhasil didapat, ternyata belanja dana BOS patut dicurigai dikelola secara serampangan. Bukti-bukti itu menunjukkan bahwa pembelanjaan diragukan validitasnya. Dari aspek tertib administrasi akan terlihat bahwa dana BOS masih dikelola bukan untuk kebutuhan utama siswa. Dalam pembelanjaan terungkap 6 jenis kemungkinan pengadaan yang patut dipertanyakan. Sebut saja soal penurunan spek barang, kolusi dalam pengadaan, belanja tidak sesuai rencana, belanja fiktif, SOP keuangan tidak ada dan dana digunakan diluar kepentingan sekolah.
Seringkali penggunaan anggaran untuk konsumsi rapat tidak disertai daftar hadir, notulen dan lain sebagainya. Belum lagi untuk SD tidak ada tenaga administratif tersendiri untuk mengelola dana BOS. Tanpa penataan komprehensif, dana BOS bagaikan membuang uang percuma dan pungutan masih akan terus terjadi. Rumuskan kuota tiap kabupaten/kota, distribusikan melalui APBD serta minta daerah membuat Perwali soal hal itu. Tugas Kemendiknas hanya memantau dan mengevaluasi penggunaan dana tersebut.
Masih banyak sekolah di luar Jawa membutuhkan support anggaran lebih besar dibandingkan yang berada di Jawa. Dengan dana Rp 580.400 dan Rp 710.000 akan sangat mencukupi bahkan sisa dengan model pembelajaran standart. Namun yang diperkotaan bahkan luar Jawa, anggaran ini akan terasa sangat kecil bahkan untuk pemenuhan kebutuhan dasar pembelajaran siswa saja kurang apalagi tambahan pelajaran. Mari kita tunggu respon dari Kemendiknas agar BOS dikelola lebih baik.
0 komentar:
Posting Komentar