Jumat, 20 September 2013

Potensi Parkir Kota Solo Harus Dioptimalkan

Sebagai salah satu kota yang mengikuti perkembangan masyarakatnya maka Pemerintah Kota Solo mengembangkan potensi-potensi yang ada. Salah satunya adalah zonasi atau penataan parkir. Hal ini ditujukan tidak sekedar meningkatkan penerimaan daerah namun juga dianggap sebagai tata kelola sistem transportasi. Tidak banyak Pemda yang mampu menangkap bahwa perparkiran masuk dalam sistem transportasi melainkan sebatas pemasukan daerah. Tanpa pengelolaan parkir yang baik, transportasi kota bakal terganggu.

Di Kota Solo kita bisa melihat beberapa titik parkir yang menghambat sistem transportasi. Sebut saja kawasan Pasar Klewer, Coyudan, Pasar Gede, Nonongan dan lainnya. Ada titik yang memang jam berapapun langganan macet namun ada yang sifatnya insidental. Insidental disini termasuk sekolah, gedung pertemuan, mall dan lainnya. Sementara faktor lain yang perlu dicermati adalah diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mengatur larangan parkir dijalan nasional. Padahal Kota Solo memiliki banyak titik strategis yang dimanfaatkan untuk parkir.

Potensi Parkir Di Sunday Market
Maka dari itu diaturlah perparkiran dengan sistem zonasi dengan ketentuan yang berbeda tarifnya. Ada 5 zona mulai dari Zona A - Zona E namun belum ada kawasan yang dianggap dengan Zona A dan B. Zona C meliputi kawasan jalan Slamet Riyadi, Zona D terpecah di 17 jalan dan Zona E selain Zona C dan D. Aturan ini ditetapkan melalui Perda No 9 Tahun 2011 tentang Retribusi Daerah. Untuk Zona C diberlakukan tarif progressif alias bertambah tiap jamnya dengan kelipatan 100 persen. Meski demikian masih banyak masyarakat yang belum faham aturan ini.

Dititik-titik parkir, belum ada pembedaan atau tanda zonasi parkir, termasuk misalnya karcis parkir atau petugas parkir yang menandakan zonasi. Hal ini rawan disalahgunakan oleh tukang parkir. Bahkan kadangkala membedakan petugas resmi dengan tidak saja sulit. Bisa dibayangkan bila kita berhenti untuk fotocopy KTP, sekedar membeli kertas atau mengambil uang di ATM apa ya harus membayar parkir. Selain biaya parkir lebih tinggi dari barang yang kita butuhkan juga waktu kita berhenti sebenarnya tidak lama.

Walikota Solo, Hadi Rudyatmo hendaknya mengevaluasi kinerja Dishub atas implementasi parkir. Perparkiran sebenarnya masuk dalam kategori layanan publik sebab uangnya masuk ke Pemkot bukan pemilik toko. Dengan demikian semakin hari menjadi lebih baik dan layanan memuaskan. Sering kita tukang parkir tak memakai seragam alias asal-asalan, karcis berulang digunakan, mengambil motor sendiri tanpa dibantu, helm hilang dan kadang ada motor sampai hilang.

Dan ketika di komplain mereka tak berani bertanggungjawab ditambah bila klausul itu dituliskan dalam karcis parkir. Dengan potensi yang begitu besar, idealnya pemerintah kota berani menjamin kehilangan barang. Sehingga tukang parkir bekerja juga tidak asal-asalan. Saat ini parkir di Kota Solo berkisar antara Rp 1.000 - Rp 1.500 untuk kendaraan roda dua dan Rp 2.000 - Rp 5.000 untuk mobil. Titik parkir banyak tersebar mulai dari mall, pasar, pertokoan, perkantoran dan lainnya.

Pada Tahun 2012 pemasukan dari pajak parkir mencapai Rp 1,1 M. Artinya tiap hari pemasukan parkir "hanya" Rp 3 juta atau setara kendaraan yang parkir 3.000 kendaraan dengan tarif Rp 1.000. Jika kita hitung dalam satu hari ada 12 jam parkir (mulai pukul 10.00 - pukul 21.00) hanya ada 251 kendaraan yang parkir. Padahal ada 38 pasar, 15 mall, ratusan toko maupun perkantoran bisa dikatakan potensi yang tergarap masih minim. Setidaknya sistem kontrak parkir dengan pengusaha jasa parkir perlu dievaluasi lagi supaya keuntungan terbesar tetap masuk dalam pendapatan daerah.

0 komentar:

Posting Komentar