Inovasi yang didorong pada Fasilitator Kelurahan sebagai ujung tombak perencanaan terlihat mengalami puncak bahkan penurunan kinerja. Beberapa Faskel sudah dianggap tidak banyak berkontribusi disebagian kelurahan meski masih banyak juga yang bekerja secara optimal. Hingga 13 tahun berjalannya DPK, tidak ada terobosan terbaru dalam pembuatan perencanaan kewilayahan. Prosentasi DPK makin tahun terus menurun meski disisi lain APBD meningkat secara signifikan. Kenaikan APBD salah satunya disumbangkan oleh retribusi dan pajak yang dibayarkan masyarakat.
Antusiasme makin berkurang |
Harusnya masyarakat mendapat feedback dari retribusi dan pajak yang dibayarkan. Tetapi program-program pemerintah lebih banyak fokus pada pemberian kemudahan pada pemilik modal. Ada 5 hal yang selayaknya dikerjakan oleh Bappeda di tingkat kelurahan. Pertama, pelaksanaan Musrenbangkel perlu dievaluasi. Apakah hanya menjadi seremoni, kepentingan sekelompok orang atau masih berjalan sesuai aturan. Penting dimengerti bahwa Musrenbangkel merupakan forum perencanaan tertinggi ditingkat kelurahan sehingga tidak boleh hanya ajang “upacara”.
Apalagi program yang dijalankan mengandung kepentingan beberapa gelintir individu. Pun kesesuaian aturan butuh dilihat jeli. Bagaimana pendampingan Musrenbangkel oleh staff Bappeda? Selama ini tidak pernah menjadi bahan evaluasi penting dan mempengaruhi juklak juknis Musrenbangkel tahun berikutnya. Kedua, berapa persen ketepatan Musrenbangkel dengan DPK? Memang kini muncul Faskel Monev, apa konsepnya dan indikatornya seperti apa? Faskel Monev ini bukan inspektorat, BPKP bahkan BPK sehingga malah menakuti pelaksana program.
Hasil yang sudah dikerjakan selama 2 tahun bentuknya bagaimana? Pelatihan yang mendukung kinerja mereka sudah diselenggarakan namun hasil kerja Faskel Monev tak kunjung direlease. Ketiga, Peran Faskel penting untuk dilihat kembali. Bila implementasi Musrenbang sudah menjadi aktivitas tahunan tentu banyak masyarakat yang sudah mumpuni atau bisa memfasilitasi pelaksanaan Musrenbang. Pada awal tahun 2000an keberadaan Faskel memang masih dibutuhkan sebab Musrenbangkel adalah terobosan baru sehingga butuh tangan panjang untuk kelancaran implementasinya.
Keempat, sejauh ini tidak ada pemberitaan tentang dampak pemberian DPK. Yang banyak terjadi justru tingkat ketergantungan warga pada DPK. Padahal tujuan awal DPK adalah membantu meringankan beban warga menangani berbagai program yang mereka butuhkan. Khusus untuk menilai bagaimana dampak DPK, Pemkot bisa bekerjasama dengan LSM, Ormas atau perguruan tinggi melakukannya. Kelima, dari keempat hal yang bisa dilakukan Bappeda ujungnya adalah memberi reward/penghargaan serta pemberian sanksi pada kelurahan yang bersangkutan.
Bagi kelurahan yang masih sesuai dengan roh, pelaksanaan dan implementasinya bisa diberi penghargaan seperti award, piala atau tambahan DPK ditahun berikutnya. Sedangkan bila sebaliknya maka kelurahan bersangkutan akan mendapat sanksi berupa pengurangan DPK atau bentuk lainnya. Hingga 13 tahun implementasi Musrenbangkel, Bappeda hampir tidak pernah menjalankan kelima hal tadi. Kalau toh pun ada evaluasi pelaksanaan Musrenbangkel, relatif tidak banyak berubah bahkan makin aneh. Sebut saja usulan di Rt ke Rw dibatasi hanya 5 atau 1 masalah tiap bidang, di Musrenbangcam SKPD tidak hadir biasa saja, di Musrenbangkot isinya hanya paparan Renja SKPD dan wakil kelurahan hanya mendengarkan program. Tidak ada verifikasi dan validasi atas Renja SKPD bahkan diselenggarakan hanya 1 hari dan peserta mendapat transport, makin aneh bukan?
0 komentar:
Posting Komentar