Sebenarnya bukan karena sudah tidak dipimpin Jokowi kemudian
hotel-hotel baru segera berjejer diberbagai jalan protokol di Kota Solo. Sejak
dahulu memang Kota Solo sudah ramah investasi hanya memang untuk mall
sepertinya tak ada lagi ijin yang dikeluarkan. Kini yang segera bakal menyerbu
Solo ya gedung-gedung bertingkat untuk bangunan mall atau apartemen. Hal ini
bisa kita cermati mulai titik pintu masuk kota. Hanya berjarak sekitar 2 km
bakal terdapat hotel yang segera berjejer disana.
Bisa dimulai dari Faroka, kerten, bundaran purwosari dan
terakhir perempatan lalu lintas purwosari akan segera berdiri 2 hotel. Jumlahnya 6 hotel dikawasan tersebut dan itu
belum diberbagai titik lain yang kini memang masih dalam proses pembangunan.
Pemerintah kota selayaknya mempertimbangkan proporsi berdirinya hotel dengan
kebutuhan. Penting diberlakukannya proporsi luas wilayah dengan kebutuhan.
Selain itu perlu dievaluasi dampak keberadaan hotel selama ini meski dengan
menyandang kota MICE (meeting, ceremony dan exibition).
Menjelang diberdirikannya hotel tersebut perlu ada langkah
awal bagi keterlibatan masyarakat sekitar menjadi pekerja. Ini penting supaya
berdirinya usaha-usaha besar juga berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan
warga. Bila perlu rekrutan pegawai hotel pada level middle hingga pengambil
keputusan. Masyarakat harus berani bernegosiasi dan menyediakan tenaga yang
benar-benar ahli dalam bidang tersebut. Jangan sampai kebutuhan tenaga kerja
pada cleaning service, office boy atau bahkan buruh bangunan saat hotel
dibangun saja.
Warga Solo Lebih Membutuhkan Ruang Publik Dibanding Mall |
Sebelumnya marak diberitakan oleh media lokal terkait
beragamnya tuntutan warga dilokasi pembangunan hotel yang meminta kompensasi
kerugian gangguan proses pembangunan hotel. Padahal dengan adanya kompensasi
tersebut jangka kemanfaatannya hanya jangka pendek saja. Bila masyarakat mampu
melihat secara jernih ada 3 masalah besar yang mestinya menjadi perjanjian
abadi dengan pihak hotel. Pertama soal kebutuhan pekerja, kedua tentang polusi
dan terakhir tentang jaminan ketersediaan air bersih.
Sudah jelas keberadaan usaha membutuhkan tenaga kerja. Oleh
sebab itu bila disebuah wilayah akan didirikan perusahaan, seharusnya
masyarakat menyambutnya terbuka. Saat sosialisasi awal pihak perusahaan diminta
membuat komitmen mengangkat pekerja dari masyarakat sekitar sebanyak minimal 20
persen. Tanya saja kebutuhan bidang apa dan persyaratan keahlian seperti apa.
Nah saat proses pembangunan gedung, calon naker dari masyarakat bisa diarahkan
menempuh pendidikan yang memang dibutuhkan.
Begitu bangunan selesai, maka tinggal disalurkan saja tenaga
kerjanya. Problem kedua yang harus menjadi bagian penting yakni polusi. Polusi
disini tidak sekedar polusi udara, tanah, maupun air namun juga polusi suara
yang bisa terjadi. Masyarakat cukup jarang mempertimbangkan hal ini padahal
bangunan seperti hotel kadang dilengkapi mini bar, mini cafe atau live music.
Kondisi pasca bangunan berdiri ini yang perlu dipertimbangkan secara matang
supaya saat hotel sudah beroperasi dan muncul kejadian ini tinggal disodorkan
perjanjiannya.
Terakhir yang penting yakni ketersediaan air bersih bagi
warga yang mana biasanya pendirian sebuah usaha akan memakai air bawah tanah.
Otomatis sumber air bersih warga bisa saja terganggu bahkan habis sehingga
kesulitan mencukupi kebutuhan. Jadi, bukan sekedar kompensasi diawal saja atas
gangguan pembangunan yang harus disepakati bersama. Sebab gangguan pada
pembangunan akan muncul dalam jangka waktu terbatas sementara 3 hal tadi bisa
terus menerus terjadi setiap saat.