Kamis, 28 Maret 2013

Pengelolaan APBD Solo Perlu Di Manajemen Dengan Baik

Meski citra Solo pasca ditinggalkan Joko Widodo menjadi Gubernur DKI Jakarta masih tetap bagus, rupanya ada hal yang perlu segera dibenahi. Terutama dalam hal implementasi APBD secara keseluruhan. Hal ini penting karena di Tahun 2012, Silpa APBD Kota Solo mencapai Rp 202 M. Jumlah yang sangat tidak masuk akal dan meski dibantah dengan cara apapun. Kejadian ini mesti menjadi tonggak penting bagi DPRD untuk mencari sumber selisihnya.

Walikota menyatakan sumber besaran Silpa berasal dari kenaikan pendapatan Rp 76,6 M; Efisiensi belanja daerah Rp 107,7 M; DAK Rp 11,9 M serta pembiayaan Netto Rp 6 M. Silpa 2012 senilai Rp 202 M ini meningkat pesat dibandingkan tahun lalu yang hanya "Rp 95 M" saja. Pada saat itu wakil rakyat juga tak berusaha keras untuk membedah ada soal apa yang menyebabkan Silpa bisa sebesar itu. Dengan APBD 2012 sekitar Rp 1,2 T maka Silpa bisa diasumsikan sebesar 17,5 persen.

Sriwedari, salah satu kawasan yang perlu ditata
Dari 4 sumber besaran Silpa, Walikota harus menjelaskan secara detil penyebab atau argumentasi yang masuk akal. Tidak hanya sumbernya saja. Yang cukup bisa diterima argumentasinya memang soal tak dijalankannya DAK Rp 11, M dikarenakan ada benturan regulasi antara Permendagri dengan Permendiknas. Harus dikejar soal  kenaikan pendapatan daerah apalagi mengenai efisiensi belanja daerah. Tentu APBD tak bisa juga akan balance 0 persen tetapi selisih antara surplus dan minus berkisar 5 - 10 persen masih bisa ditoleransi.

Ada beberapa dinas yang semestinya "dikejar" Walikota maupun DPRD untuk menjelaskannya. Pertama DPPKAD tentang bagaimana bisa kenaikan belanja sebesar Rp 76,6 M tak terpetakan. Bukankah dalam perencanaan semua terpetakan secara jelas termasuk misalnya rencana penghapusan aset daerah? Walikota harus mengusut pendapatan sektor apa saja yang pemetaannya selisih besar. Artinya ada perencanaan yang tidak sesuai alias kapasitas SDM kurang mumpuni.

Kedua, dalam hal efisiensi belanja daerah harus dibuka SKPD mana yang benar-benar melakukan efisiensi, berapa efisiensinya atau malah banyak program yang tak terlaksana. Tentu beda antara efisiensi dengan program yang batal berjalan. Bila kendala implementasi program karena benturan peraturan hal ini bisa diterima tetapi bila waktu tak cukup, gagal lelang atau penyebab teknis harus ada penjelasannya. Saat Jokowi awal menjabat, APBD Solo selalu defisit dan kesulitan memenuhi belanja daerah.

Selama ini banyak anggaran belanja cair pada bulan ke 8 atau Agustus sehingga SKPD akan kesulitan memenuhi target proyek. Apalagi berkaitan dana DPK yang besarannya cuma Rp 9 M untuk 51 kelurahan dibandingkan SIlpa selama 2 tahun tentu miris membacanya. Beruntung Silpa ini semua masuk ke kas daerah sebab hal ini bisa menimbulkan potensi atau peluang untuk melakukan korupsi. Oleh sebab itu Hadi Rudyatmo selaku Walikota harus mengevaluasi besar-besaran atas Silpa ini.

Disisi lain masih banyak proyek yang membutuhkan perhatian besar. Sebut DPK yang harus segera dinaikkan karena sudah lebih dari 5 tahun tak naik. TSTJ yang berkali-kali disodorkan ke swasta tak ada peminat, kondisi jalan yang tahun ini banyak yang rusak parah, jumlah warga miskin terus naik meski BPMKS dan PKMS sudah dipenuhi serta lainnya. Tanpa evaluasi menyeluruh, mustahil anggaran yang semestinya bisa mensejahterakan masyarakat akan malah banyak tersimpan di bank serta tak memberi efek signifikan.

0 komentar:

Posting Komentar