Dalam berbagai Pilkada Propinsi, sering Calon Gubernur saat berkampanye terlihat asal-asalan saja. Entah darimana mereka mendapat masukan, beberapa program yang disampaikan terlihat tak berdasar aturan yang berlaku. Mereka seakan-akan mewuujud sebagai dewa penolong yang akan menyelesaikan seluruh problem yang dihadapi masyarakat. Padahal jangankan menyelesaikan problem, menjalankan program yang mereka janjikan saja sulitnya bukan main.
Contohnya Bibit Waluyo yang saat ini menjadi Cagub Incumbent Pilkada Jateng. Dengan slogan Bali Ndeso mBangun Deso sama sekali jauh realisasinya. Saya tidak tahu siapa yang dulu mengajukan tagline seperti itu. Juga apakah masyarakat Jateng melihat perbedaannya dengan gubernur sebelumnya terutama melihat kondisi desa. Nyaris sama saja dan tak ada perubahan sama sekali. Terpilihnya Jokowi sebagai Gubernur DKI dianggap sama seperti wilayah lain.
Padahal secara kasat mata jelas berbeda karena kewenangan Gubernur DKI lebih luas. Saya tidak tahu mana program atau keberhasilan tagline Bali nDeso mBangun Deso itu. Hingga kini ketika pulang ke kampung orang tua, kondisinya tetap sama bahkan secara fisik. Jalan yang sudah dibenahi dalam kurun 1 tahun ya tetap rusak lagi. Anggaran pembangunannya tetap dari APBD Kabupaten/Kota bukan berasal dari anggaran propinsi.
Cagub dari koalisi partai, Hadi Prabowo dan Don Murdono sama saja. Mengajukan KJS, Kartu Jateng Sejahtera yang bisa digunakan tidak hanya untuk kesehatan tetapi pendidikan, RTLH dan lainnya. Sudah dicetak jumlahnya mencapai jutaan. Entah bagaimana paradigma tim suksesnya, bagaimana bisa seorang Cagub yang sedang berusaha menggaet suara malah sudah mencetak kartu KJS. Darimana mereka mendapat data warga yang akan disasar?
Rupanya tim sukses Cagub lain juga tak jeli mengkritisi hal ini. Meski belum ada penentuan nomor urut seharusnya ini menjadi catatan penting Cagub yang lainnya. Mereka harus jeli mana yang bisa menjadi kewenangan Gubernur dan mana yang tidak sehingga tidak kemudian asal membuat daftar program prioritas beserta taglinenya.
Disisi lain pembelajaran masyarakat atas politik rupanya tidak berjalan seiring dengan dinamika politik itu sendiri. Arah pertumbuhan dan kedewasaan berpolitik tak berjalan beriringan dengan jumlah partai atau dinamika yang terjadi di parpol. Akibatnya usaha tipu daya politik terus mendera masyarakat awam. Parpol lebih berkonsentrasi pada bagaimana upaya membangun citra bukan pada kontribusi yang bisa dinikmati masyarakat awam.
Beberapa kelompok masyarakat juga tak mampu mendorong kesadaran individu maupun kolektif apa dan peran yang sudah diambil partai politik. Hal ini mengakibatkan ruang-ruang yang telah dibuka parpol tidak mudah diisi kematangan berpolitik. Buktinya parpol yang ada masih menghadapi kendala pemenuhan kuota 30 persen caleg perempuan. Ternyata mendorong kemajuan dan modernisasi parpol tidak sejajar dengan pendewasaan berpolitik warga.
0 komentar:
Posting Komentar