Rabu, 04 Juli 2012

Pengelolaan Keuangan Kota Solo Perlu Dibenahi


Miris juga membaca Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) Kota Solo Tahun 2011 lalu yang mencapai Rp 95 M. Tidak hanya soal besarannya namun juga pembangunan Kota yang terlihat masih perlu banyak pembenahan kenyataannya justru disatu sisi justru tak mampu menjalankan program yang telah direncanakan. Dalam berita media massa, birokrat beralasan SILPA besar itu dikarenakan 2 hal yakni tingkat pendapatan naik dan lelang barang jasa mampu ditekan seminimal mungkin.

Ada beberapa aspek yang perlu dilihat dari fakta ini. Pertama benarkah tingkat pendapatan Kota Solo 2011 meningkat pesat? Berdasarkan data yang diolah menunjukkan tingkat kenaikan hanya 17 persen saja dari Rp 828 M menjadi Rp 1 T. Dan siapapun tahu sumbangan terbesar kenaikan pendapatan terdapat pada dana perimbangan terutama DAU yang dianggarkan untuk membayar gaji pegawai. Bila dihitung nominalnya mencapai Rp 112 M lebih.

Sementara untuk belanja daerah, kenaikannya hanya 10 persen saja dari total belanja Rp 838 M menjadi Rp 1 T. Berdasarkan Perda APBD 2011, Pemerintah Kota Solo mengalami defisit Rp 65 M. Bagaimana bisa kemudian SILPA mencapai Rp 95 M? Berbagai sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak juga masih banyak membutuhkan perhatian. Sektor kesehatan misalnya, proyek pembangunan RSUD Ngipang belum kelar, infrastruktur dikawasan Solo bagian utara belum dibangun secara massif, pembangunan Solo Techno Park juga masih berlangsung, jalan kota banyak yang berlubang dan banyak sektor lain yang butuh perhatian.

Kedua, Pemkot Solo meski secara konsisten mampu mendongkrak pendapatan daerah tetapi tingkat ketergantungan pada Dana Perimbangan masih cukup besar. Lihat saja belanja pegawai dengan DAU yang diperoleh, masih harus disubsidi pendapatan daerah sebesar Rp 31 M. Maksudnya dari DAU yang didapat pemerintah pusat Rp 545 M, belanja pegawai pada belanja tidak langsung saja sebesar Rp 577 M. Belum belanja pegawai pada belanja langsung yang mencapai Rp 30 M. Seharusnya DAU bisa lebih tinggi dibanding belanja pegawai sehingga bisa menambah anggaran untuk masyarakat.

Kenaikan gaji pegawai harus dibarengi dengan penjelasan pada pemerintah pusat agar kenaikan DAU juga sesuai dengan pembelanjaan gaji seperti yang terjadi pada anggaran 2012. Ketiga, reformasi tata kelola keuangan daerah belum menunjukkan hasil yang optimal. Masyarakat tidak tahu seberapa besar potensi pendapatan daerah dan berapa persen yang mampu ditarik. Dengan berbagai ajang regional, nasional bahkan internasional sudah seharusnya Pemkot mampu mendongkrak pendapatan daerah lebih tinggi lagi.

Yang perlu diperhatikan yakni intensifikasi pendapatan bukan ditujukan bagi masyarakat awam seperti tarif parkir, retribusi sampah, retribusi kesehatan namun fokus pada layanan bagi kalangan menengah keatas. Toh mereka mendapatkan keuntungan berlipat dari berbagai ajang yang digelar pemerintah kota. DPRD sendiri seharusnya tidak hanya terperangkap pada kemampuan branding kota dilevel nasional ataupun internasional. Mereka tidak boleh terlena pada pujian atau kunjungan kerja daerah lain ke Solo tetapi tetap fokus mengkritisi perkembangan kota.

Agar kota ini berjalan dinamis, balance dan makin manusiawi. Bukankah tugas mereka salah satunya pengawasan? Sayangnya masyarakat umum juga terlena akan euforia media massa yang begitu menyanjung keberhasilan Walikota Solo, Joko Widodo. Kebanggaan itu boleh saja namun kritis akan perkembangan kota juga penting. Jokowi memang berhasil dibeberapa bidang tetapi ada yang juga harus dibenahi.

1 komentar:

  • Unknown says:
    28 Januari 2013 pukul 02.48

    di indonesia selama ora nyenggol-nyenggol urusan Syahwat.... aman.... sisi ekonomi dan kemampuan manajerial layaknya Pemerintahan Kolonial Belanda Di Kesampingkan.... londo sing di pikir bathi bathi bathi.

Posting Komentar