Rakyat Kian Menjerit Atas Ketidakadilan!
(Bagian I)
Awal tahun 2011 benar-benar merupakan awal tahun yang memilukan bagi masyarakat Indonesia yang bila dikaji lebih mendalam membutuhkan ketahanan luar biasa. Tidak hanya dari bidang sosial, namun hingga politik, humaniora dan olahraga. Benar-benar membutuhkan energi ekstra untuk menerima berbagai cobaan yang seakan tak henti-hentinya. Entah sampai kapan cobaan ini akan berakhir karena elit politik dan pejabat yang seharusnya bertanggungjawab atas kejadian yang muncul di awal Tahun 2011 tetap tak tahu diri. Menyalahkan pihak lain sudah menjadi kebiasaan elit di negara ini. Prospek yang menyenangkan dan membangun semangat menjalani hidup sudah terlewat begitu saja.
Akhirnya tim sepakbola Indonesia gagal menjadi juara Piala AFF meski kalah 1 kali dari 7 kali pertandingan termasuk pertandingan final melawan Malaysia (padahal agregat gol dengan malaysia 7-5). Itulah hidup yang sepertinya tidak adil namun kita kalah pada saat yang tepat. Makna yang harus diambil adalah bolehlah kita kalah tetapi bukan pada saat yang menentukan. Ujian yang bertubi itu, tentu menjadi pembelajaran yang luar biasa penting agar kedepan bangsa ini mampu belajar secara baik dan benar bagaimana menyikapi dan bertindak atas masalah-masalah yang dihadapi. Kejadian yang akan penulis ungkap tidak berdasar urutan waktu namun lebih menitikberatkan pada masalah itu sendiri sehingga harapannya ke depan kita bisa jauh lebih arif menghadapinya.
Banjir lahar dingin di lereng merapi telah menyeret abu, pasir dan batu besar sehingga menyapu segala yang merintanginya. Tak tanggung-tanggung, puluhan rumah hingga salah satu Polsek di Kabupaten Magelang ikut terendam material dari Gunung Merapi. Masyarakat nampaknya harus menghadapi problem mereka sendiri, membersihkan abu dan pasir secara swadaya. Pemerintah belum turun tangan karena berbagai persoalan sebelumnya juga masih menggantung. Masih ada warga di Klaten yang tinggal di pengungsian, ternak yang belum diganti hingga selter hunian sementara yang belum sesuai kebutuhan warga. Pejabat mulai daerah hingga pusat masih disibukkan dengan agenda-agenda rutin penyusunan APBD dan pelaporan APBD. Entah apakah masyarakat boleh berharap segera adanya bantuan bagi mereka.
Bencana merapi hanya salah satu bencana alam yang menjadi akrab bagi rakyat negara ini. Masih ada lagi gempa bumi, longsor, banjir, kebakaran, kecelakaan dan lain sebagainya yang serasa tiada pernah henti menghampiri. Kondisi cuaca akibat global warming mengakibatkan hasil panen pertanian Indonesia tercabik-cabik. Akibatnya beberapa harga komoditi pertanian melonjak tajam. Salah satunya harga cabai yang luar biasa pedasnya mencapai Rp 100.000/kg. Beberapa wilayah gagal panen sehingga mengakibatkan pasokan cabai tak tersedia dipasaran. Masyarakat Indonesia memang gemar mengkonsumsi makanan bercita rasa pedas. Hal ini semakin mendongkrak harga cabai dibeberapa wilayah. Menteri Pertanian sendiri tak punya solusi jitu yang dapat mengatasi tingginya permintaan maupun harga di pasaran.
Ujian selanjutnya yaitu munculnya kembali isu pembangunan gedung DPR. Berdasar info media baru-baru ini telah dianggarkan Rp 800 M sebagai dana kajian awal. Alasan pembangunan gedung baru dikarenakan bertambahnya jumlah staf ahli dari 1 orang menjadi 2 orang (hingga 5 orang di tahun 2014) untuk tiap 1 anggota DPR. Padahal gaji 1 orang staf ahli mencapai Rp 7,5 juta (bila tidak dikorupsi oleh anggota bersangkutan) dan jumlah anggota DPR mencapai 560 orang. Bila dikalkulasi pada kebutuhan, penulis yang pernah menjadi Staf Ahli anggota DPR mengakui adanya kebutuhan itu. Namun jumlah staf ahli yang merata pada setiap anggota tentu sangat disayangkan karena kebutuhan tiap anggota tentu saja berbeda. Bisa tergantung kapasitas anggota bersangkutan, banyaknya konstituen serta luas tidaknya isu di komisi wakil rakyat tersebut.
Apakah Mereka Wakil Kita?
Salah satu sudut gedung DPR MPR RI |
Disisi lain, banyak kritikan mengenai kapasitas anggota dewan yang tak kunjung membaik meski telah ada staf ahli. Mereka (staf ahli) lebih banyak berkecimpung untuk urusan-urusan teknis bukan substansial seperti tercantum dalam kontrak. Meski ada 10 staf ahli tiap 1 wakil rakyat, peningkatan kapasitas akan sulit tercapai. Kondisi persidangan dan sistem pengambilan keputusan belum membuka peluang adanya perbedaan pendapat. Jangankan antar partai, dalam 1 parpol saja perbedaan sikap jarang difahami sebagai pengkayaan amunisi untuk menghadapi pemerintah. Sehingga argumentasi-argumentasi yang bernas dan solutif dalam sidang komisi sangat minim muncul. Bila begitu, akankah pembangunan gedung baru DPR serta penambahan staf ahli akan meningkatkan kinerja mereka?
Anggaran pembangunan gedung DPR Rp 800 M serta penambahan staf ahli akan menyedot APBN ratusan milyar. Disisi lain, minggu I Januari 2011 ada kabar miris, kakak adik yang berjumlah 6 orang tewas gara-gara makan tiwul. Di duga warga Kecamatan Mayong Jepara Jawa Tengah itu keracunan tiwul bikinan ibunda mereka ditengah ketidakmampuan menyediakan makanan yang bergizi. Atas kejadian ini tidak ada pihak yang mau bertanggungjawab. Kepala daerah justru membantah adanya kelangkaan pangan di Mayong. Persoalannya kalau kita mau jeli melihat persoalan lebih dalam yaitu bukan pada kelangkaan pangan namun kemampuan daya beli mereka. Ayah mereka hanya penjahit di Kota Semarang yang hasilnya tidak tentu tergantung pada konsumen.
Kejadian berikutnya yang membuat kita tersentak di awal tahun adalah adanya tukar ganti tahanan di Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur. Terpidana Kasiem yang di vonis bersalah atas pengadaan pupuk dan diganjar 7 bulan penjara, rela mengeluarkan uang Rp 22 juta untuk diganti orang lain. Masuklah Karni yang terlilit hutang Rp 10 juta bersedia mengganti badan. Kasus ini menandakan betapa bobroknya sistem dan mentalitas aparat hukum kita. Lantas kemana uang Rp 12 juta sisanya? Siapa yang mendalangi kejadian ini? Begitu kejadian ini terungkap, Kajari Bojonegoro, Wahyudi dimutasi menjadi staf TU di kejaksaan agung. Hanya itu? Meski kasus ini masih terus disidik, hendaknya Jaksa Agung memberi hukuman yang bersifat jera. Layak kiranya Wahyudi dipecat dengan tidak hormat.
Berdasar pengakuan pengacara terpidana, Kasie Pidsus Hendro Sasmito mengetahui bahkan diajak berkonsultasi. Artinya bawahan Wahyudi jelas-jelas terlibat dan Wahyudi sendiri malah dimintai konsultasi (meski menolak tindakan itu) oleh Hendro. Selayaknya begitu muncul konsultasi itu, dia secara tegas meminta Hendro untuk tak melakukannya dan melaporkan pengacara terdakwa. Yang lebih menyedot perhatian masyarakat pada minggu awal adalah peluncuran Liga Primer Indonesia (LPI). PSSI sebagai induk olahraga menolak keras adanya LPI dan menganggap liga tersebut ilegal serta menyalahi aturan. Berhubung pengurus PSSI kuat nuansa politiknya, Menpora menyatakan LPI berhak tetap jalan. Kepolisian yang awalnya menolak mengijinkan penyelenggaraan pertandingan, kini mempersilahkan dengan alasan ada rekomendasi dari Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI).
0 komentar:
Posting Komentar