Jumat, 07 Januari 2011

Awal Tahun 2011 Yang Mengejutkan

Rakyat Kian Menjerit Atas Ketidakadilan!
(Bagian II  Lanjutan)

Pertandingan perdana LPI akan digelar Sabtu (8/1) di Kota Solo yang akan mempertemukan Solo FC dengan Persema yang diperkuat 2 pemain naturalisasi yaitu Irfan Bachdim serta Kim Jeffrey Kurniawan. Gagal menghadang pertandingan LPI, tiba-tiba menyeruak demo mendukung PSSI dan menolak LPI di Jakarta. Padahal seperti yang banyak diketahui, hanya pengurus PSSI yang getol menolak. Sedangkan suporter, Pengcab dan Pengda PSSI, Klub LSI, Klub Divisi Utama tak ada satupun yang ikut-ikutan menolak LPI. Tindakan selanjutnya sebagai antisipasi LPI, PSSI melalui pelatih timnas, Alfred Riedl menyatakan tak akan menarik pemain yang bukan dari liga yang diakui PSSI. Namun ancaman ini tidak digubris Irfan dan Kim. Mereka berdua telah ikut rombongan Persema hadir di Kota Solo.

PSSI sejak awal menyatakan bahwa LPI menyalahi UU Keolahragaan Nasional yang menyebutkan penyelenggaraan kegiatan olahraga harus mendapat persetujuan organisasi yang menaungi olahraga tersebut. Namun Menpora, Andi Mallarangeng mendebat dan mempertegas bahwa setiap atlet potensial berhak membela negara. Olahraga harus sportif dengan mengabaikan suku, agama, ras dan golongan serta afiliasi partai politik. Sungguh pernyataan yang sangat cerdas. Melarang orang (apalagi yang punya potensi) untuk masuk dalam tim untuk membela negara merupakan pelanggaran hak asasi. Hal ini harus dicamkan benar oleh pengurus PSSI dimana setiap warga Indonesia harus diberi kesempatan yang sama dan tidak boleh mengalami diskriminasi.

Para pendemo yang mendukung PSSI dalam liputan siang (8/1) ketika diwawancarai ada yang mengaku tidak tahu demo apa dan hanya ikut-ikutan saja. Inilah akibatnya bila organisasi olahraga profesional diisi oleh politikus. Beban Nurdin sebagai Ketua Umum PSSI justru bertambah manakala dia tidak masuk dalam ex officio (pengurus) Asia Football Club. Meski ditingkat lokal (Asia Tenggara/AFC) gagal mendapat rekomendasi untuk maju, pada pertemuan di Doha Qatar tetap saja nekad. Itulah perilaku konyol yang mengakibatkan karut marutnya persepakbolaan nasional. Pada saat yang sama sedang bergulir perekrutan Timnas U-23 yang akan membela negara di 3 ajang yakni Pra Olimpiade dan Sea Games 2011. Ternyata banyak juga pemain keturunan Indonesia tersebar di luar negeri dan sangat potensial.

Ada Andrea Bitar yang main di FC Cannes, Farri Agri di Al Khor Qatar, Artur Irawan (Preston North End, Australia), Syamsir Alam (Penarol, Uruguay), James Zaidan (New York Cosmos, Amerika), Steffano Lilipally dan Mark Van de Mareel yang keduanya berasal dari FC Utrecht Belanda. Diluar itu masih ada puluhan pemain keturunan yang bertalenta tinggi. Farri Agri sendiri saat ini sedang di dekati oleh Qatar untuk dinaturalisasi agar dapat membela Qatar di Timnas mereka. Jika PSSI banyak mempersoalkan LPI, kejadian lepasnya Radja Nainggolan (Cagliari) ke negara Belgia bisa terulang. Mereka seharusnya fokus menemukan talenta diluar negeri yang dapat membela merah putih.

Yang harus difahami yaitu, proses naturalisasi di Indonesia berbeda dengan negara lain seperti Singapura bahkan Philipina. Bila kedua negara itu menaturalisasi pemain yang tidak berhubungan darah dengan negaranya, sementara kita melakukannya karena mereka memang punya kaitan dengan Indonesia. Termasuk Christian Gonzalez yang beristrikan orang Indonesia. Yang perlu diperhatikan kedepan, pembinaan pemain bola usia muda harus dilakukan dengan sistem yang baik. Ciptakan kompetisi reguler dan mekanisme pembelajaran sebagai pemain profesional agar pemain-pemain sepakbola kita tidak hanya dari keturunan namun murni yang bermain di kompetisi lokal.

Gayus Bukti Polisi Tak Becus
 


 Paspor Sony "Gayus" Tambunan dan Gayus saat di Bali (kompas.com)

Berita mengejutkan datang lagi dari Gayus Tambunan, pria yang paling suka mencabik-cabik rasa keadilan masyarakat. Ditengah sorotan proses persidangan, pasca ketahuan melancong ke Bali, kini terkuat bahwa pria 31 tahun itu juga ke Macau, Kuala Lumpur dan Singapura. Seperti kejadian ke Bali, dia awalnya tidak mau mengakui namun akhirnya terbukti bahwa dia memang melakukan perjalanan tersebut. Paspor atas nama Sony Laksono (nama dan foto yang sama saat ketahuan ngelayap ke Bali) yang dibawanya kini sedang diusut. diduga paspor itu aspal. Sungguh sudah sangat keterlaluan aparat hukum kita mempermainkan kewenangan yang dimilikinya. Berdasar pengakuannya, sekitar 65 hari dia keluar penjara dalam kurun 3bulan. Namun tidak begitu saja dia keluar tetapi ada uang suap yang diserahkan kepada kepala penjara Mako Brimob serta penjaga tahanan dengan nominal Rp 550an juta lebih.

Artinya pasca diketahui Gayus nonton pertandingan di Bali dan ada 65 hari keluar dari tahanan, polisi tidak menindaklanjuti kemana saja dia pergi. Polisi hanya mengusut terkait kepergian ke Bali saja sehingga kita tidak heran kedepan bisa saja muncul kesaksian munculnya orang mirip Gayus diberbagai tempat. Kalau saja pada saat diselidiki terkait kepergiannya ke Bali sekalian ditanya kemana saja dia pergi, tentu soal-soal seperti ini tidak akan menjadi polemik. Polisi masih saja bertindak tidak profesional dan kita tidak tahu kabar pengusutan para penerima dana dari Gayus. Kementrian Hukum dan HAM, kejaksaan, imigrasi yang mengurus paspor aspal harus bertanggungjawab atas kejadian ini. Lagi-lagi nampaknya kita sulit berharap pada mereka untuk mengakui bahwa ada kesalahan yang dilakukan staf mereka.

Para menteri yang menaungi mereka juga hampir tiap hari berkilah, berdalih, bersilat lidah. Sama dengan yang dilakukan kepala negara, hanya menyatakan "harus diusut tuntas". Pernyataan yang normatif dan tidak mengandung sikap tegas serta memiliki sifat shock terapy pada bawahannya. Setali tiga uang, wakil rakyat yang membidangi masalah-masalah yang dikupas diatas tak banyak bereaksi. Sungguh kondisi awal tahun yang menyesakkan dada masyarakat Indonesia. DPR yang mengklaim wakil rakyat, sama sekali bergeming atas berbagai persoalan yang menimpa konstituen mereka. Padahal gaji dan segala fasilitas yang diterima merupakan dana rakyat.

Akankah kita masih bisa berharap pada bulan-bulan mendatang kondisinya membaik bila pada awal tahun bencana atau kondisi yang bertubi-tubi ini tak juga membuat pejabat dan wakil rakyat beranjak peduli. Masihkah akan seperti biasanya, banyak kejadian, banyak komentar, banyak wacana namun tak ada yang bertanggungjawab, semuanya melempar pada pihak lain. Sungguh pembelajaran yang tidak mendidik dan selalu ditunjukkan oleh para penguasa. Beberapa politikus bahkan sudah mulai sounding capres yang ideal untuk tahun 2014. Ah, kalau begitu dimana telinga mereka? mata mereka? hati mereka bahkan jiwa mereka? Sulit berharap lebih pada elit politik dan marilah kita sebagai rakyat bahu membahu mengatasi masalah kita. Acuhkan saja mereka agar mereka menanggung sendiri nanti di hari akhir.

0 komentar:

Posting Komentar