Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan bentuk kinerja pemerintah daerah pada soal pemasukan daerah dan selama ini faktanya masih banyak daerah cukup bergantung pemasukannya pada pusat dibanding dengan usaha sendiri. Di Jawa, berbagai kabupaten/kota sangat diuntungkan dengan adanya alokasi DAU dan DAK sebab bila hanya mengandalkan PAD, tentu akan sulit menjalankan roda pemerintahan. Sudah mafhum diketahui publik bahwa rasio kecukupan APBD untuk membiayai gaji pegawai saja cukup besar dan seringkali lebih dari angka 50persen APBD.
Sementara faktor pemasukan PAD terhadap pendapatan daerah sering dibawah 15 atau bahkan 10 persen. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan. Bila dibedah, PAD terdiri dari 4 jenis pendapatan yakni Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan serta Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah. Kabupaten Boyolali merupakan salah satu kabupaten yang kontribusi PAD terhadap pendapatan daerah masih sangat minim. Setidaknya dalam kurun waktu 2007-2010, tak lebih dari 10 persen PAD yang disetorkan ke kas daerah.
Secara berurutan PAD Boyolali sejak Tahun 2007 mencapai Rp 43,2 M, Rp 53,8 M (2008), Rp 65,1 M (2009) dan Rp 80 M (2010). Pemasukan PAD ini terbesar didapat dari retribusi daerah yang menyumbangkan pundi-pundi Rp 27,3 M di tahun 2007, kemudian 2008 naik 16 persen menjadi Rp 32,7 M, Rp 43 M (2009 atau naik 24 persen) serta Tahun 2010 merosot tajam hingga Rp 26,3 M (atau turun 63 persen). Penurunan drastis lebih dari 50 persen ini patut dipertanyakan. Bila Pemda berargumentasi, salah satu pemasukannya berkurang (karena ada renovasi beberapa pasar tradisional sebagai salah satu penyumbang retribusi) sangat tak logis.
Perlu diketahui, renovasi pasar tidak menghentikan retribusi yang dilakukan. Pedagang tetap saja berjualan meski bukan di bangunan lama. Pemda selalu menyediakan tempat dagangan sementara. Diurutan kedua, penyumbang PAD terbesar adalah pajak daerah. Tercatat pada tahun 2007 ada Rp 7,9 M disetorkan pada kas daerah. Kemudian secara berturut-turut Rp 10,1 M pada tahun 2008 atau naik 22,7 persen, Rp 10,6 M didapat pada tahun 2009 atau hanya naik 4 persen saja. Pada Tahun 2010, retribusi mendonasikan Rp 12 M atau naik 11 persen. Padahal bila melihat kawasan Boyolali yang strategis, mestinya bisa didapat pajak daerah yang lebih tinggi.
Pajak daerah yang ikut menyumbangkan pemasukan misalnya pajak restoran, pajak hiburan, pajak parkir serta pajak reklame. Pajak yang disebut terakhir sangat potensial memberi kontribusi besar jika digarap secara serius. Sebut saja kawasan Bandara Adi Sumarmo, Asrama Haji Donohudan, Jalan utama sepanjang puluhan kilometer dari mulai Kecamatan Ampel hingga Mojosongo tentu akan memberi ruang iklan yang menggiurkan bagi perusahaan. Apalagi menjelang hari besar seperti tahun baru, menjelang puasa, lebaran, natal dan hari lainnya.
Untuk kategori Lain-lain Pendapatan yang Sah memang mendekati pemasukan dari pajak daerah. Sebanyak Rp 6 M disetorkan tahun 2007, lantas naik menjadi Rp 8,3 M tahun 2008, kembali terdongkrak sedikit yakni Rp 8,5 M ditahun 2009 dan melonjak tajam hingga 77,5 persen pada tahun 2010 (Rp 38,2 M). Sedangkan pemasukan dari item Hasil Pengelolaan Kekayaan yang Dipisahkan tidak cukup besar selama 4 tahun. Pada Tahun 2010 saja hanya menyumbangkan Rp 3,4 M. Dengan pemetaan ini, idealnya Boyolali masih bisa mendapatkan pemasukan yang jauh lebih besar.
(data diolah dari www.djpk.depkeu.go.id dan bila menginginkan soft file dapat menghubungi penulis)
Sementara faktor pemasukan PAD terhadap pendapatan daerah sering dibawah 15 atau bahkan 10 persen. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan. Bila dibedah, PAD terdiri dari 4 jenis pendapatan yakni Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan serta Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah. Kabupaten Boyolali merupakan salah satu kabupaten yang kontribusi PAD terhadap pendapatan daerah masih sangat minim. Setidaknya dalam kurun waktu 2007-2010, tak lebih dari 10 persen PAD yang disetorkan ke kas daerah.
Secara berurutan PAD Boyolali sejak Tahun 2007 mencapai Rp 43,2 M, Rp 53,8 M (2008), Rp 65,1 M (2009) dan Rp 80 M (2010). Pemasukan PAD ini terbesar didapat dari retribusi daerah yang menyumbangkan pundi-pundi Rp 27,3 M di tahun 2007, kemudian 2008 naik 16 persen menjadi Rp 32,7 M, Rp 43 M (2009 atau naik 24 persen) serta Tahun 2010 merosot tajam hingga Rp 26,3 M (atau turun 63 persen). Penurunan drastis lebih dari 50 persen ini patut dipertanyakan. Bila Pemda berargumentasi, salah satu pemasukannya berkurang (karena ada renovasi beberapa pasar tradisional sebagai salah satu penyumbang retribusi) sangat tak logis.
Perlu diketahui, renovasi pasar tidak menghentikan retribusi yang dilakukan. Pedagang tetap saja berjualan meski bukan di bangunan lama. Pemda selalu menyediakan tempat dagangan sementara. Diurutan kedua, penyumbang PAD terbesar adalah pajak daerah. Tercatat pada tahun 2007 ada Rp 7,9 M disetorkan pada kas daerah. Kemudian secara berturut-turut Rp 10,1 M pada tahun 2008 atau naik 22,7 persen, Rp 10,6 M didapat pada tahun 2009 atau hanya naik 4 persen saja. Pada Tahun 2010, retribusi mendonasikan Rp 12 M atau naik 11 persen. Padahal bila melihat kawasan Boyolali yang strategis, mestinya bisa didapat pajak daerah yang lebih tinggi.
Pajak daerah yang ikut menyumbangkan pemasukan misalnya pajak restoran, pajak hiburan, pajak parkir serta pajak reklame. Pajak yang disebut terakhir sangat potensial memberi kontribusi besar jika digarap secara serius. Sebut saja kawasan Bandara Adi Sumarmo, Asrama Haji Donohudan, Jalan utama sepanjang puluhan kilometer dari mulai Kecamatan Ampel hingga Mojosongo tentu akan memberi ruang iklan yang menggiurkan bagi perusahaan. Apalagi menjelang hari besar seperti tahun baru, menjelang puasa, lebaran, natal dan hari lainnya.
Salah satu sudut keramaian Kota Boyolali |
(data diolah dari www.djpk.depkeu.go.id dan bila menginginkan soft file dapat menghubungi penulis)